Mereka bermalam di tempat yang tak ada orang lain tahu, di dalam sebuah gelapnya pepohonan yang berhimpit. Cukup terasa di tengah hutan, namun tak begitu jauh dari rumahnya yang habis terbakar. Sudah lama sejak peristiwa itu tak melihat kondisi terakhir rumahnya.
Ardi bangun lebih pagi tanpa dia rencanakan. Terbangun karena seperti ada yang memanggilnya dengan teriakan, namun saat terbangun dengan tiba-tiba dia sadar itu hanyalah mimpi belaka. Tiba-tiba dia merindukan tempat itu. Matanya memandang ke sekitar. Kabut masih menyelimuti pagi. Suara burung mulai menjerit-jerit di pucuk pohon. Beranjak pelan lalu memeriksa senjata yang dia miliki. Mengisinya dengan peluru lalu berjalan sambil menguap. Sementara Pandu masih dengan dengkuran yang berisik mirip hewan keruing.
Tangannya menggenggam senjata itu dengan genggaman yang santai namun terlihat professional. Seakan senjata telah berjodoh dengan dirinya. Dedaunan kering yang terserak terasa dingin di telapak kaki, embun masih belum menyambut matahari. Ranting yang menjuntai dia sibak untuk membuka jalan. Melompati akar-akar pohon besar yang merambat di tanah. Sempat melihat juga sebuah rumah semut menggunung, bangunan yang menakjubkan dibuat oleh mahluk kecil seperti itu.
Suasana yang dia rindukan. Mungkin rumahnya kini sudah tak berbentuk lagi. Matanya sambil tetap waspada mengawasi tiap gerakan alam yang bisa saja membuatnya terkejut. Tiba-tiba dia mendengar suara langkah kaki. Lalu lenyap sebentar. Tak melihat siapa pun di sekitarnya. Malah terdengar suara langkah itu lagi. Ardi memposisikan dirinya bersiap untuk menembak dengan mengarahkan.pelan-pelan kakinya melangkah menghindari ranting-ranting kering yang bisa saja menimbulkan suara.
“Hey! Kau mau meninggalkanku, hah?” Sesosok yang dia kenal muncul tiba-tiba dari balik pohon besar. Dia memegang senjata.
“Sial! Hampir saja aku menembakmu!” ujar Ardi dengan napas memburu karena terkejut.
“Kenapa kau meninggalkanku, hah?”
“Aku tak ingin membangunkanmu.”
“Itu cuma alasan, kan?” Pandu tak terima alasan itu.
“Ya, itu sebuah alasan yang benar.”
”Aku lapar, apa kita bisa menembak burung?”
“Jangan, kita cari yang lain. Sup iga sapi, rendang, nasi hangat dan segelas teh panas,” ujar Ardi.
“Kau bermimpi? Kau tertarik ke sana, bukan?” katanya sambil menunjuk ke arah belakang Ardi dengan senjata.
“Hey! Hati-hati dengan senjatamu!” seru Ardi.
“Mungkin ini tak ada peluru,” katanya sambil memainkan senjata itu, lalu tiba-tiba meletus ke sembarang arah, keduanya terkejut bukan main. Namun tak lama kemudian, seekor burung perkutut jatuh dari pohon.
“Sepertinya kita akan sarapan burung bakar,” ujar Pandu dengan ekspresi diam karena tak sengaja menembak burung.
Tak ada bumbu apapun, hanya membersihkan bulunya lalu dibakar tanpa membuang organ dalamnya. Entah dari mana dia mendapat korek api. Aromanya sedikit membuat Ardi menelan ludah. Apalagi saat Pandu terlihat buas memakannya.
“Kau tak mau?” tanya Pandu.
“Tidak.”
Ardi tetap duduk menunggu di atas sebuah batu meski dia juga sebenarnya sagat lapar. Untuk menghindari godaan itu, dia memandang ke arah yang lain. Menyibukkan diri dengan membidikkan senjatanya ke arah pepohonan namun tak sampai menembakkan pelurunya. Hanya berusaha membiasakan kembali menggunakan senjata.
“Sepertinya kau sangat pandai bermain senjata,” ujar Pandu sambil mengunyah.
“Aku tahu, aku telah menghabiskan waktu hampir tiap hari bersama dengan senjata, senjata adalah salah satu temanku yang lain selain Ibuku.”
“Kau sempat mengenal Ibumu, itu sebuah keberuntungan. Kau tahu? Itu tak terjadi padaku.”
“Aku tahu, tapi seseorang merenggutnya secara paksa.”
“Kau sudah mau bercerita tentang dirimu?”
“Aku orang yang lumayan terkenal, kau tahu.” Ardi mulai membanggakan diri.
“Aku tak yakin kau berkata benar.”
“Kau pikir banyak orang yang mencariku bukan bentuk dari sebuah ketenaran? Aku juga cukup kaya.”
“Simpan saja omong kosongmu itu.” Pandu tak percaya sama sekali.
“Kau sudah selesai? Akan kutunjukkan sebuah rumah,” ujar Ardi.
Pandu memadamkan bara api dengan memukul-mukulkan sebuah kayu namun tak juga membuat apinya mati. Akhirnya dia membelakangi Ardi, membuka celananya dan mengencinginya.
“Kau ini, apa tak ada cara lain, hah?” Ardi sedikit memarahinya
“Itu cara yang terbaik,” jawabnya sambil mengancingkan celananya.
Lalu Ardi pergi begitu saja, meninggalkan Pandu yang berteriak memanggilnya namun tak dipedulikannya.
“Teman yang menyebalkan,” gumam Pandu. Senjata yang membawa keberuntungan membuatnya terhindar dari rasa lapar. Dia masukkan ke dalam saku, namun diambilnya lagi, takut kalau-kalau bakal menembak sesuatu yang tak dia inginkan. Hanya memegangnya dan lebih berhati-hati sambil buru-buru menyusul Ardi.
“Apa di rumahmu ada air hangat? Sudah beberapa hari aku belum mandi,” katanya sambil berjalan di sebelahnya.