Tak ada yang tahu pasti, isyarat tentang dirinya yang nyaris tiada. Namun dia masih ada dan memahami dunia. Sementara rasanya pada Sarah sudah seperti dendam. Dendam yang membingungkan dirinya sendiri. Bahkan seperti tak ada keinginan untuk mencelakainya.
Hari ini memakai topi bundar warna hitam, jika menunduk itu sedikit menutupi wajahnya. Namun gestur seperti itu justru bisa dicurigai orang. Namun jika wajah dibuat sekumal mungkin itu bisa menyembunyikan siapa dirinya. Tentu Ardi tahu kemana dia akan pergi, ke sebuah bekas pabrik pakan ternak yang gulung tikar dan dibeli oleh mereka untuk dijadikan markasnya.
Cukup jauh dan meski dia telah menemukan uang sebanyak itu, dia belum ingin menggunakannya. Ini adalah misi pengintaian dan hanya memakai jaket yang diberi oleh Resti, tanpa membawa senjata. Beruntungnya dia bisa naik tumpangan gratis setelah berusaha beberapa kali melambaikan tangan di tepi jalan yang sepi, hanya ada tiga mobil yang lewat dalam satu jam lebih. Tentu tak mudah juga menemukan orang yang mau memberikan tumpangan jika bertemu serupa orang tak waras dengan karung di punggungnya. Dan dia di sini sekarang, dalam sebuah mobil truk yang membawa beberapa kambing, mereka sedang menikmati daun dari pohon Nangka.
Resti sedang membeli sebuah minuman bersoda di sebuah retail. Dia selalu sendiri dan dia tak masalah melewati hari-harinya. Bahkan tanpa Ardi sekian hari. Dia hanya sekedar merasai rindu saja yang masih bisa diatasi. Keluar dari retail dengan membuka kaleng minuman yang mengeluarkan bunyi seperti desisan lidah yang memanggil. Meneguk dingin beserta sensasi tersendiri di lidah. Wajahnya memandang jalanan dan melihat mobil truk pembawa kambing menurunkan seseorang, dan dia cukup mengenalinya. Setelah turun, dia menunggu mobil lain lewat, tangannya melambai pada sebuah mobil bak tanpa muatan, dan setelah percakapan entah dengan sopir yang tak terdengar oleh Resti, dia naik. Resti sedikit terburu-buru menuju motor yang terparkir untuk mengikutinya. Tangannya yang gugup merabai kunci dalam saku celana dan tak menemukannya. Di saku baju juga tak ada.
“Sial!” umpatnya.
Dia memang tak terbiasa membawa tas atau apapun itu seperti perempuan pada umumnya. Alat-alat bersolek pun tak terlalu digemari untuk memilikinya. Dia merasa sudah kehilangan arah mobil itu. Saat melihat ke arah motornya, kunci itu masih terpasang di lubang kunci. Dia mengembuskan napas kesal lalu tancap gas. Mobil itu terlalu cepat melaju, bahkan tak melihatnya lagi. Hanya terlihat sebuah ambulance tak berbunyi yang berjalan cukup santai, Resti menyalipnya dan tak ada kendaraan apapun lagi, hanya terlalu banyak belokan jalan dan tak tahu ke mana harus belok.
Dia berpikir, mungkin jalan yang sedang dilewatinya dengan belokan jalan di kanan dan kiri, juga menghubungkan jalan lain di sana, pertigaan atau perempatan. Dia hanya berjalan lurus saja sambil mengamati tiap belokan jalan di kanan dan kiri secara bergantian. Dan pada belokan kanan ketiga, dia melihat mobil itu. Terlalu cepat dia mengambil keputusan untuk belok kanan, nyaris saja mobil ambulance yang menyalipnya bersinggungan. Klakson mobil berdengung di telinganya. Jantungnya berdebar-debar.
Mobil bak yang diikutinya sudah terlanjur belok lagi. Setelah belok kanan dengan sedikit gemetar namun tetap tergesa-gesa, Resti tancap gas hingga mendapati sebuah perempatan lalu melihat kanan-kiri. Mobil itu belok kiri. Tak ingin kehilangan jejaknya lagi, matanya tak lepas dari mobil itu. Cukup jauh dan sampai mobil itu berhenti di permukiman cukup tenang. Ardi turun dan berjalan sekitar dua ratus meter dan berhenti di dekat sebuah gedung dengan dinding penuh coretan. Ada gerbang geser di depannya.
Jalanan yang cukup sepi. Hanya satu dua kendaraan yang lewat dan dia tak tahu yang bakal dilakukannya. Resti melihat permulaan tingkah penyamaran Ardi dan dia tertawa dalam hati. Awal mula dalam segala hal kadang tampak belum menyatu dengan tubuhnya, dan sangat kentara itu seperti dipaksakan. Mengendap-endap dengan tatapan mengamati sambil pura-pura mencari barang-barang bekas. Sebuah karung yang digendong di punggungnya entah berisi apa, Resti tak tahu.
“Permulaan yang payah,” batin Resti. Tak terlihat seperti Ardi yang dia kenal. Bahkan dia tak menyadari kalau ada laki-laki gendut dengan tatapan curiga sedang mengawasinya dari dalam gerbang. Tubuh sebesar itu tak terlihat dalam pengamatannya.
“Hey! Sedang apa kau?” tanya si gendut sedikit menggertak sambil memakan roti di tangannya dengan gigitan besar. Ardi terkejut dan sedikit tergagap, Resti tergelak dalam hati.
“Hanya barang rongsokan,” jawab Ardi dengan wajah memelas. Lalu mendengar tipis suara teriakan dari dalam. Matanya memandang ke arah sumber suara, setidaknya menurut perkiraannya. Si gendut juga menyadari bahwa pencari barang bekas di hadapannya mendengar sesuatu.
“Pergilah! Cari di tempat lain saja,” ujar si gendut.
“Adakah sedikit makanan.” Ardi memulai percakapan baru untuk setidaknya membuatnya berada di sana lebih lama agar bisa mengamati.
“Kau lapar?” tanya si gendut, pandangannya bergantian pada roti dan ke arah belakang, tempat di mana suara teriakan itu berada, dan dia sedikit ragu. “Ke sini,” katanya.
Ardi juga sedikit gamang, bisa saja si gendut mempermainkannya atau akan memberinya pelajaran. Langkah mendekatnya sedikit berhati-hati. Lalu terlihat sebuah meja bundar berisi kue, buah dan minuman.
“Sudah berapa lama kau tak makan?” tanya si gendut sambil terus mengunyah.
“Hampir satu hari,” jawabnya.
“Ouwh. Bahkan dalam sehari aku bisa makan lima kali, itu belum termasuk makanan ringan,” ujarnya sambil mengangsurkan kue ke mulutnya lagi.
“Ohya? Apa pekerjaanmu?” Si gendut berhenti mengunyah dengan sedikit berpikir setelah mendengar pertanyaan itu.
“Pekerjaanku, kau tak perlu tahu,” jawabnya.
“Maksudku, apa tak ada lowongan untukku?” Ardi sedikit usil mengajukan pertanyaan, mungkin dia sudah sedikit tahu pria yang sedang dihadapi hanya pandai mengunyah.
“Untukmu?” Dia memandangi Ardi dari atas sampai bawah. “Paling jadi kurir,” katanya sedikit menggeremang dan sedikit ragu.
“Kurir apa?”
“Kau tahu? Kau mengingatkanku pada diriku waktu kecil.” Malah dia membuka lembaran masa lalu. “Aku pernah pada kondisi kelaparan. Ayahku harus berjalan berkilo-kilometer hanya untuk bekerja agar keluarganya bisa makan.”
“Lalu di mana dia sekarang?” Ardi berusaha mengimbangi.
“Pergi selamanya.”
“Maafkan aku.” Ardi memasang wajah tampak bersalah.
“Hidupku makin tak karuan saja, punya banyak hutang, banyak masalah, dan saat-saat seperti itu aku berkenalan dengan seseorang yang menjanjikanku sesuatu. Aku menerimanya dan hidupku lebih baik memang, tak kelaparan lagi. Tapi secara moral?” Dia bergeleng sambil menertawakan dirinya sendiri.
“Kau masih jadi orang baik,” ujar Ardi.
“Tidak. Lihat wajahku, apa aku orang baik-baik?” katanya sambil memasang wajah menghadap ke arah Ardi. Ardi melihatnya hanya seorang tukang makan dengan tumpukan lemak serta perut berguncang. “Ini untukmu, kuharap kau jangan lama-lama di sini. Jika mereka tahu,…” katanya lagi namun tak tuntas diucapkan.
Tiba-tiba rolling door depan gedung itu terbuka ke atas. Seorang bertato keluar dengan wajah mempertanyakan. “Hey! Jangan sembarangan berinteraksi dengan orang lain bodoh!” hardiknya sambil mendekat, si gendut tampak kebingungan. Pria itu menggeplak kepala si gendut. Lalu mengamati sosok yang berada di hadapannya, mungkin karena dia juga tahu Ardi sebelumnya pernah menyamar seperti pemulung atau gelandangan, tangannya perlahan merabai jaketnya seperti ingin mengambil sesuatu. Ardi sedikit cemas dan bersiap mengambil posisi menghindar atau kabur. Namun kawan yang lainnya dalam gedung itu memanggilnya.
“Hey, sini! Selesaikan tugasmu,” ujarnya sambil melongok dari dalam.
Dia beralih padanya, namun masih dengan tatapan curiga. Lalu menggeplak si gendut lagi. “Awasi dia,” ujarnya lalu kembali ke dalam.
Resti tetap mengawasi hingga mereka berdua bercakap lagi. Tak lama kemudian, entah yang menggeplak si gendut sebelumnya mengadu pada yang lain di dalam, tak lama setelah dia masuk. Resti melihat seseorang berdiri di atas gedung itu, di sebelah tandon air, berusaha membidik ke arah Ardi.
“Sial!” umpat Resti sambil meraih senjata dari dalam jaketnya. Meski dia sendiri tahu senjata yang dipegangnya, tak efektif di jarak sejauh itu. Namun setidaknya bisa mengganggu saat dia menembak Ardi. Lalu terdengar letusan hampir bersamaan. Ardi dan si gendut terkejut dan peluru tak mengenainya. Semua menyadari situasi kini berubah tiba-tiba. Yang jelas Ardi menyadari kehadiran Resti. Pria yang di atas berganti menembaki Resti yang mulai menjalankan motornya dengan sedikit brutal untuk seorang perempuan demi menghindari tembakan yang dikeluarkan dalam jumlah banyak. Ada jeda sejenak, mungkin pelurunya habis dan membuatnya bisa kabur bersama Ardi dengan mudah. Pria itu tampak kesal melihatnya lolos. Sementara si gendut kebingungan sendiri.
“Kau tahu resikonya jika kau bergerak sendiri, hah?! Mereka sudah tahu penyamaranmu.” Sambil mengemudikan motor, Resti marah-marah.
“Aku tahu, tapi temanku dalam penyandraan mereka,” jelas Ardi.
Di dalam gedung itu, pria pembidik Ardi kesal sendiri. “Aku hampir mengenainya, sial!” umpatnya.
“Kita tak siap dengan sesuatu yang mendadak seperti ini,” kata yang lain.
“Apa kita akan memburunya sekarang?”
“Tentu, tak ada waktu sebaik ini. Kupikir kita salah memilih pembunuh bayaran,” ujar Beni.
**
“Pengkhianat kita Haidar sudah mati, Tuan. Putramu yang menembaknya saat mobil itu berjalan. Dia professional,” kata Hary.
“Aku tahu. Tapi aku belum terkesan,” jawab Herman biasa saja.
“Dia bergerak seorang diri. Tapi, kurasa Resti juga membantunya.” Teguh menimpali.