Philogynik

Suyat Aslah
Chapter #20

BAB 19

Saat sore hari, sebuah mobil VAN berhenti di tepi jalan. Sempat dia mengira yang datang adalah sekawanan yang akan menangkapnya. Bersiap dengan kondisi yang menyergapnya tiba-tiba. Namun saat seorang turun dari mobil, mengeluarkan sebuah karung dan melemparkannya begitu saja lalu mereka pergi. Tiba-tiba dia ingat perkataan Resti saat sebelum dia pulang.

Ardi keluar pelan-pelan barangkali semua ini jauh dari perkiraannya. Melihat dengan waspada, mendekati karung yang dijatuhkan itu. Setelah dia menimbang-nimbang apa isi di dalamnya, dia memanggulnya masuk ke sarangnya dan langsung membukanya. Ada beberapa potong pakaian, makanan, tas besar, topi, sepatu, kumis palsu, jaket, rompi anti peluru, sebuah ponsel dan pomade. Tak ada senjata, amunisi ataupun uang. Lebih lengkap dari yang dia minta.

“Semua ini akan membuatku makin tampan,” batin Ardi sedikit mencandai diri.

Keesokan harinya, Ardi berganti wajah dan ekspresi. Melepas penampilan gelandangan atau orang gila. Untuk sekarang pakaiannya normal, kaos lengan panjang polos berwarna hijau lumut tua, celana panjang jeans hitam dan rambut diatur rapi. Sebuah tas besar dia gendong pada satu bahunya. Sepatunya berwarna putih masih baru. Namun dia masih merahasiakan wajahnya, memakai kumis dan untuk kali ini tanpa jenggot palsu.

Tak ada kendaraan yang lewat. Sambil menunggu tumpangan, dia berjalan kaki. Kakinya cukup terbiasa berjalan jauh. Lalu terlihat sebuah mobil bak terbuka. Ardi berdiri di tengah jalan sambil melambaikan kedua tangannya. Mobil itu melambat dan berhenti. Seorang sopir bertopi muncul dari jendela samping, hanya kepala dan lehernya saja yang terlihat.

“Kau kenapa?” tanya sopir.

“Aku butuh tumpangan, aku akan membayarmu,” jawab Ardi sambil menunjukan uang nominal besar. Dia memutuskan untuk memakai sedikit uang yang ditemukannya.

Dia duduk bersandar pada belakang kepala mobil. Angin menyapu rambutnya yang sudah memakai pomade, sinar matahari menimpa wajahnya. Tas besarnya dia letakkan di sampingnya. Membawa senjata Sniper yang cukup berat, Barret M107A1, juga pisau lipat dan sebuah pistol. Karena sedikit silau, dia mengambil topi dan memakainya. Menjulurkan kakinya dengan amat nyaman, lalu matanya melihat sepatu yang dia pakai. Mereknya masih menempel di sana, sementara sopir memutar lagu lawas.

Ardi selalu bersama ambisi yang ingin tuntas oleh tangannya sendiri. Tak terlalu memikirkan hubungan kerja sama tim. Darah pembunuh seperti mengalir di tubuhnya. Bahkan tempat saat dia hampir saja terbunuh sebelumnya tetap dia datangi lagi. Entah Pandu dengan kondisi bagaimana.

Setelah cukup dekat dengan lokasi, Ardi mengetuk-ngetuk kepala belakang mobil. Dengan pelan mulai melambat dan berhenti dengan kondisi masih menyala.

“Kau yakin cuma sampai sini?” tanya sopir melongokkan kepalanya lewat jendela.

“Ya. Terima kasih tumpangannya,” jawab Ardi sambil menggerakan tangannya.

“Terima kasih untuk uangnya.” Mobil menderu pergi.

Turun di jalan besar membuat sudut pandang yang berbeda dari lokasi. Ada beberapa ruko yang mungkin ditelantarkan begitu saja. Lalu berjalan lagi ada gedung sekolahan yang terlihat amat sepi. Gerbang terkunci menandakan tak ada orang di dalamnya. Gedung tiga lantai akan cukup bagus untuk membidik dari jarak jauh. Halaman yang dipagari tembok tak terlalu tinggi tak jadi masalah untuk memasuki pelataran dan tak bakal kesulitan memanjat ke atas karena dari depan saja terlihat baris-baris tangga. Namun yang jadi masalah adalah pepohonan yang berhimpit.

Perhatiannya teralihkan pada gedung selanjutnya yang sekitar seratus meter dari sekolah. Masih dalam tahap pembangunan. Entah pemilik kehabisan dana atau banyak pekerja yang menuntut hari libur panjang. Bahkan menurut perkiraannya, sudah lama tak tersentuh tangan manusia. Dinding yang belum rapi, masih banyak bambu dan kayu silang sengkarut. Namun hanya dua lantai saja. Dia juga harus memetakan ke mana harus kabur jika keadaan memaksa.

Ardi tetap naik ke lantai dua. Mempersiapkan senjata Snipernya, mencari tumpuan yang bagus lalu mengetes fokus Scope sambil merunduk. Terlihat si gendut itu sedang makan besar. Lalu diarahkan ke beberapa bagian gedung. Dedaunan cukup menutupi pandangannya meski tak terlalu rapat. Gedung itu terlihat tertutup, bahkan tak ada orang lain terlihat di sana. Mungkin jika dia datang dari arah sebaliknya akan lebih lapang dan cukup banyak semak untuk sembunyi, dia sadar telah melakukan kesalahan posisi. Lalu sebuah mobil melewati jalan depan bangunan Ardi membidik. Beruntungnya tumpukan kayu cukup menyembunyikannya meski harus merunduk lebih rendah dan menekuk kembali penyangga senjata. Mobil itu berhenti di depan gerbang markasnya lalu si gendut membukakan gerbang. Empat orang terlihat keluar dari mobil itu, termasuk Sarah. Mereka terlihat membicarakan sesuatu. Salah satu pria yang dia kenali adalah Beni.

Jemari Ardi sudah menempel di pelatuk. Sasaran pertamanya adalah Beni. Namun posisinya tertutupi oleh Sarah. Sambil mengatur napas yang mungkin saja bisa mengganggunya dalam menembak. Biar bagaiamanapun sasaran bergerak akan lebih sulit dan angin bisa saja menerbangkan peluru beberapa inchi dari sasaran. Setelah sedikit tersingkap dengan bidikan mantap pelatuk langsung ditarik, namun peluru hanya mengenai bahu kirinya. Membuat Ardi bersiap akan kemungkinan terburuknya.

Lihat selengkapnya