Sedikit harapan untuk melepaskan diri dari belenggu. Soal kabur dari ruangan itu, dia tak tahu. Memutus tali yang mengikat tangannya di belakang bukanlah hal mudah. Untuk menggerakkan jari-jarinya memotong tali itu saja butuh usaha. Menghabiskan sisa tenaga hanya untuk melarikan diri, itu sesuatu yang tak dia sukai. Gunting kuku dia gosokkan pada tali yang mengikat tangannya. Karena tak melihat, sedikit menggores tangannya hingga dia rasakan darah mengalir pada lengan. Telinganya juga seperti mendengar langkah kaki. Lalu suaranya menghilang. Entah itu hanya pendengaran telinga batinnya, dia masih ragu.
Tali itu terpotong, luka itu masih terus mengeluarkan darah, tangannya juga pegal-pegal. Tiba-tiba terdengar suara desisan memanggil dari ruangan sebelah. Membuatnya terkejut dan menjatuhkan gunting kuku itu. Namun seperti hal yang ajaib, gunting itu tak jatuh ke air, tapi tersangkut di tepian tong. Lebih dulu perhatiannya tersita pada sumber suara itu, dari celah saluran udara yang membatasi ruangan satu ke ruangan lain dan hanya terlihat rambut kepalanya saja.
“Ardi, ini aku.” Suara yang pasti dikenalinya. Dialah Pandu.
“Kau mengejutkanku. Kau baik saja?” tanya Ardi.
“Ya. Hanya sedikit lapar,” jawabnya.
Ardi sedikit mengayunkan tubuhnya untuk bisa meraih gunting kuku itu. Katrol itu berdecit, membuatnya sedikit takut kalau-kalau mereka datang dengan alat penggebuk atau apa. Sangat sulit meraih itu jika dia berputar dalam gantungan dan dengan pandangan terbalik.
“Ardi, kau ada ide melarikan diri?” tanya Pandu.
“Diamlah. Sedang kuusahakan. Bagaimana denganmu?”
“Kau tahu? Aku mulai terbiasa hidup dalam ruangan sempit ini.”
“Kau bodoh,” ujarnya sambil mengayun lebih kuat. Tangannya berhasil menangkap dan nyaris menjatuhkannya lagi. Lalu tiba-tiba suara gemerincing gerendel terdengar, si kumis bapang membuka pintu, mungkin karena mendengar sesuatu yang berisik. Dengan gerakan cepat Ardi menyembunyikan tangannya seperti semula, seolah-olah masih terikat.
“Apa yang kau lakukan, bajingan!” katanya dengan tatapan menyelidik, namun setelah melihat Ardi masih di posisi tergantung dan tangan berada di belakang, dia masih merasa wajar.
“Tolong, ampuni aku, Tuan.” Ardi merengek. Hanya pura-pura tentunya, yang dia takutkan adalah saat tubuhnya berputar dan dia pasti bakal ketahuan kalau tangannya sudah tak diikat.
“Diamlah!” Lalu pintu ditutup dengan keras sambil bergumam tak jelas, mengunci pintunya lagi dan pergi begitu saja.
“Kau meniru keahlianku, Ardi. Tapi kurang menjiwai, kau harus menghadirkannya dari dalam dadamu, mengatur napasmu, mengubah raut wajahmu,” ujar Pandu.
“Diam dan pikirkan caramu keluar dari sini.”
“Aku bisa mengandalkanmu.” Pandu seperti seenaknya sendiri, seolah nyawanya akan baik-baik saja.
Kini berusaha memotong tali yang mengikat kakinya. Tangan yang satu sambil berpegangan pada tali yang menggantungnya, hingga dia takkan jatuh saat bagian yang mengikat kakinya lepas. Dan dia benar-benar lepas sekarang. Kakinya sedikit gemetar untuk berdiri. Luka di tangannya juga terasa pedih dan berusaha membebatnya dengan setangan yang tergeletak.
“Hey! Apa kau diborgol?” bisik Ardi ke dekat lubang saluran udara. Mereka bercakap tanpa bisa saling tatap karena saluran udara itu lebih tinggi dari kepala.
“Kau sudah lepas? Bagaimana kau melakukannya?” Pandu heran.
“Hanya sentuhan ajaib.”
“Sentuhan ajaib?” Pandu makin heran.
“Dengar, kau sudah berhari-hari di sini. Kau tahu beberapa bagian ruangan ini bukan?”
“Aku pernah dikurung di ruangan yang lain. Sangat sempit, aku mencoba kabur dan aku berhasil keluar ruangan itu, tapi aku kebingungan tak tahu arah. Lalu tanpa sengaja aku masuk ke bagian belakang. Kau tahu? Pintu keluarnya terbuat dari besi dan amat sulit kubuka. Aku tertangkap lagi, lalu dipindahkan ke ruangan ini,” jelasnya.
“Kau punya nyali rupanya ya.”
“Tentu. Ehm, kau mungkin bakal terkejut dengan apa yang akan kuceritakan. Dengar, menurutku jalan terbaik kita melarikan diri adalah lewat ruangan pertama saat aku ditahan. Aku merasakan embusan angin dari sela-sela saluran udara, bahkan aku pernah melihat dedaunan dari cabang pohon tertiup angin memukul-mukul saluran udara. Aku yakin di balik tembok adalah pekarangan.”
“Ternyata kau bodoh juga ya.”
“Aku tahu! Aku tahu!” ujar Pandu sedikit keberatan.
Langkah berat terdengar menghentak. Terlihat bayangan dari bawah pintu. Berhenti di sana dengan siulan sambil berusaha membuka pintu tempat Ardi ditahan. Sedikit ada rasa kahawatir dengan senjata yang mungkin dia bawa. Namun mungkin jika yang ditimbang momentumnya, Ardi ada di posisi yang lebih menguntungkan. Dia yang akan mengambil momen itu, sementara lawan tak tahu apa yang bakal terjadi.
Setelah pintu terbuka, siulannya berhenti dan terkejut bukan main melihat tak ada siapa pun di gantungan. “Sial!”
Lalu dengan sebat Ardi menghantam wajahnya, diikuti tinjuan keras berikutnya dan menghantamkan kepalanya pada tembok hingga membuatnya pingsan namun Ardi masih memukulnya satu kali lagi. Dia adalah orang yang meninju Ardi saat masih tergantung. Tanpa sengaja dan tanpa sepengetahuannya, gunting kuku yang dia genggam jatuh di atas badan yang tergeletak saat pukulan terakhir. Ardi menyeretnya masuk ke dalam, lalu mengunci dia dalam ruangan itu. Mungkin juga kunci pintu ruangan tempat Pandu ditahan termasuk dalam gerombolan itu, memilih sebuah kunci dalam gerombolan tentu jadi hal yang sulit jika keadaan sedang darurat. Sama seperti saat bersama Resti dalam persembunyian di balik rak buku. Tangannya sedikit gemetar namun masih bisa dikuasai. Tentu dia tak bisa pergi begitu saja, Pandu juga harus keluar bersamanya. Pada akhirnya pintu terbuka namun dengan sedikit kasar.
“Aku bisa mengandalkanmu, Ardi. Lewat sini,” ujar Pandu.
Ardi mencium bau menyengat di tubuh Pandu. “Apa kau mengompol?”
“Tidak. Salah satu dari mereka mengencingiku.”
Dalam pelarian tanpa memegang senjata jadi amat beresiko. Pandu yang sekarang seperti halnya pemberani yang tak banyak berpikir. Namun Ardi meyakini kecerobohannya belum menghilang dari tubuhnya. Bahkan dia seperti bingung sendiri dengan arahnya. Lupa ruangan dan tetap berjalan tanpa melihat arah seseorang akan menyergapnya tiba-tiba. Seolah-olah itu rumahnya sendiri.
“Seingatku ada tangga di sebelah sini,” ujarnya.
“Aku tak yakin kau tahu ruangan yang kau maksud.” Ardi meragukannya.
“Aku yakin ini pintunya,” ujarnya.
Setelah pintu dibuka, beberapa orang sedang berkumpul mengelilingi sebuah meja penuh minuman, asap rokok mengepul di udara sambil mendengarkan musik melankolis. Mereka menghadap datar ke arah Pandu dan Ardi, dalam jeda sejenak mereka belum menyadari yang membuka pintu adalah tawanan mereka yang melarikan diri. Setelah sadar, mereka terkejut bersamaan, ada yang langsung mengejarnya, ada yang mencari-cari senjata bahkan ada juga yang menjatuhkan puntung rokok membuat kakinya sendiri kepanasan.
“Bajingan!” umpat salah satu.
Pandu dan Ardi tunggang-langgang berlari sembarang arah. Sementara kakinya masih terasa sakit karena bekas gantungan. Kali ini dia bingung sendiri. Haruskah mempercayakan jalan keluar pada Pandu? Sementara Ardi sendiri saat dibawa masuk pabrik itu dalam keadaan tak sadarkan diri. Tangannya mencari-cari gunting kuku, alat kecil itu mungkin bisa membantu dalam kondisi tertentu, namun tak menemukannya.