Philogynik

Suyat Aslah
Chapter #22

BAB 21

Permainan telah berubah. Mengalir tak tentu arah. Banyak hal tak terduga terjadi dan kian menjadi. Dendam yang merajai hati-hati manusia. Bergemuruh dalam dada yang pada kasus tertentu bisa membumi hanguskan dunia.

Detektif Abdar masih bekerja dalam senyap. Menyelusup selembut-lembutnya hingga tak ada yang tahu dia telah masuk untuk membongkar semuanya. Bersama tim yang bahkan dia tak percaya sepenuhnya pada mereka. Kadang malah dia bergerak sendiri menyusuri labirin kasus yang gelap. Beberapa hari ke belakang dia diam-diam mengecek jumlah peluru milik anak buahnya saat istirahat di kantornya, semua senjata diletakkan pada tempat khusus senjata. Biasanya ada salah satu jenis pistol itu dibawa pulang saat jam kantor selesai. Dan Abdar mulai mencurigai Dani.

Sebuah wacana datang dari Kepala Kepolisian Kota yang berencana membubarkan timnya meski belum terlalu lama dibentuk. Langkah terburu-buru yang justru menimbulkan beberapa silang pendapat. Dan dalam pertemuan beberapa hadir, seperti tim itu sendiri, Kepala Kepolisian Kota, Kepala Penjara Kota, dan didukung Wali Kota. Dengan beberapa pertimbangan berbau politik menghasilkan keputusan penundaan pembubaran dan akan dikaji lagi setelah tiga bulan.

Malam hari, Abdar menunggu Sarah dalam sebuah restoran tak terlalu jauh dari kantor polisi. Pertemuan diam-diam untuk membahas sesuatu yang penting, Sarah yang meminta. Pertukaran informasi yang harusnya setimpal. Sarah mendapatkan informasi siapa sebenarnya pembunuh Ayahnya dan tak terlalu berharap perlindungan dari polisi, Abdar setidaknya berharap tahu tentang siapa sebenarnya Sarah, dan dia yakin dari awal Sarah terlibat sesuatu yang berhubungan dengan sebuah kelompok bertato belati. Abdar duduk di kursi paling depan restoran di dekat kaca. Suasana tak terlalu ramai, hanya ada beberapa pengunjung saja yang ada di sana. Akhirnya Sarah datang dengan langkah cepat sambil mengedarkan pandangan lalu Abdar mempersilakannya.

“Kau baik saja?” tanya Abdar.

“Untuk sementara, iya,” jawab Sarah.

“Baiklah, aku yang lebih dulu cerita atau kau?”

“Beri saya penjelasan singkat apa yang ingin kau sampaikan.” Sarah sudah sangat tak sabar dengan apa yang bakal dia dengar dari Abdar.

“Kasus itu ditangani oleh Tim yang dulu, meski aku tak termasuk di dalamnya. Tapi aku mengikuti kasus itu. Pernah juga aku datang langsung ke lokasi, tapi jelas aku dibatasi. Mereka, Tim itu, tak menemukan satu pun bukti atau sidik jari. Saat aku berkeliling di luar batas pita polisi, sedikit menjauh aku menemukan sebuah ponsel yang sudah mati, layarnya retak. Kukira itu cuma barang rongsok yang dibuang dengan sengaja. Aku menyimpannya, itu kebiasaan yang aneh. Penelusuran berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, tak ada hasil dari tim itu. Tapi otakku terlambat berpikir, kenapa aku tak curiga pada bagian terkecil yang bahkan mungkin bisa membuka kasus, ‘ponsel itu’. Belum lama ini aku membawanya ke ‘bengkel ponsel’ untuk diperbaiki dan meminta si tukang bengkel itu untuk menjaga file, perpesanan atau apapun itu tetap utuh. Dia menyanggupi. Dan kau tahu? Ada sebuah pesan masuk atas nama Paul, untuk bertemu di tempat itu. Dugaanku dia dibunuh oleh Paul,” jelas Abdar.

“Itu bisa dipertanggungjawabkan?” Sarah terkejut.

“Ya. Sekarang aku yang menangani kasusnya, sedang aku usahakan,” jawab Abdar sambil mengangsurkan ponsel yang dia temukan. Sarah langsung mengeceknya. “Kau mungkin ingat, itu ponsel milik Ayahmu atau bukan?” tanya Abdar.

“Ya, aku tahu ini ponsel Ayahku,” jawab Sarah sambil membaca tiap kalimat dalam pesan singkat itu.

“Sekarang giliranmu,” ujar Abdar.

“Dengar. Ada pengkhianat dalam Timmu…” Belum selesai menjelaskan, sebuah peluru menghantam kaca di samping Sarah, menembus sampai ke kepalanya.

“Brengsek!” umpat Abdar sambil menunduk di samping tembok yang cukup rendah, tangannya menggeragapi senjata dari balik jaketnya. Saat Abdar mengintip sedikit untuk melihat posisinya, terlihat penembak yang menaiki motor. Sebuah tembakan lagi nyaris mengenainya dan motor itu menggerung pergi.

Beberapa pengunjung restoran panik, perempuan menjerit, ada juga yang bersembunyi di bawah meja. Seorang karyawan ada yang ingin menelpon polisi dengan menekan tombol terburu-buru. Lalu Abdar menunjukkan lencana kepolisian padanya.

“Aku polisi,” katanya.

Seseorang menginginkan mereka berdua mati. Namun entah kenapa dia pergi sebelum misi selesai, Abdar tak tahu itu. Dia memandang Sarah yang tak bernyawa. Lalu keluar dan berdiri di depan restoran, memandang ke mana suara motor itu pergi. Tentu sudah terlalu jauh. Semua anggota timnya dia panggil ke lokasi dan sebuah mobil ambulance. Tak terlalu lama mobil ambulance datang lebih dulu, lalu mereka datang hampir bersamaan, berbaju biasa namun memakai rompi anti peluru dan membawa senjata. Mereka melihat kaca depan pecah dan semuanya terlihat kacau, lalu masuk dan melihat sebuah jasad yang ditutupi kertas koran.

“Siapa yang tertembak?” tanya Wardhana yang memakai kaca mata. Akhir-akhir ini memang dia mengeluhkan pandangan matanya yang mulai berkurang.

“Informanku,” jawab Abdar sambil menyadari bahwa ada satu anggota yang tak hadir di lokasi.

“Di mana Dani?” tanya Abdar.

“Dia mungkin sedang asyik dengan kehidupannya sendiri,” jawab Bakri.

“Apa yang terjadi sebenarnya?” Wardhana bertanya sambil membenarkan posisi kacamatanya.

“Ada pihak yang membuntutinya dan menginginkannya mati. Pelaku tahu tentang pertemuan ini bahkan dia juga menembakku. Selongsong peluru kaliber 38 Special, menembak dari tepi jalan, seperti pernah melakukan pelatihan menembak, dia lumayan terlatih,” jelas Abdar.

“Lalu siapa perempuan ini? Maksudku dia punya cerita, kan?” tanya Bakri setelah membuka penutup koran itu.

“Dulu Ayahnya pernah dihabisi dengan gaya eksekusi. Pelakunya belum ditemukan. Tapi aku pernah menemukan sebuah benda sejak lama, dan aku menyimpannya. Aku baru tahu itu petunjuk penting. Kita di sini untuk bertukar informasi. Dia ingin tahu siapa pembunuh Ayahnya.”

“Tato belati, dia juga ikut ke dalam kelompok tertentu kurasa,” ujar Bakri lagi.

“Ya, meski dia tak mau menjelaskan tentang hal itu. Aku tahu dia dari tato yang dimilikinya. Aku melihatnya pertama kali di sebuah sekolah saat aku jadi Pembina upacara. Kuduga dia jadi umpan waktu itu,” kata Abdar lagi.

“Dia memberimu informasi?” Kali ini Johan yang bertanya sambil menyapu pandang ke sekeliling ruangan itu.

“Belum.” Abdar menjawab sedikit berpikir. Walaupun sebenarnya dia sudah dapat sebuah hal penting. Bahwa dia punya seorang pengkhianat. Jika dia mengatakannya sekarang, akan jadi langkah ceroboh saat dia sendiri belum tahu siapa pengkhianat itu.


Keesokan harinya di ruang kerja kantornya, Tim Abdar telah lengkap termasuk Dani. Hal yang akan mereka bicarakan seperti jadi hal yang biasa mereka lakukan saat membahas kasus. Perkembangan dan langkah-langkah yang ditempuh benar-benar butuh perhitungan yang matang. Seperti saat akan melakukan operasi penangkapan yang cukup beresiko, mereka harus berlatih mematangkan strategi, pengintaian, rencana A, B dan seterusnya. Bahkan selain perlindungan diri yang dikenakan, mereka juga perlu melemaskan jemari mereka memegang senjata, berlatih berulang-ulang mengisi dengan cepat kotak magasin peluru jika habis.

“Apa ada yang aneh terkait pembubaran Tim kita ini?” Bakri bertanya sambil memakan kacang.

“Semua sudah aneh sejak awal pembentukan Tim sebelum kita,” ujar Abdar. Kemudian menyambungnya, “Mungkin, hanya sebuah teoriku saja, atau anggap saja lahir dari imajinasiku. Mereka, oligarki yang memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar untuk membeli kepentingan yang dia mau, ikut menyokong dukungan ke para petinggi pemerintahan kota untuk mendapatkan hati rakyat saat pencalonan. Setelah dia berhasil terpilih, yang terakhir adalah aku menyebutnya ‘imbalan balas budi’ untuk si penyokong itu, yang menguntungkan mereka tentunya. Yang kita lihat sekarang adalah salah satu dampak kekacauan imbas dari semuanya.”

“Itu gambaran cukup masuk akal,” ujar Wardhana sambil melepas kacamatanya.

“Bagaimana menurutmu, Dani?” tanya Abdar menyelidik. Penasaran menunggu ekspresi dari Dani.

Wajahnya ragu namun tetap mencoba menjawab, “Umm, kasus ini masih berjalan, kita lihat nanti.”

“Kau jadi pendiam sekarang,” ujar yang lain.

Lihat selengkapnya