Philogynik

Suyat Aslah
Chapter #23

BAB 22

Suasana Panti Wreda selalu berisik saat jam makan seperti ini. Meski ada beberapa yang tak ikut makan di meja panjang dengan kursi-kursi tinggi yang mengelilingi. Herman selalu duduk di kursi yang biasa. Dia bisa memandang ke depan dan melihat para orangtua itu menyantap makanan yang bahkan mereka tak memikirkan dari mana hidangan yang ada di hadapannya.

Setelah selesai Herman duduk-duduk sambil menyandarkan punggungnya pada sofa yang empuk, menghabiskan satu atau dua batang rokok sambil memandangi TV. Ritual yang biasa dan sedikit membosankannya. Lalu terdengar pintu diketuk dari luar, mereka masuk dengan sendirinya. Hanya ada beberapa, salah satunya Jefri. Hanya berdiri takzim dan seperti tak ada yang berani duduk.

“Anda memanggil kami, Tuan?” tanya Teguh.

“Apa langit di luar cerah?” Herman menjawab dengan sebuah pertanyaan yang bahkan tidak nyambung dan tak penting sama sekali.

“Sedikit mendung kurasa,” jawab Jefri.

“Harusnya sudah waktunya aku potong rambut,” ujar Herman.

“Apa ada perubahan perintah untuk besok, Tuan?” tanya Jefri.

“Tidak. Ada yang ingin mundur? Mundurlah sekarang.”

Semua saling tatap dan diam sebentar, lalu salah satu menjawabnya, “Kita ikuti perintahmu, Tuan. Tapi Aku punya pertanyaan. Jika kita sudah selesai, siapa yang akan menjalankan ini semua. Panti Wreda ini cukup mengeluarkan biaya besar. Kita juga pemakai, bahkan kita tak tahu caranya untuk berhenti.” Pertanyaan Hary kali ini cukup mengambil waktu Herman untuk mejawab.

Herman menghisap rokok dalam-dalam dan mengembuskannya. “Ini keputusan sulit, aku tahu, tapi kita bukan binatang yang dikendalikan oleh naluri instingtif semata.”

“Ya, Tuan.”

“Jika sudah di posisiku, akan lebih sulit lagi untuk berhenti.” Herman menambahi.

“Mereka mungkin akan mengejarnya lagi. Resti selalu jadi yang paling dekat untuk saat ini. Mungkin saja dia sedang bersamanya sekarang,” kata Jefri.

“Seperti apa dia sekarang? Anakku.” Itu adalah pertanyaan pertama kali yang diajukan terkait anaknya.

“Dia pemberani dan punya ambisi. Dia juga tampan, Tuan.” Kali ini Dodi yang menjawab.

“Anda ingin menemuinya, Tuan?” tanya Teguh.

“Belum ingin, mungkin lain kali. Bagaimana dengan Paul?”

“Dia kaya, banyak anak buah.” Hary menjawabnya dengan sedikit hati-hati, jawaban itu mungkin terdengar seperti pujian untuk Paul.

“Tapi aku yakin dia pemimpin yang buruk. Dia pandai mengambil keputusan yang salah. Aku tahu saat dia masih jadi anak buahku, dia hanya memikirkan jumlah pelanggan namun tak terpikir olehnya siapa pelanggan itu. Bisa jadi polisi yang menyamar,” ujar Herman.

“Tapi kita harus mewaspadai Beni, orang kepercayaannya. Dia professional, mantan Marinir yang diberhentikan secara tidak hormat karena terlibat kerusuhan dalam sebuah Bar yang menyebabkan korban koma dan meninggal di rumah sakit. Di penjara di lapas Caladium dan bebas bersyarat tiga tahun lalu. Masih prima dan sudah jadi orang kepercayaan Paul dalam waktu cukup singkat, itu cukup mengesankan,” jelas Jefri.

“Paul target pertama, Beni target kedua,” kata Herman.

“Bagaimana dengan yang lain?” tanya Dodi.

“Target tiga, semua haruslah tuntas,” jawab Herman mengakhiri.


**


“Besok adalah waktunya,” kata Resti. Mereka duduk bersebelahan di undak-undak tangga depan rumah. Memandangi jalanan yang sepi dan teduhnya langit. Beberapa burung berlompatan di ranting-ranting pohon Trembesi di depan rumah. Suasana membuatnya lebih akrab dari sebelumnya.

“Kau tak harus ikut terlibat, kan? Karena selama ini kau bergerak semaumu tanpa perintahnya, maka tak masalah jika tak ikut,” kata Ardi.

“Aku sudah terlibat sejak Ibuku meninggal. Beni yang menembaknya, aku melihatnya dengan mataku sendiri. Dulu aku terlalu takut untuk mengadukan kasus itu ke polisi, ada banyak sekali ancaman. Salah satunya bom mobil. Bahkan Ayahmu tak ingin membawanya ke jalur hukum. ‘Tak semua polisi bisa disuap’, katanya. Itu terlalu berbahaya untuk bisnisnya.”

Ardi mendengarkan sambil melihat wajah Resti yang tampak merasakan sesuatu, bahkan menunggu kalimat selanjutnya.

“Kau mau ikut?” tanya Resti.

“Bagaimana jika aku mengamati dari jauh.”

“Setelah kejadian demi kejadian yang menimpamu, kau pikir takkan terseret dalam konfrontasi? Justru kau adalah sasaran utama sejak dulu.”

Lihat selengkapnya