Keesokan harinya Abdar menunjukkan apa yang dia temukan di bekas rumah daerah semenanjung kepada timnya, begitu juga dengan foto-foto yang dia ambil di Panti Wreda. Dia menggeser satu demi satu foto di ponselnya. ”Ada yang mengenalinya?”
“Mungkin, ehm… dia yang botak adalah seorang mantan satpam bank. Sempat masuk surat kabar kupikir. Terjerat hutang dan melakukan penipuan. Dipecat oleh pihak bank. Dua tahun dipenjara dan keluar sebagai pengangguran, dan kau tahu akhirnya,” jelas Wardhana.
“Pertanyaannya adalah, sedang apa para bajingan ini di sana. Nenek mereka di sana atau…?” tanya Bakri terputus dengan sendirinya, seperti kehabisan kata dan tak mau melanjutkannya lagi.
“Dulu sudah ada polisi yang ke sana, kan?” Tanya Wardhana.
“Sepertinya aku pernah dengar sebuah cerita, tapi aku tak tahu di Panti Wreda yang mana. Kalau tidak salah polisi yang datang disambut baik dengan kopi Latte, petugas yang ramah dan banyak orang sepuh bahagia. Tak ada yang mencurigakan katanya.” Abdar seakan lebih tahu dari mereka, tapi sebagai ketua dan pada sebagian hal dia lebih suka memperbincangkannya dengan yang lain. Sekali lagi setidaknya sebagian hal.
“Apa mereka bertemu orang sejenis mereka?” tanya yang lain.
“Aku tak tahu, kabarnya mereka telah mengecek keseluruhan ruangan. Tak ada apapun yang mencurigakan,” jelas Abdar lagi.
“Aku penasaran dengan pemiliknya atau siapa pun yang bertanggungjawab penuh di sana,” kata Bakri.
“Aku punya fotonya. Kawanku yang masuk tim sebelum kita pernah mengirimkan foto itu padaku,” jawab Wardhana sambil menunjukkan sebuah foto.
“Herman setiadi,” jawab Dani. Itu adalah kata pertama yang diucapkan sejak awal pembahasan.
“Siapa Herman setiadi?” tanya Bakri.
“Bandar besar yang telah mengambil pasar cukup luas. Bahkan kabarnya dia juga menyuplai ke luar negeri. Dia sangat pantas dihukum mati,” jelas Dani.
Sejak Ali menjadi informannya, sosok Herman Setiadi baru dia ketahui kali ini. Sekarang dia membiarkan anak buahnya mengeluarkan apa yang ada di kepalanya, terutama Dani.
“Kau tahu sejak dulu?” tanya Abdar pada Dani.
“Sekedar tahu sosoknya, untuk di mana dia berada aku tak tahu,” jawab Dani.
“Sekarang, di mana kawanmu yang dalam foto itu? Ehm, siapa namanya?” Abdar beralih ke Wardhana.
“Sunu,” jawabnya.
“Di mana Sunu?” tanya Bakri mengulang.
“Meninggal dalam kecelakaan setelah tim itu dianggap gagal.”
“Kau tahu apa yang harus dilakukan? Tangkap dia dan hukum mati. Sekarang kita sudah tahu lokasinya, kita juga tahu jejak kejahatannya.” Dani seperti terburu-buru dan sedikit menyimpan hasrat, setidaknya itu yang terbaca menurut Abdar.
“Aku yakin ini bakal menjadi kasus yang rumit. Melibatkan sebuah lingkaran rahasia di kota ini,” ujar Wardhana.
“Kita punya waktu yang sangat singkat, sebelum tim kita dibubarkan,” imbuh Dani.
Lalu sebuah pesan masuk ke ponsel Abdar. Dengan pelan tangannya membuka pesan itu, lalu tersenyum namun nyaris datar kemudian berkata, “Aku tak peduli tentang waktu yang tersisa. Aku lebih peduli apa yang akan terjadi sekarang.”
“Sekarang? Apa yang terjadi sekarang?” Bakri bingung sendiri.
“Pakailah rompi anti peluru kalian. Jangan lupa mainanmu, Nak,” ujar Abdar.
Semua tak mengerti dan tak percaya. Saling pandang dengan tatapan penuh pertanyaan, namun tak sampai terucapkan. Meski begitu semua menuruti perintahnya. Bergegas menaiki dua mobil, masing-masing berisi empat orang. Abdar satu mobil dengan Dani. Abdar di kursi depan, sementara Dani di belakang bersama Wardhana. Mobil melaju tergesa-gesa. Semua seperti tak siap akan sesuatu yang tak mereka ketahui.
“Siapa tadi yang mengirim pesan, orang kita?” tanya Dani sedikit menyelidik.
“Informanku,” jawab Abdar.
“Kita tim, kan? Tapi bahkan kita tak tahu siapa dia.” Sedikit mempertanyakan dengan ketidakterimaan.
“Ya. Kita semua tim, termasuk kamu.” Abdar memandang Dani, seperti menusuk ke kedalaman matanya dan Abdar tahu Dani belum siap menerima pertanyaan itu.
Percakapan yang tak mengalir secara wajar. Ada sedikit muka tak senang di wajah Dani. Semua merasakan hal yang sama. Hanya diam dan mencoba bersikap biasa. Sebuah pesan masuk lagi. Dia buka dengan hati-hati, tak mengangkat tangannya terlalu tinggi. Supaya dia jadi yang satu-satunya yang tahu apa isinya. Tertulis di sana: ‘Aku menangkap foto ini beberapa hari lalu. Aku baru mengenalinya sekarang. Mungkin salah satu darinya adalah anak buahmu. Coba lihat foto ini.’ Lalu sebuah foto masuk. Seperti sosok yang dia curigai sebelumnya. Dalam foto itu ada Dani yang sedang bersama dengan orang bertato belati. Dari ekspresinya dia sedang berbincang akrab. Sebuah senyuman bahkan memperlihatkan deretan giginya.