Resti sedang bersiap, tergesa-gesa seperti seorang bocah yang hendak berangkat sekolah di saat bel sekolah sebentar lagi berbunyi. Wajahnya tampak berisi hal-hal yang tak dia sukai. “Aku tak tahu seperti apa ini akan berakhir. Aku takut, Ardi.”
“Sudah kubilang, kita tak harus ikut.” Ardi tak begitu semangat dengan semua ini.
“Kau masih tak ingat Ibumu? Apa yang mereka lakukan padanya.” Resti membuka masa lalu.
“Aku mulai tak merasakan apa-apa lagi sekarang. Bahkan aku masih samar memahami masa laluku. Kau perempuan, Resti. Tak seharusnya ikut mereka. Ini bukan ide yang bagus untuk hubungan kita,” ujar Ardi.
“Aku tahu.” Resti mendesah lirih kemudian melanjutkan, “Aku masih ingat apa yang terjadi pada Ibuku, mereka yang menyebabkan semua ini. Selembar hatiku menolak melakukan ini, tapi selembar yang lain ingin melakukannya.”
“Ini hari yang cerah untuk sebuah pertemuan. Segelas kopi dan sepotong roti cukup membuat suasana baik-baik saja, kan?” Berandai-andai di situasi seperti ini mungkin bisa memperbaiki suasana hati.
“Ehe, kau sungguh ingin melakukan itu?” Sebuah senyuman terlukis di bibir Resti.
“Ya. Kita menunggu lama untuk itu,” ujar Ardi.
Sedikit tawa menyertai mereka. Seperti sedang merasakan hal yang langka. Kemudian diam sejenak dan saling tatap mengandung arti. Membiarkan angin mengalir di antara mereka. Sambil menahan perasaan yang kian meluap dalam dada.
“Akan kusiapkan rompiku,” ujar Resti sambil menjatuhkan pandangannya.
Sementara Ardi masih tetap sedikit keberatan atas keputusannya. Namun tak bisa berbuat apa-apa. Resti melempar sebuah rompi padanya. “Kau harus memakainya meski tak ingin ikut, ini hari yang berbahaya.”
“Baiklah, aku ikut denganmu.” Ardi berubah pikiran namun masih tak semangat.
“Sungguh? Bagaimana jika jadi Spotter?” Resti memandangnya sejenak.
“Kau punya peralatannya?”
“Ya. Termasuk kain Kasa, untuk menyamarkan bagian yang reflektif dari cahaya. Kau ingat Sniper yang pernah menembaki kita? Dia cukup bodoh karena tak memasangnya,” kata Resti sambil memulai lagi persiapannya.
“Dari mana kau belajar semua ini?”
“Dari buku yang kubaca. Ohya! Jangan lupa juga ponselmu. Kita harusnya datang lebih awal dari yang lain,” ujarnya sambil menunjukkan dua buah senjata pistol berperedam suara dan dua senjata Sniper yang cukup membuat Ardi terkesima.
“Desert Eagle, M200 Intervention,” gumam Ardi.
**
Sebungkus rokok dia letakkan di atas ponselnya yang tergeletak di meja dekat kanvas lukisnya, lalu Paul masuk ke dalam rumah untuk membuat kopi sendiri. Sempat sedikit mengobrol dengan anak-anaknya dan keluar lagi dengan membawa segelas kopi dan juga korek. Sambil bersiul dia berjalan ke luar, kembali untuk melanjutkan lukisannya.
Hal yang dilakukannya setelah duduk adalah menghirup aroma kopi kemudian menyesapnya sedikit meski masih panas. Mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya sambil mengisapnya. Mengembuskan asapnya di depan wajahnya sambil memandangi lukisannya yang masih belum banyak mendapat sentuhan. Sebuah bayangan tiba-tiba menghampiri kepalanya. Peristiwa-peristiwa yang membuat hari-hari baiknya terusik.
Dia merasa aneh setelah apa yang membuat sebuah hubungan jadi tak wajar selama bertahun-tahun. Masing-masing menyimpan dendam dan konfrontasi misterius. Anak buah yang saat melakukan operasi malam hari, mereka menghilang lama tanpa kabar. Meski berita di TV sempat mengabarkan ditemukannya potongan tubuh manusia oleh nelayan. Kecurigaannya tetap memusat pada Herman Setiadi. Mungkin memang dia telah lama mencampuri urusannya, pikirnya.
“Herman Setiadi,” gumamnya kesal.
Tangannya meraih ponsel, memencet sebuah tombol dan dia melihat ada dua buah pesan belum terbaca. Membukanya dengan perasaan biasa dan tak menganggapnya penting.
“Semua terasa aneh sekarang.” Itu adalah isi pesan pertama yang dikirim Dani. Lalu pesan kedua berbunyi, “Abdar seperti menyembunyikan sesuatu, entah itu rencana penggrebekan atau apa, dan dilakukan secara mendadak, maksudku itu adalah sekarang. Aku merasa tak aman dan makin dicurigai kurasa.”