Sementara Abdar masih dalam perjalan dengan perasaan tak karuan. Seperti kehilangan sesuatu yang telah diburu selama berabad-abad. Meradang sebelum tahu apa yang telah terjadi sebenarnya. Meski mobil melaju cepat, kemungkinan mereka hanya akan melihat sisanya.
Tembakan demi tembakan masih terdengar brutal dan sudah berlangsung setengah jam lebih. Pintu lipat depan pabrik yang terbuat dari seng banyak berlubang. Selongsong peluru bertebaran di mana-mana. Banyak peluru dihamburkan hanya untuk mencari keberuntungan. Berharap satu peluru bisa melukai lawan meski tak melihat sasaran.
“H, kau masih di sana?” tanya Jefri. Tak ada jawaban sampai dia melihat salah satu rekan tak jauh darinya tertembak di kaki. Mengerang sambil memegangi kakinya yang terembes darah lumayan banyak. “Sial!” umpat Jefri. Dia hendak membantunya namun sebuah tembakan lagi lebih dulu benar-benar membuat erangannya diam. Dengan pandangan tertegun dan diam cukup menyita perhatian Jefri.
“Hey, J! sebelah kirimu!” teriak Teguh memperingatkan, dan sebuah tembakan hampir mengenainya, membuatnya terjatuh karena terkejut. Bahunya menghantam sebuah batu, kali ini Jefri yang mengerang kesakitan namun mencoba tetap kuat. Meski begitu dia masih bisa membalas dua tembakan, yang satu mengenai kepala. Dia adalah si gondrong, yang berani keluar kandang.
“Berapa dari kita yang tersisa?” tanya Jefri sambil memegangi bahunya.
“Aku tak tahu,” jawab Teguh lemah. Lalu sebuah peluru menumbangkannya seketika. Kali ini Jefri berada di posisi cukup sulit untuk membalasnya. Sambil terengah-engah, dia menyembunyikan diri ke tempat yang lebih aman. Dia tak mengira sebelumnya bakal secepat ini dia kehilangan rekan.
“D, kau masih di sana?” Jefri berharap masih ada yang tersisa.
“Ya, mereka babi-babi yang lincah, J,” jawabnya. Napasnya juga terengah-engah.
“Bagaimana dengan H?” tanya Jefri lagi.
“Aku tak tahu.”
“S, K? Kau masih di posisi?” Jefri sibuk memastikan seberapa banyak yang tersisa. Menunggu jawaban lumayan lama lalu terdengar suara mengerang payah.
“Ini K, aku tertembak di kaki,” katanya dengan napas berat. “S, dia sudah mati, J,” lanjutnya.
“Sial!” umpat Jefri.
“Apa perintahmu, J? Aku sudah kekurangan amunisi,” kata Dodi.
“Belum ada perintah. Tim A akan tiba sebentar lagi,” jawabnya sambil meraba saku depan rompi, dia hanya menemukan satu magasin berisi amunisi. Sementara dalam rompi temannya yang tewas dia tak menemukan sisanya. Bahunya masih terasa sakit setelah terjatuh mengenai batu.
“Aku butuh bantuan, J. Kakiku mulai kebas,” katanya diikuti erangan berat lalu sebuah tembakan terdengar dekat darinya. Kemudian diam tak ada suara lagi.
“K? Kau tak apa?” Jefri mulai panik setelah tak ada jawaban lagi.
“Dia tertembak, J. Bahkan kita butuh peluru saat kita mundur.” Dodi mulai menyerah.
Lalu sebuah mobil datang memperlambat lajunya. Sedikit melegakan karena Tim A yang melakukan tugas terhadap Paul telah bergabung bersamanya, seolah penyelamat yang datang meski dengan hanya segenggam harapan. Namun kehendak Tuhan memang terkadang terasa mengejutkan. Sebelum mereka keluar, malah lebih dulu diberondong belasan peluru dari atas gedung sebelum mobil itu berhenti, hingga membuatnya menabrak gerbang. Setelah itu tak ada tanda-tanda mereka baik-baik saja. Kaca mobil pecah pengemudi terlungkup pada roda kemudi, sementara yang satu lagi tak terlihat di sana. Mungkin dia tergeletak di kursinya. Saat itu juga Jefri merasa frustasi. Lalu menyuruh Dodi mundur.
“Kita mundur, kita mundur saja D. Tim A bernasib sama dengan yang lain,” kata Jefri. Namun tak ada jawaban.
“D?” Jefri mengulang. Tetap tak ada jawaban dan dia punya keyakinan yang menyedihkan. Membuatnya tertegun beberapa detik. Lalu dia berpikir satu-satunya orang yang bisa dihubungi adalah Herman Setiadi. Sambil bersembunyi dan dengan tangan gemetar karena gugup, dia mengambil sebuah ponsel dalam sakunya lalu memanggil Herman Setiadi.