Kenyataan yang membuatnya tertegun bertubi-tubi. Ponsel itu dia turunkan pelan-pelan, tak ada yang pantas untuk diperjuangkan lagi, pikirnya. Bahkan Ayahnya dia anggap seorang pengecut yang telah meninggalkan segala kekacauan. Ardi berteriak, meraung-raung sambil membanting ponselnya, kemudian mendekap erat Resti lagi dan terus menangisinya.
Dia sendiri tak tahu bahwa ada sebuah mobil yang terparkir lama dan lumayan jauh darinya. Dia adalah Ali, yang ditugaskan Abdar untuk memberi informasi kepadanya. Bahkan Ali sendiri tak tahu siapa yang salah dalam pertumpahan darah ini.
Abdar baru hampir sampai di pertigaan tempat mobil yang dikendarai Jefri terlibat kecelakaan yang berakibat kemacetan cukup panjang, ditambah banyak orang berkerumun membuatnya makin sesak. Meski tak melihat langsung kendaraan yang terguling karena terhalang deretan mobil, namun orang-orang yang lewat di samping mobilnya membicarakan sebuah kecelakaan.
“Ada sebuah kecelakaan di pertigaan,” ujar Abdar pada Ali.
“Ya, kemungkinan dia yang ikut baku tembak. Kabur dengan mobil seperti orang mabuk. Semua sudah selesai, Pak. Ada banyak sekali mayat di sini,” jawabnya.
Abdar mengembuskan napas berat. “Kita terlambat,” katanya pada rekannya dalam mobil.
“Hanya ada seorang yang tersisa,” kata Ali lagi.
“Siapa?” Abdar penasaran.
“Seorang laki-laki yang sedang menangisi perempuan,” jawabnya.
Ardi masih memandangi wajahnya yang tetap dengan kejelitaannya. Rambutnya mengalir alami ke samping wajahnya. Mata yang terpejam dan bibir yang terkatup masih membuatnya terlihat manis. Tak lama kemudian Abdar sampai di lokasi. Saat mobilnya masih melaju pelan, mereka menyaksikan semuanya yang terlihat kacau. Api berkobar besar, mayat-mayat yang tergeletak berdarah-darah.
“Kita butuh tambahan personil untuk mengamankan situasi, juga pemadam kebakaran dan jangan lupa ambulance dengan banyak kantong mayat,” ujar Abdar. Salah satu rekannya melakukan panggilan. Mobil berhenti di dekat VAN, lalu menoleh ke kanan dan melihat seseorang laki-laki yang sedikit tertutupi rerumputan, terpekur menangisi seorang yang terkulai di dekapannya. Dia seperti tak memedulikan kehadiran Abdar yang mendekat dengan langkah pelan tanpa memegang senjata sambil memandangi sekeliling dan mendengus berat. Ali keluar dari mobil untuk bergabung bersama tim Abdar, tak lupa dia menyapa rekan Abdar hanya dengan ekspresi wajah dan gestur tubuh lalu mendekat pada Abdar.
“Kau yakin semua kelompok ini berakhir di sini? Bisa jadi ada dari mereka yang tak ikut kegaduhan ini, kan?” tanya Abdar padanya.
“Aku yakin sebagian besar ada di sini? Aku tak bisa mengawasi satu per satu,” jawab Ali.
Lalu Abdar menepuk pundaknya. “Kau telah melakukan tugasmu,” katanya. Kemudian berjalan lebih dekat lagi ke arah Ardi. Berdiam sebentar untuk memahami situasi.
“Napas kehidupan memang begitu, kita hidup di dunia yang berbahaya,” kata Abdar seperti sedang bermonolog. “Bisakah aku minta bantuanmu, siapa pun kau,” katanya lagi.
Ardi meletakkan tubuh Resti perlahan, lalu dia berdiri masih memandangi Resti. “Dengan satu syarat, aku ingin pemakaman yang layak untuknya,” jawabnya.
“Akan aku atur untuknya pemakaman yang baik. Aku juga akan mengamankanmu sementara, jangan sampai kau diperiksa oleh polisi yang salah, demi keselamatanmu,” ujar Abdar.
Bunyi sirine terdengar dari bermobil-mobil polisi termasuk beberapa ambulance yang datang. Lampunya berkedip-kedip dan diparkirkan agak berjarak dari lokasi, karena mobil pemadam kebakaran akan di tempatkan tak jauh dari gedung untuk pemadaman api. Beberapa polisi yang baru datang keluar dari mobilnya lalu memandang hingga terheran-heran. Sementara pemadam kebakaran sampai lokasi sepuluh menit berikutnya. Sekitar setengah jam api baru bisa padam. Garis polisi dipasang dan jasad dikumpulkan. Pemandangan yang mengerikan untuk sebuah pertengkaran sipil. Beberapa Jurnalis yang entah mereka tahu dari mana juga datang untuk meliput, ini sungguh berita penuh meta sensasi. Bahkan beberapa TV nasional ada yang meliput dalam penayangan langsung. Beberapa reporter dan juru kamera mendekati Abdar secara langsung, mengajukan beberapa pertanyaan sekaligus saling berebutan dengan reporter lain. Sebagai Detektif, dia selalu bergerak senyap, tak seharusnya muncul ke publik seperti ini. Namun kali ini mereka para jurnalis tak tercegah, seperti saat kejadian rumah terbakar di semenanjung. Tak ada pilihan lain selain memberi sedikit penjelasan.