PHOSPHENES

Musrifah Anjali
Chapter #12

DUA BELAS

Pukul 18.00 WIB, dengan pena yang berada ditanganku dan note book kecil dihadapanku. Lusa Summer Camp, “Apa ya yang akan aku bawa ke Summer Camp?” sambil mengetuk-ngetuk pelan penaku. Sudah 10 barang yang aku list untuk aku bawa ke Summer Camp.

Drrtt… Drrrttt…

Aku mengambil ponselku yang bergetar-getar, aku menggeser tombol hijau.

“Iya, halo,” ucapku mengawali pembicaraan,

“Ra, apa kamu tidak ingin mencari barang-barang untuk Summer Camp besok?” Tanya Kiki dari seberang telepon,

“Iya, setelah aku me-list semua barang yang akan aku bawa besok,” jawabku, tunggu aku baru sadar kalau yang telfon adalah Kiki. Aku mengerutkan dahiku,

“Ra, katamu???” tegasku saat aku sudah mulai menyadarinya,

“Iya, kakak Rayaa…,” ucapnya dengan nada diperpanjang,

“Bagaimana kabar, bibi?” tanyaku,

“Baik, kemarin kak Arin pulang dari Bandung. Kamu tidak ingin menemuinya?” Tanya Kiki,

“Mmm… tidak tau,” jawabku sambil menimbang-nimbang,

“Kak, kapan keluar beli barang-barang untuk Summer Camp?” Tanya Kiki,

“Sepertinya aku sudah selesai me-list barang-barang yang akan aku bawa. Jadi, mungkin setelah ini aku akan membeli barang-barangnya,” jawabku sambil membolak-balikkan note book kecilku.

“Aku akan mengantarmu, tunggu Aku!” ucapnya sambil menutup telfon tanpa pamit sedikitpun.

Aku menaruh ponselku kedalam tas kecilku beserta daftar list yang aku buat tadi, aku segera beranjak dari meja belajarku dan berganti pakaian.

Ting. Tong. Ting. Tong.

“Iya, sebentar!” teriakku sambil berlari untuk membukakan pintu.

Aku membuka pintu kemudian menyuruh Kiki menungguku sebentar. Aku lupa memakai jepit rambut biru-ku, tanpa jepit rambut biru-ku rambutku rasanya ada yang kurang. Sebenarnya banyak yang memperhatikanku dengan tatapan aneh saat aku memakai serba biru, karena menurut mereka aku tidak cocok menggunakan barang-barang yang berwarna biru. Tapi apa boleh buat, Toh aku yang pakai, aku yang nyaman, dan aku yang suka bukan mereka.

Setelah memakai jepit rambut biru-ku, aku langsung turun kebawah.

“Sudah?” Tanya Kiki,

“Sudah, ayo berangkat!” ajakku,

Eittsss…, tunggu!” sergahku sebelum kami berdua keluar dari rumah,

“Aku belum mengabari Alfa kalau aku akan keluar,” lanjutku sambil mengambil ponsel didalam tas kecilku,

Ck. Ngapain sih si Alfamaret pakai dihubungi segala???” protes Kiki,

“Kan, ya kasihan kalau dia terlanjur nungguin lama-lama padahal aku-nya lagi pergi,” sahutku. Sepertinya Kiki geregetan, dia langsung keluar dari rumahku dan menungguku didekat mobilnya.

Akan terlalu lama kalau aku menghubungi Alfa lewat telfon, jadi aku kirim pesan saja. Setelah terkirim, aku memasukkan kembali ponselku kedalam tas kecilku kemudian keluar dari rumah dan tak lupa menguncinya.

*         *         *         *

Akhirnya kami sampai di Supermarket, Kiki memarkirkan mobilnya dengan hati-hati. Saat mobil Kiki sudah terparkir aku segera keluar dari mobil kemudian masuk kedalam Supermarket. Aku meraba-raba tas kecilku mencari daftar list yang telah aku buat dirumah tadi, dan aku menemukannya.

“Kamu ingin cari apa?” tanyaku pada Kiki yang hanya diam saja disampingku,

“Aku ikut saja,” jawabnya,

“Hmm…” Desahku.

Kami mengelilingi Supermarket sambil membawa trolly untuk menampung barang-barangku. Memang, kalau sudah terlihat barang-barang lucu pasti aku akan stuck melihatnya dan berniatan membelinya. Ada banyak sekali barang-barang yang menarik perhatianku, rasanya ingin aku borong semua tapi sayanganya, uangku masih dibutuhkan oleh kehidupan seumur hidupku.

*         *         *         *

Kami sedang duduk café dekat Supermarket, ternyata lelah juga mencari barang sesedikit ini. Aku memesan Choco Ice untuk meredakan tenggorokanku yang kering akibat berjalan kesana-kemari mencari barang-barang yang susah sekali dicari, sedangkan Kiki hanya memesan Lemon Tea anak ini memang tak pernah pesan yang aneh-aneh yang penting dia tenang dan senang tidak masalah dengan minumannya, berbeda sekali denganku yang harus coklat.

Pernah waktu itu kami pergi ke kedai dekat rumah Kiki, disana hanya ada minuman yang serba Tea selain itu tidak ada disana. Jadi, aku terpaksa harus keluar kedai untuk membeli susu coklat.

Sudah pukul 20.00 WIB,

“Ki, ayo pulang!” Ajakku,

“Hm,” sahutnya.

Setelah membayar dikasir, kami langsung tancap gas menuju rumah Kiki. Aku memutuskan untuk mempir ke rumah Kiki, menemui kak Arin. Semenjak kak Arin kuliah di Bandung kami jadi jarang berkumpul dan makan-makan di kedai dekat rumah Kiki, padahal sudah menjadi kebiasaan kami berkumpul setiap akhir bulan.

Ternyata tanpa aku sadari rumah Kiki sudah ada dihadapanku, mobil Kiki pun juga sudah terparkirkan. Aku turun dari mobil membuntuti Kiki memasuki rumahnya yang besar,

“SALSAAA…!!!” sapa kak Arin saat aku baru menginjak dalam rumahnya. Aku terkejut,

“Raya, Kak Arin!” protesku saat kak Arin memelukku dari samping,

“Kan sama aja, nama panjangmu ada Salsa-nya jadi gak masalah dong kalau kak Arin panggil Salsa,” balik protes kak Arin, aku hanya bisa mendengus sambil membalas pelukan kak Arin,

“Gimana kabarnya?” Tanya kak Arin,

“Baik, kakak gimana? Tumbenan pulang?” tanyaku,

“Baik. Ya, emang udah waktunya inget rumah!” jawab kak Arin sambil tersenyum.

Kak Arin memang wanita idaman, sudah cantik, tinggi, punya lesung pipit dipipi kanannya, cerdas pula. Dibandingkan denganku, aku mungkin satu per empat dari kak Arin apalagi dengan Kiki. Kiki hanya mewariskan tampangnya saja, sikapnya sama sekali tidak ada yang cocok dengan saudara-saudara kandungnya.

Lihat selengkapnya