Mataku masih terasa berat dan bengkak akibat menangis tadi malam. Aku menghembuskan nafasku pelan-pelan, udara pagi disini memang enak untuk dihirup dibandingkan dengan udara dikota yang campur baur dengan asap kendaraan. Semua berkumpul di lapangan depan untuk melakukan senam pagi.
Aku sengaja menguncir rambutku agar nanti saat senam bau keringatku tidak menjadi satu dengan rambutku, tidak lupa dengan jepit rambut biruku. Aku mencoba untuk meregangkan badanku sejenak.
“Ra, mudah-mudahan saja nanti kita satu regu ya,” ucap Zizi.
“Memang ada apa nanti?” tanyaku. Bukannya aku tidak tahu, hanya saja aku tidak mengingat seluruh jadwal Summer Camp.
“Ya ampunn …! Nanti kan ada lomba-lomba.” Aku baru ingat kalaau nanti akan ada acara perlombaan.
“Ooo .…” sahutku. Lagu senam sudah disetel oleh petugas OSIS, semua anak mengikuti para pemimpin senam yang ada didepan kami. Tiba-tiba saja ada anak sebelahku yang sedang bertukar posisi dengan anak lain. Sebenarnya aku tidak begitu peduli, tapi ...
“Gerak, Ya! Biar gak gemuk!” ejek Gilang. Aku sempat terlonjak kaget melihatnya, tapi aku hanya meliriknya saja. Siapa suruh dia panggil aku, 'Ya' Memang aku ayahnya!
Aku dan Gilang sudah berteman sejak kecil, tapi sayangnya tidak terlalu dekat kami hanya sebatas teman satu sekolah sejak TK dan bukan sahabat. Aku bahkan hampir tidak pernah melihatnya sebab miscom diantara kami, tapi entah kenapa kini rasanya dia seperti menganggapku telah menjadi teman dekatnya. Memanggilku dengan sebutan masa kecilku dulu pula!
“Ya, kemarin kamu dicariin lo sama Asta,” ucap Gilang.
“Hm,” sahutku.
“Kok, cuman ‘Hm’ doang, yang aktif dong Ya kalau jawab!” protes Gilang. Ternyata, dia kapten basket yang terlalu banyak bicara, inilah mengapa aku tidak pernah dekat dengannya sebab dia terlalu banyak bicara sejak kecil, eits ... yang aku maksud bukan banyak bicara dalam membicarakan orang lain, namun sebaliknya. Bisa dibilang Ia memiliki penggemar dimana-mana karena kecekatannya, tanggung jawabnya, dan juga yang lancar sekali berbicara didepan umum yahh ... tentu saja berbeda jauh denganku. Penulis sengaja mengeluarkan banyak tokoh laki-laki tampan disini, sebab ia sendiri terobsesi dengan pria tampan dan tidak bisa dipungkiri lagi. aku tahu beberapa dari kalian pasti juga memikirkan hal yang sama denganku saat membaca ini.
“Zi, bisa tuker tempat nggak?” tanyaku kepada Zizi.
“Kenapa, Ra?” tanya balik Zizi, memang anak satu ini juga kurang peka terkadang.
“Ada lebah dari tadi dengung terus ditelingaku,” jawabku asal-asalan.
“Hah???” Akhirnya aku terpaksa menggeser tubuh Zizi ke tempatku tadi dan aku bergeser pindah ke tempatnya.
“Hai, Zi!” sapa Gilang sok ramah, gimana nggak sok ramah wajahnya saja aku ingin meremasnya dan menginjaknya.
“Iya,” balas Zizi dengan tersenyum.
“Nanti malem, makan bareng grup basketku yuk!” ajak Gilang.
“Jangan mau, Zi! Nggak enak makan bareng lebah dengung, nanti telingamu bakalan sakit,” larangku.
“Kamu juga boleh ikut kok, Ya ….” sahut Gilang setelah mendengarkan ucapaku tadi pada Zizi. “Nanti juga ada Asta kok, barangkali ada yang mau dibicarain sama Asta,” lanjut Gilang. Aku hanya diam tidak membalas.
Asta memang terkadang tidak hanya berkumpul dengan kawan-kawannya 5 serangkai, tapi terkadang ia juga berkumpul dengan grup basketnya. Memang banyak kelebihan dari 5 serangkai, baru-baru ini memang nama mereka diganti dengan nama 5 serangkai, karena ditambah dengan Kiki. Sayang sekali, kalian yang menganggap ini adalah tiruan tokoh F4 atau semacamnya harus dikubur dalam-dalam, ekspektasi kalian terlalu tinggi bahkan si penulis menyadari standar orang Indonesia.
* * * *
Setelah mandi-mandi, aku dan Zizi pergi menuju halaman samping kebun untuk mengikuti acara selanjutnya. Anak-anak ternyata sudah berkumpul dengan memakai celana training semua, begitu juga denganku dan Zizi. Terik panas matahari mulai menyentuh kulit kami, bayangan kami juga semakin terlihat, aku berulang kali mengibbaskan pakaianku agar tidak kepanasan baru saja mandi rasanya sudah seperti mandi lagi degan kerngat.
Bu Kiara berdiri didepan barisan kelasku dan disampingnya ada Rani. “Baik, semuanya dengarkan baik-baik! Tidak ada siaran ulang!” teriak Rani dengan membawa papan dada yang berisikan nama-nama regu yang akan dibaginya. maaf, untuk kali ini aku tidak akan menjelaskan terlalu detail Rani, karena dia hanya akan berlalu di alur novel ini.
…
Setelah menunggu lama, akhirnya namaku disebut juga, “Alfa, Asta, Raya, Tia, dan Jio. Kalian masuk regu 4!” teriak Rani. Zizi sudah sedari tadi mendapatkan kelompok, kami terpisah. setelah dibagikan aku langsung pergi menghampiri teman yang satu regu deganku.
“Sudah, berkumpul semuanya! Setelah ini akan ada lomba estafet bola menggunakan pipa, babak pertama regu 1 vs dengan regu 2, kemudian regu 3 vs regu 4! ….” Rani menjelaskan teknisi-teknisi lombanya kepada kami. Setelah semua jelas, kami memulai permaianan.
“Sudah siap semua?” teriak Rani, semua menjawabnya dengan serempak bahwa kami sudah siap.
“Satu, dua, tiga!” aba-aba Rani. Semua tergesa-gesa menyalurkan bola kecil melewati pipa-pipa yang kami bawa. Hingga sampai di orang kelima, mereka diputar-putar sebanyak tiga kali. Aku tidak tahu, sebetapa sialnya aku di Summer Camp aku termasuk salah satu orang yang harus diputar. Kepalaku terasa pusing seperti dibanting kesana-kemari, perlahan cara berjalanku sudah seperti orang mabuk. Aku tak kuat menahan badanku, gelasnya terlalu jauh dan ...
Bukk.
Lututku sudah mencium tanah, aku tidak peduli aku kembali bangkit dengan memegang kembali bola yang sempat jatuh dari genggamanku. Dan akhirnya, aku berhasil memasukkan bola yang kubawa tadi kedalam gelas.
“Yap! Pemenang babak pertama adalah regu 2 dan 3, untuk regu yang lain bisa menyaksikan babak kedua!” seru Rani. Ya, reguku tidak menang mungkin karena aku terjatuh tadi.
“Ra, lututmu tidak apa-apa?” tanya Tia khawatir sambil melihat celanaku yang lubang dibagian lutut.
“Tidak apa-apa,” jawabku sambil menahan sakit.
“Kamu bawa air, nggak?” tanyaku.
“Bawa, ini!” jawabnya dengan memberikan airnya kepadaku, aku menerimanya.
“Terima kasih,” ucapku.
“Iya, butuh bantuan?” tawar Tia.
“Tidak, terima kasih,” tolakku dengan sopan, Tia mengerti dengan ucapanku dia membalasku dengan tersenyum kemudian meninggalkanku.
Aku melipat celanaku sebelah kanan pelan-pelan dan meluruskan kakiku. Saat aku meluruskan kakiku ada sepasang sepatu tepat didepan kaki kananku yang sudah kuluruskan. Aku melihat ke atas, kemudian mengerutkan dahiku, “Untuk apa dia kesini?” tanyaku dalam hati.
Ia memperlihatkan telapak tangannnya kepadaku, aku yang melihat itu semakin bingung, "Apa yang dia minta?" gumamku. Melihat wajahku yang sepertinya tidak peka akhirnya, ia menunjuk air yang kubawa. Tanpa berpikir panjang aku memberikannya kepada Alfa dan mengatakan, “Itu bukan punyaku.” Setelah aku mengatakannya, Alfa tiba-tiba jongkok didepan kakiku. Ia memegang kakiku, kemudian melipat celanaku dengan ekstra hati-hati. Aku yang mulai mengerti apa yang akan dia lakukan dengan segera aku menghentikannya.
“Hetikan! Kamu tidak perlu melakukannya, aku bisa sendiri.” Alfa masih tidak menghiraukan ucapanku.
...
“Kamu masih menginginkan jawaban yang kamu tanyakan kemarin malam, bukan?” tanya Alfa yang terdengar sangat mengintimidasi. Aku diam tidak berkutik setelah mendengar ucapannya.
Alfa terlihat fokus mengobati lututku. Melihatnya seperti ini membuatku lagi-lagi berpikir, “Apa yang membuat semua anak perempuan disekolahku tertarik dengannya? Apakah karena wajahnya, atau karena ketenarannya dengan kawan-kawannya, atau karena hartanya?” pertanyaan pertama yang terlintas dipikiranku, “Apa yang membuatku tidak pernah tertarik dengannya?” pertanyaan kedua yang membuatku terasa berbeda dengan anak-anak perempuan lain.
Setelah Alfa selesai mengobati lututku, Ia kembali menutup celanaku kemudian berdiri dan mengembalikan airnya kepadaku.
“Terima kasih,” ucapku.
“Hm.” Alfa langsung pergi. Awalnya, memang aku tidak terlalu merespon jawabannya yang singkat tanpa tersenyum sedikitpun, tapi setelah aku pikirkan kembali, aku mengingat satu hal yang terasa janggal.
“Bukankah dia tadi menjanjikanku jawabannya dari pertanyaanku kemarin malam?” aku melihat Alfa yang sudah tidak terlihat, tidak tahu kemana membuatku mengurungkan niatku untuk protes kepadanya. Aku meraba lututku, ternyata sudah dibalut dengan handsaplas dan tanpa aku sadari aku tersenyum mengingat Ia mengobatiku tadi.
* * * *
“Ra, kita jadi makan dengan klub basket?” tanya Zizi sambil berdandan didepan kacanya.
“Iya,” jawabku.
“…”
“Kamu ada apa dikamar khusus perempuan?”
“Aku ingin menemui Raya.”
Baru saja aku menyetujui makan bersama klub basket agar aku bisa bicara dengannya, tapi sepertinya dia menemuiku dulu sekarang. terdengar hinngga dalam kamarku suara Asta dengan Rai yang sedang berbicara didepan kamar kami.
“Ra, sepertinya didepan ada yang ingin menemuimu,” ucap Zizi.
“Iya, Asta,” jawabku yang sudah menebaknnya sedari tadi.
“Lalu, bagaimana dengan makan malam di klub basket?” tanya Zizi.
“Sepertinya tidak jadi. Baiklah, aku akan menemuinya terlebih dahulu,” jawabku kemudian beranjak dari kasur untuk segera menemui Asta didepan kamar.