Bus sekolah sudah didepan Camp menungguu anak-anak, Zizi sudah siap dengan barang-barangnya begitu juga denganku. Kami masuk kedalam bus bersama-sama, tapi Zizi terus lurus karena tempat duduk Zizi berada dibelakang, ia sengaja tidak lewat pintu belakang dengan alasan menemaniku masuk kedalam bus. Seperti kemarin saat berangkat aku akan duduk didekat jendela, Alfa masih belum datang tidak lama setelah aku duduk Alfa datang, lalu tersenyum kepadaku. Alfa yang sudah duduk dikursinya, tiba-tiba mendekatiku menaruh kepalanya di samping pundakku. Tentu saja diriku terlonjak kaget, ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Jantungku apalagi, tidak bisa tenang jika terus begini.
Alfa mengambil tanganku, lalu mengarahkannya ke kepalanya dan mengelusnya menggunakan tanganku. Semua siswa sudah masuk kedalam bus dan bus sudah siap untuk berangkat, ponselku berdering menandakan ada pesan yang masuk. Saat membukanya, ternyata Asta yang megirim pesan, namun ketika ibu jariku sudah siap untuk membalas pesan Asta, Alfa mengambil ponselku dan menjauhkannya dariku. Aku yang hendak meraih ponselku, Alfa langsung menatapku dengan tajam.
“Al … kembalikan!” pintaku dengan sedikit kesal.
“Tidak, dia tidak bisa merebutmu lagi dariku!”
“Apa sih, Al … Gak nyambung!”
“Tidak, pokoknya TIDAK!” Aku hanya mendengus kesal, lalu mengalihkan pandanganku ke arah luar jendela sambil bergumam, “Lagipula, aku barang? Yang bisa direbut kesana kemari.” Alfa yang melihatku sedang marah membuatnya tidak bisa ikut diam saja. Alfa menyodorkan tangannya dihadapanku dan dengan mudahnya aku melihat apa yang tengah ia sodorkan kepadaku. Botol kaca kecil dengan daun kecil pula didalamnya. Aku mengerutkan dahiku, menoleh ke arahnya.
“Aku membuatnya semalaman, apa kamu tidak akan menerimanya?” Bodohnya diriku percaya jika membuat barang kecil ini harus semalaman, padahal hanya butuh beberapa menit. Aku menerima botol itu, lalu menyimpannya kedalam saku. “Terima kasih, seharusnya kamu tidak perlu memberiku apapun.” Alfa sudah fokus dengan jalan didepan. Menyenangkan melihat lalu lalang kendaraan, walaupun sedikit membingungkan jika melihatnya terlalu lama. Mungkin liburan pekan ini aku akan berkunjung ke rumah Kiki, berkumpul disana sangat seru. Alfa hanya diam tidak membuka suaranya sama sekali, tidak tahu apa yang ia pikirkan sembari melihat jalan.
“Apa yang sedang kamu pikirkan?” Sepertinya bukan masalah jika aku ingin tahu sedikit.
“Ha? Tidak. Apakah kamu ada rencana akhir pekan ini?” Baru saja aku berencana untuk pergi ke rumah Kiki. Aku mengagguk, “Aku akan ke rumah Kiki.” Alfa terlihat sedikit kesal mendengarkan jawabanku.
“Ada apa?”
“Bukankah dia adik sepupumu. Apakah kamu menunda menjawab pertanyaaanku kemarin malam sebab kamu menyukai adikmu sendiri?” Aku terkejut mendengar ia berbicara seperti itu, bagaimana bisa ia berpikir seperti itu terhadapku kepada Kiki. Apakah karena ia melihat kejadian kemarin malam sebelum ke Summer Camp.
“Apa karena itu kamu marah denganku saat Summer Camp?”
“Katakan saja, apakah kamu menyukainya?” aku mengernyitkan dahiku, lalu menggeleng. Bagaimana bisa aku menyukai adikku sendiri. Alfa menghembuskan nafasnya lega, terliahat ekspresinya yang tadi mengkerut sekarang sudah mengendur. “Bisakah aku ikut?” Aku mengangguk, tidak ada larangan sama sekali jika ia ingin pergi ke rumah bibi. Aku menepuk dahiku, aku teringat memiliki janji dengan kak Ro hari Senin ke Taman Kota. Sibuk sekali, rasanya seperti orang penting dicarai kesana kemari, padal tidak juga.
“Sampai kapan kamu akan menggenggam ponselku, Al .…” Ponselku yang sedari tadi tidak jadi aku pegang masih dipegang oleh Alfa. Alfa memberikan ponselku kembali.
Pundakku terasa seperti dijatuhi tas berat sekali, aku menengok ke arah pundakku dan kepala Alfa sudah bertempat diatas pundakku. Entah apa yang dipikirkannya dengan berat hingga matanya berkantung, ia masih keukeuh untuk tidak menceritakan apapun kepadaku. Bahkan aku tidak mendengar sepatah kata pun tentang rencananya yang hendak membebaskan kedua orangtuanya kemarin, tapi sekarang berita yang ia bawa kedua orangtuanya sudah pulang. Pandai sekali ia mengalihka perhatian dan pandai sekali ia menahan banyak hal, membuatku geram sendiri melihatnya yang sok kuat dan kasar didepanku.
Sepertinya ia terlalu lelah karena begadang hingga lupa memakai pomade rambut, rambut depannya jatuh ke depan mengusiknya yang sedang tertidur pulas. Aku mencoba menyingkirkannya dengan menarik rambut depannya hingga ke belakang telinga berulang kali sampai diriku tersadar rambutnya pendek tidak sepanjang rambutku. Akhirnya aku memutuskan melepas jepit rambut yang tengah aku pakai, lalu memasangnya kembali di rambut Alfa bagian depan. Setelah membenarkan posisiku agar lebih nyaman bersandar, aku mulai memejamkan mataku, mataku terasa panas ingin tidur.
Rasanya baru sebentar aku tertidur, tapi bus sudah berhenti di depan sekolah. Semua berhamburan keluar dari bus begitu juga denganku dan Alfa. Semua anak melihat ke arah Alfa, yah… namanya juga bintang satu sekolah pasti banyak yang memperhatikannnya. Aku menghampiri Zizi yang sudah duduk didekat pohon mangga dengan tas-tas yang sudah mengelilinginya.
“Ra, lihat. Apa itu jepit rambutmu yang dipaki oleh Alfa?” Zizi menahan tawanya. Aku menoleh ke arah Alfa, benar saja aku lupa mengambilnya. “Bagaimana bisa aku lupa mengambilnya!” gerutuku dalam hati. Aku segera berlari menghampiri Alfa untuk mengambil jepit rambutku.
“Maaf, aku lupa mengambilnya tadi saat kamu bangun.” Aku segera mengambilnya dengan kasar.
“Aw! Pelan, Ra!” teriak Alfa kesakitan.
“Maaf.” Ucapku lalu kembali menghampiri Zizi.
Ponselku bergetar, aku mengambilnya dan ternyata Alfa yang mengirim pesan. “Kamu sengaja melakukannya agar aku malu?” Tanyanya, aku melihat ke arah Alfa yang sepertinya sedikit jengkel karena malu ditertawakan oleh anak-anak. Aku membalasnya, “Tentu saja tidak! Aku hanya ingin membenarkan rambutmu tadi yang sepertinya lupa kamu pomade.” Alfa tidak membalas apapun. Aku memasukkan ponselku kedalam saku.
Rasanya lelah, kalau harus mengayuh sepeda setelah menekuk kaki di bus berjam-jam. Membawa barang banyak. Jemputan Zizi sudah menunggu sedari tadi, tapi dia tidak segera beranjak dari duduknya sebaliknya ia bersantai sail memegang ponselnya. Aku melirik apa yang tengah ia lakukan, sepertinya ada pesan yang masuk kedalam ponselnya berulang kali.
“Siapa, Zi?”
“Kiki.” Terlihat ceria sekali wajahnya padahal cukup melelahkan berada didalam bus bejam-jam.
“Kamu ada hubungan dengannya?”
“Tidak, belum.” Aku tersenyum sembari menggelengkan kepalaku, sudah aku duga Zizi pasti menyukai Kiki.
Asta menghampiri kami berdua dengan tangan yang dimasukkan kedalam sakunya, tapi saat ditengah jalan tiba-tiba ada yang menabraknya tidak sengaja hingga ponsel si penabrak jatuh menyentuh tanah. Asta membantu memungutnya, lalu memberikannya dan seperti biasa dia tidak tersenyum karena ia tidak kenal dengan si penabrak. “Terima kasih.” Ucap si penabrak sambil tersenyum, Asta hanya mengangguk lalu melaluinya.
“Pulanglah bersamaku, aku akan mengantarmu,” tawarnya.
“Tidak. Tidak perlu, kamu akan kelelahan nanti.”
“Hanya menyetir, tidak akan lelah.”
“Hmm … baiklah, tapi ngomong-ngomong kamu kenal dengan anak perempuan tadi?” Asta menoleh ke arah anak tadi, kemudian menggeleng. “Ooo … sepertinya dia anak IPS, kamu tidak tertarik dengannya?” Pancingku.
“Tidak. Memangnya aku anak alay yang masih menyukai orang lewat pandangan pertama.” Aku terkekeh mendengarnya benar jjuga yang ia katakan. Tidak mungki ia suka hanya pada pandangan pertama. Aku menoleh kea rah Zizi yag masih focus dengan ponselnya.
“Zi, kamu mau pulang kapan?” Zizi tersenyum.
“Iya, setelah ini. Kamu bisa pulag duluan, kasihan Asta nungguin kamu lama-lama keburu capek nanti.” Benar juga yang dikatakan Zizi. Aku berpamitan kepada Zizi dan segera mengemasi barang-barangku. “Tunggu, Asta! Aku harus mengunci sepedaku agar tidak kemana-mana.” Aku lantas pergi menuju parkiran untuk mengunci sepedaku. Pak Purno pasti menjaganya dengan baik. Asta menugguku didekat sepeda motornya, beruntung aku tidak membawa banyak barang jadi tidak akann kesusaahn saat menaiki sepeda motor.
* * * *
Anak laki-laki itu geram melihat perempuan yang ia sukai bersama denga anak laki-laki lain. Dia mengepalkan tagannya kuat-kuat hingga memutih seperti sedang menahan emosi yang besar. Ini sudah yang ke berapa kalinya temannya telah selangkah lebih maju mendekati perempuan yang ia sukai. Dirinya yang tengah berkumpul dengan kawan-kawannya terpaksa harus meinggalkannya, dia berpikir tidak bisa lagi menahan ini semua.
Dia menghampiri mereka berdua yang tengah asyik berbincang-bincang.
* * * *
Tanganku terasa sakit digenggamannya. Kencang sekali dia menggenggam tanganku seperti memegang tali kambing saja. Aku berusaha menarik tanganku kuat-kuat, tapi yang aku dapatkan hanya tatapan tajam darinya.
“SUDAH AKU BILANG JANGAN MEREBUTNYA!” penekanan Alfa tidak mampu membuat Asta meruntuhkan ekspresi cueknya.
“Al … sudah …! Kamu tidak perlu marah. Lagipula niatnya baik ingin mengantarku pulang.” Alfa kembali menatapku tajam.
“Kamu bisa pulang bersamaku.”
“Baiklah, lain kali aku akan pulang denganmu! Sudah, jangan marah lagi. Aku sudah lelah, jangan membuatku semakin lelah memikirkan kalian berdua yang belakangan ini terbawa emosi terus menerus.” Asta tidak merespon apapun, dia hanya diam. Aku membalikkan badanku dan mengambil barang-barangku segera pergi dari parkiran.
“Bahkan dirimu tidak bisa menahan kekerasanmu kepada anak perempuan. Bagaimana dia tidak sering menangis?!” Aku mendengar ucapan Asta sangat jelas, seketika aku berhenti. Memang tidak salah yang dikatakan Asta, sejak adanya Alfa aku lebih banyak menangis setelah sekian lama. Yang membuatku terkejut adalah, Asta bahkan mengatakan itu di depan Alfa. Jika begini kapan mereka aka berbaikan.