PHOSPHENES

Musrifah Anjali
Chapter #18

DELAPAN BELAS

Pukul 15.30 WIB, aku sudah menghubungi Asta untuk menemuiku pukul empat sore, tidak lupa memberi alamat rumah. Asta tidak pernah berkunjung ke rumahku, sebenarnya dulu hampir pernah namun gagal karena aku menolaknya untuk mengantarku. Bukan masalah sok jual mahal, tapi perempuan tetap perempuan mereka harus tetap waspada dengan laki-laki yang baru akrab. Ingat itu ya para wanita!

Ting.Tong.Ting.Tong…

Aku segera turun kebawah, aku belum menyelesaikan dandananku dan Asta sudah datang terlebih dahulu. Ini 30 menit lebih awal dari jam janjian kami, tidak tahu bagaimana bisa dia datang lebih awal. Saat aku membuka pintunya, Asta sudah siap dengan pakaian rapihnya. Hoodie warna abu-abu, celana hitam, dan topi yang menutupi sebagian rambut atasnya. Tidak berlebihan, tapi masih bisa dipandang karena wajahnya yang menawan namun tidak berekspresi. Untuk saat ini aku tidak membandingkannya dengan Alfa, karena jika aku memikirkannya jangan-jangan dia akan muncul nanti.

“Ini belum jam empat sore, kenapa kamu datang lebih awal? Aku belum selesai bersiap-siap.”

“Aku akan menunggumu,” jawabnya sambil duduk dikursi ruang tamu. Yah sudah, biarkan saja dia menunggu lagipula bukan salahku membuatnya menunggu setengah jam. Siapa suruh datang lebih awal. Aku kembali ke kamar untuk melanjutkan bersiap-siap yang sempat tertunda tadinya. Tidak perlu berpikir panjang, apa yang harus aku pakai? Warna apa yang cocok denganku? Aksesoris apa yang akan aku pakai? Aku akan memakai yang biasa aku pakai saat pergi keluar biasanya.

Karena aku tidak terlalu berpikir sebelum keluar dan saat bersiap-siap, jadi dalam sekejap pun aku sudah selesai. Aku memasukkan ponsel dan dompetku kedalam tas mini yang aku bawa dan sudah siap untuk berangkat. Saat menutup pintu kamar, aku mencoba menghubungi Alfa agar dia tidak tertipu saat datang ke rumahku

Asta menungguku sambil melihat-lihat rumahku. Sesekali dia memainkan ponselnya lalu menaruhnya dan bermain kunci sepeda motornya. Entah apa yang membuatnya senang hari ini, terlihat dari raut wajahnya yang lebih sumringah dibandingkan dengan hari-hari biasanya. Dia adalah Asta saat senang atau tidak senang dia harus pandai mengontrol ekspresinya karena dia tidak suka dengan ekspresi dirinya yang berlebihan sedari dulu-ralat sedari diriku kenal dengannnya.

“Halo, Al.”

“Ada apa, Ra? Aku sudah baik-baik saja. Tenang, tidak perlu khawatir denganku.” Beginilah sifatnya sekarang, kepercayaan dirinya semakin bertambah setelah kejadian tempo itu.

“Aku hanya ingin mengatakan, kalau aku sedang keluar. Kamu jangan ke rumahku, karena kemungkinan aku akan pulang sedikit larut nanti malam.”

“Kamu akan keluar kemana? Dengan siapa? Mengapa tidak dengannku saja?” Aku menghembuskan nafasku. Aku melihat Asta yang hanya melihatku dari kursi ruang tamu, sepertinya terlihat sedikit kesal. Walaupun dia pandai tidak berekspresi, aku tetap bisa melihat ekspresinya saat sedang kesal.

“Bukan urusanmu. Sudah, aku harus segera pergi! Jika tidak, maka masalahku tidak akan pernah selesai-selesai.” Tidak perlu menunggu jawabannya aku langsung mematikan ponseku, lalu memasukkannya kedalam tas mini yang aku bawa. Walaupun dia laki-laki, namun disaat-saat seperti ini dia akan menjadi setengah perempuan, sedikit cerewet dan suka kepo.

Aku menghampiri Asta. “Ayo!” ajakku, Asta berdiri dan mengambil kunci motor yang dia taruh diatas meja. Aku tidak lupa mengunci rumah dan menyusulnya menaiki sepeda motornya. Tidak tahu, kenapa laki-laki suka sekali dengan sepeda motor tinggi. Padahal, setahuku sepeda motor tinggi hanya membuat kebisingan yang menyakitkan telinga, karena banyak sekali knalpot sepeda motor yang suaranya dimodifikasi menjadi lebih bising. Namun, sepertinya dugaanku tidak selalu benar untuk yang kedua kalinya. Sepeda motor Alfa dan Asta tidak membuat kebisingan, yah … sepertinya mereka tidak terlalu tertarik dengan trendi itu.

Kami pergi tanpa ada yang memulai percakapan apapun. Hampir saja diriku lupa untuk memberitahukan kepada Asta dan aku tidak tahu mengapa Asta hanya diam saja sedari tadi, tidak mengingatkanku tempat mana yang akan kita tuju. Aku menepuk bahu Asta dan ia menyahutiku.

“Kita akan pergi ke taman kota yang pernah kita kunjungi saat kerja kelompok. Kamu ingat, bukan?” tanyaku dengan nada yang sedikit lebih keras agar bisa terdengar olehnya. Tidak ada sahutan, sepertinya dia masih hafal. Tak perlu banyak bertanya, ia segera menancapkan gasnya dan mengambil jalan ke arah kanan.

Kalian jika ingin tahu, sebenarnya dalam lima serangkai yang paling menonjol bukanlah Alfa, namun Asta. Sedari aku mengenal kelima serangkai, mulai dari empat anggota hingga kini menjadi lima anggota, yang sesuai dengan peran utama adalah Asta. Yups, seperti dalam novel atau bacaan pada umumnya, ia cenderung pendiam terlihat cuek dan masa bodoh dengan orang disekitarnya, selain itu karakter yang membuatnya cocok dengan karater utama adalah ia memiliki keahlian dalam hal basket dan memikat perempuan dengan pesonanya yang sangat kuat. Sayangnya, tidak ada yang tahu apa yang membuatnya menjadi anak pendiam dibandingkan dengan keempat kawannya. Konon kata banyak orang, ia benar-benar orang yang tertutup dan tidak ada yang tahu kisah keluarganya sekalipun serta masa lalunya, pun dengan keempat kawannya juga tak ada yang megetahuinya. Misterius, bukan? Dan sekali lagi, sayangnya dia bukanlah si pemeran utama yang tidak akan pernah dibahas dalam novel ini.

Aku hanya berharap masalah ini akan cepat selesai, selain karena tidak suka dengan konflik yang tak kunjung menemukan solusi, namun juga karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika masalah ini tidak segera aku selesaikan. Apakah masalah lain mau menungguku atau sebaliknya, mendesakku.

*         *         *         *

Kami mencari tempat duduk. Tunggu-ralat, aku yang mencarikan tempat duduk untuk kami berdua. Asta duduk dengan tenang dan masih membungkam mulutnya, mungkin aku harus menariknya lebih dulu agar dia tidak hanya diam. Sebenarnya dia tidak terlalu berbeda dengan Alfa, disaat dia diam pasti ada saja yang sedang dipikirkannya, hanya saja Alfa sedikit lebih sensitif jika diam karena khawatir.

“Baiklah, aku akan menanyakannya to the point saja. Apa yang membuatmu lebih suka diam daripada memulai pembicaraan?”

“Apakah itu pertanyaan yang sama ketika dirimu ingin terbuka pada orang lain?” Lihatlah, aku bertanya, sekarang dia balik bertanya.

“Dengar, aku akan membantumu dengan caraku sendiri. Jika kamu ingin aku menyelesaikannya dengan cara alamiah sepertiku dulu, maka aku akan mencarikan seseorang untukmu. Bagaimana, kamu mau?”

Sedari dulu memang aku membuka diriku sendiri pertama, karena ada seorang teman dekat dan kedua, karena sosok yang tiba-tiba datang dengan luka didalamnya. Aku tahu jika Asta tidak akan suka dengan ide yang sama denganku dulu. Sebenarnya, akan lebih mudah seperti diriku dulu, karena tinggal menunggu waktu, aku tidak perlu berlama-lama membantunya.

Asta menggeleng tidak ingin menggunakan ideku yang satunya. Benar, bukan? Dia tidak akan mau, sepertinya ada orang yang membuatnya susah mendekati orang lain – hanya menebak. Sebenarnya, aku sempat berpikir mengapa diriku tidak jatuh hati padanya saja. Selain diam menunjukkan wajah tidak berekspresi, namun dia juga sangat perhatian dan baik. Diriku adalah diriku, mudah sekali kagum dengan orang, namun mudah lupa dengan rasa kagum jika terlalu lama.

“Yah sudah … berarti kamu jawab saja pertanyaanku. Lagipula, tidak terlalu susah menjawabnya.”

“Diam lebih baik, karena laki-laki bisa saja mengatakan apa saja yang tidak ingin orang dengar.”

“Seperti???”

“Ucapan kotor dan kasar bahkan, seharusnya kamu tidak perlu menanyakan hal itu. Karena hal itu terjadi padamu sendiri.” Aku mengerutkan dahiku, apa dia menyindirku?

“Alfa maksudmu?”

Lihat selengkapnya