PHOSPHENES

Musrifah Anjali
Chapter #19

SEMBILAN BELAS

Menurut jadwal si penulis hari ini aku akan mengunjungi rumah Kiki dan jadwalku sendiri hari ini aku harus mengunjungi keluargaku di pusara. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang melelahkan, sudah jam sembilan pagi dan diriku belum sarapan. Entahlah, apa yang akan aku makan pagi ini? Aku keluar dari kamar melihat isi rumahku yang terasa sunyi tidak ada suara kecuali suara kendaraan yang berlalu lalang didepan rumah. Sejujurnya, belakangan ini aku tidak merasakan kesepian walaupun dirumah ini sendirian, karena diriku terlalu sibuk dengan konflik-konflik baru yang datang dalam hidupku.

Aku merasakan ponselku bergetar, aku mengangkatnya.

“Halo, Zi? Ada apa?” sapaku terlebih dahulu.

“Kamu, ada acara hari ini?”

“Hmmh … iya, aku harus mengunjungi keluargaku lalu rumah Kiki. Kenapa?”

“Aku merasa bosan dirumah, baru saja aku ingin mengunjungi rumahmu. Tapi, kamu ada acara.”

“Mmm … kamu mau keluar denganku?”

“Bolehkah???” teriaknya terdengar riang sekali.

“Tentu, tapi itu jika kamu tidak keberatan.”

“Tidak, tentu saja tidak. Aku akan ikut denganmu.”

“Tapi, sepertinya aku akan lama dirumah Kiki.”

“Bukan masalah ….”

“Baiklah, aku akan berangkat jam sepuluh. Jadi, datanglah sebelum jam sepuluh agar nanti pulang tidak terlalu larut.”

“Oke! Aku akan bersiap-siap setelah ini.”

“Yah sudah … aku tutup dulu ya, aku belum sarapan.”

“Ckckck. Jam segini belum makan, Ra?! Sudah tahu punyak Maag masih saja bandel, makan telat!”

“Nggak telat, Zi … ini masih pagi.”

“Ngeyel kan dibilangin, sudah cepet makan sana!”

“Iya-iya, aku tutup dulu ya …”

“Iya, bye …!”

“Bye …!” Aku menggeleng tersenyum mengingat ocehan Zizi, ini juga termasuk alasan kenapa diriku sudah tidak merasa sendirian lagi. Aku memiliki seorang teman yang selalu memperhaatikan diriku.

Aku segera turun kebawah untuk menyiapkan sarapan pagi, perutku sudah mulai keroncongan. Sepertinya hari ini aku akan memasak yang sederhana saja, lihatlah diriku belum bersiap-siap sedangkan aku menyuruh Zizi datang sebelum jam sepuluh.

Aku mengambil kuncir rambutku diruang tamu, aku lupa tidak membawanya ke kamar. Rambutku akan mengusik acara memasakku nanti jika tidak kukuncir. Aku melihat dimeja tamu, “Kenapa tidak ada?” Aku sangat yakin menaruhnya diatas meja tamu tadi malam, aku mencoba mencarinya di sofa. Sepertinya, memang tidak ada, aku berhenti sejnak duduk diatas sofa. Tiba-tiba aku teringat kejadian tadi malam, pipiku menjadi sedikit panas mengingatnya, jantungku terasa ingin lari dari tempatnya. Aku menggelengkan kepalaku, masa bodo dengan kuncir rambut aku harus segera sarapan.

*         *         *         *

Ting. Tong. Ting. Tong …

Aku segra membuka pintu, sepertinya Zizi. Cepat sekali dia bersiap-siap, aku saja baru menyelesaikan kegiatan sarapanku, bahkan diriku belum siap-siap. Melihat Zizi, tidak bisa dipungkiri kecantikannya, ia menggunakan sweater croptae oversize, kemudian celana jeans biru, dan terakhir bandana bercorak yang sangan cocok dengan rambut panjangnya yang indah. Seketika rasa insecure-ku kambuh melihat penampilan dan dandanannya, seperti bukan diriku yang menjadi tokoh utama dalam novel ini. Oh penulis … kenapa bukan diriku yang kau jadikan sosok cantik ini …?

Aku menyuruh Zizi masuk dan meyuruhnya menunggu sebentar. Menungguku berdanndan tidak akan lama, maksudku tidak selama perempuan pada umumnya. Toh, berkunjung rumah saudara yang sudah seperti saudara kandung. Terkadang kita tidak harus menjadi sosk yang sempurna, bukan? Yang penting adalah kenyamanan. Aku belajar kenyamanan dengan orang-orang baru yang sekarang sering dekat denganku. Sebenarnya rasa kesepian tidak bisa dikatakan nyaman, karena sebagian banyak orang yang kesepian akan memiliki kecemasan yang sangat tinggi, termasuk diriku dulu. Berbeda sekali antara kesepian dengann ingin menyendiri. Kalian kesepian disaat hal-hal yang sudah biasa didekat kalian tiba-tiba hilang, tanpa memedulikan kalian ingin atau tidak. Sedangkan rasa ingin sendiri, kalian hanya butuh waktu untuk menenangkan diriku sendiri dan itu sesuai dengan keinginan kalian. Rasanya seperti sok tahu diriku menjelaskan, si penulis membuatku seperti ini, sepertinya dia ingin beralasan untuk mengisi paragraf kedua ini agar tidak terlalu pendek.

Setelah bersiap-siap, aku segera turun kebawah menghampiri Zizi yang tengah duduk sambil memainkan ponselnya. “Ayo, kita berangkat sekarang!” ajakku, Zizi mengangguk tersenyum membalas ajakanku. Aku menutup pintu rumah dan langsung pergi untuk mengambil mobil kedalam garasi. Zizi tidak memawa kendaraan, karena dia diantar oleh antar jemputnya.

Jalanan terlihat begitu ramai, melihat hari ini bukanlah hari cuti nasional jadi banyak orang yang masih bekerja. Pertama kami akan mengunjungi pusara kelargaku terebih dahulu. Tidak jauh dari rumahku tempatnya, hanya dua kilometer dari rumah.

“Loh, Ra! Kenapa ke pusara, bukannya kamu ingin mengunjungi keluargamu?”

“Aku lupa tidak menceritakannya kepadamu bahwa keluargaku sudah meninggal dan aku akan mengunjungi mereka di pusara.” Tiba-tiba ekspresi Zizi terlihat merasa bersalah dengan pertanyaannya tadi.

“Mmm … maaf, ya Ra. Aku tidak tahu kalau keluargamu sudah meninggal.”

Lihat selengkapnya