PHOSPHENES

Musrifah Anjali
Chapter #6

ENAM

“Al, bangun!” teriakku,

Kenapa dia tidak bangun-bangun? Aku memegangi dahinya, benar saja dia tidak bangun-bangun mungkin dia masih merasa tidak enak badan. Dahinya tidak sepanas tadi malam, tapi masih bisa dibilang dia masih panas. Lalu aku harus bagaimana? Setelah ini aku harus berangkat sekolah, tidak mungkin aku bolos.

Aku mencoba meraba jaket yang masih dikenakan oleh Alfa barangkali ada seseorang yang bisa aku hubungi untuk mengantarnya pulang. Aku mencarinya disaku-saku jaketnya, dan akhirnya aku menemukan apa yang aku cari. Aku menyalakan Hp-nya dan membuka kontak, untung saja tidak di password.

Aku men-scroll kontaknya sampai aku menemukan kontak dengan nama ‘Mama’, aku segera mencoba menelfon nomor mamanya tadi. Tutt… tutt… tutt…, “kenapa lama sekali mengangkat telfonnya?” gumamku, hingga bunyi suara-

“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi. Tut. Tut. Tut.”

Aku mulai panik, haduh bagaimana ini? Bentar lagi udah telat ini! Tidak ada pilihan lain, tidak mungkin juga aku bolos gara-gara merawatnya disini. Lantas aku pergi ke dapur memasak bubur sebentar dan mengambil air beserta obat.

Setelah memasak bubur, aku menyiapkan minum dan obat di atas meja ruang tamu kemudian menuliskan pesan dikertas,

Saat kamu sudah bangun makan bubur ini dan jangan lupa minum obatnya! Maaf, tapi aku harus berangkat ke sekolah dahulu. Get Well Soon J !

- Raya –

Aku meletakkannya dibawah piring agar tidak terbang kemana-mana. Karena sudah telat maka aku harus segera berangkat sekarang juga, tapi saat sudah didepan pintu aku berhenti sejenak dan berbalik mennghampiri sofa yang Alfa tiduri.

Aku mengusap rambutnya dengan pelan, tidak tahu kenapa rasanya aku ingin melakukan ini kepadanya. Aku menatap wajahnya yang masih terlihat pucat dan mengusap pipinya, entah aku merasa sepertinya dia sedang ada masalah,

“Kalau ada apa-apa cerita,” ucapku pelan yang masih sambil mengusap pipinya.

Aku takut dia akan berubah kalau dia akan terus menerus memendamnya, aku tidak ingin melihatnya menyalahkan dirinya sendiri karena masalah entah itu apapun, aku tidak ingin melihat dia terus menerus memakai topeng yang masih ia pakai selama ini. Itulah yang aku rasakan saat melihatnya seperti sekarang ini.

Kejadian hidupnya tidak boleh miris dengan kehidupanku dulu, karena aku tahu rasanya. Memendamnya sendiri dan menyalahkan diri sendiri.

Aku harus segera berangkat, aku tidak peduli jika harus telat yang penting harus masuk sekolah. Aku segera mengambil sepeda biru-ku dan mengayuhnya cepat-cepat.

*         *         *         *

Alhasil telat yah… seperti ini, nasib… nasib… bersihin gudang tua. Lagian udah gak kepaikai ngapain harus dibersihin? Aku melihat ke arah belakangku, ada Asta yang sedang merapikan barang-barang yang berantakan. Masih untung dia mau kerja.

“Kenapa telat?” Tanya Asta,

“M-m… macet, ya… macet,” jawabku sambil tergagap gagap, tidak ada sahutan dari Asta.

“Udah?” tanyanya lagi setelah diam beberapa menit,

“Ha? I-iya udah,” jawabku.

Kami akhirnya menyelesaikan hukuman kami, aku dan Asta segera pergi ke ruang kelas kami. Diam. Tidak ada yang memulai pembicaraan, aku melihat punggung Asta dari belakang dan berpikir, terkadang dia terlalu baik padaku, aku tidak tahu kenapa sejak kami kelas sepuluh dia selalu ada saat aku terkadang butuh bantuan.

Bruk.

“Aduh! Kenapa berhenti tiba-tiba?” tanyaku, aku melihat ke samping ternyata kami sudah sampai didepan kelas, Asta melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kelas. Aku pun masuk ke dalam kedalam.

“Lama banget, Ra? Tumbenan kamu telat?” Tanya Kiki saat aku tengah mendudukkan diriku di kursi,

“Macet,” jawabku sambil mengambil buku dari loker,

“Macet??? Kamu pindah rumah, Ra?” Tanya Kiki lagi,

“Enggak, untuk apa aku pindah? Uang ku gak sebanyak itu buat pindah rumah,”

“Terus kalau gak pindah, kenapa bisa macet? Perasaan rumah kita searah dehh…” tanggapan Kiki,

“Emang macetnya harus nunggu kamu sampek tahu?” ucapku dengan nada ketus,

“Yayayayayaaaa… nenek lampirnya lagi kamuh kayaknya,” sahut Kiki, tapi aku tidak membalasnya. Aku focus kepada pelajaran saat ini.

*         *         *         *

Aku men-scroll terus kontak WA-ku tidak ada notif dari siapapuun, “Kenaapa dia tidak menghubungi-ku? Bagaimana kalau dia pergi meninggalkan rumah tanpa sepengetahuanku? Dia kan masih sakit,” ucapku dalam hati, takut jika terjadi apa-apa dengan Alfa.

“Kamu, kenapa ra? Kok kayaknya lagi binngung sendiri, lagi mikirin apa?” Tanya Zizi,

“Eh?” ucapku yang tidak mendengar dengan apa yang dikatakannya tadi,

“Kamu kenapa, ra? Mikirin apa?” ulang Zizi,

“Ng… tidak apa-apa, bukan masalah besar, hehehe,” jawabku sambil tersenyum garing,

“Beneran? Habis ini ujian, ra jangan kebanyakan mikir nanti gak bagus buat kesehatan lo. Nanti kamu malah ge-drop lagi pas waktu ujian,” khawatir Zizi,

“Nggak Ziii… nggak ada apa-apa,” ucapku sambil menyingkirkan pemikiran zizi tadi agar tidak perlu khawatir.

Kring… Kring… Kring…

Bel masuk akhirnya berbunyi, semu anak-anak masuk kek kelas mereka masing-masing begitu juga dengan guru-guru yang bertugas mengajar setelah ini. Pelajaranku sekarang adalah pelajaran Kimia, yah… sekarang adalah waktunya pak Geri, guru killer diantara guru-guru yang lain.

Semua sudah siap dengan pembelajaran pak Geri, pak Geri memasuki kelas.

“Ayo, anak-anak! Buat 5 kelompok satu kelompok isi 5 anak! Cepat!,” perintah pak Geri tidak lama kemudian membuat anak-anak berdiri dan berlari untuk mencari anggota kelompok.

Aku hanya diam dan menunggu anak-anak selesai berlarian. Sepertinya aku tidak perlu berlari kesana kesini, sedari tadi Kiki memegang tanganku agar aku tidak usah ikut berlarian. Dihadapanku ada Zizi, disamping kananku ada Kiki, disebelah kiriku ada Asta dan kemudian sebelah Zizi kosong.

“Kenapa kalian cuman ber-empat? Ayo, jangan malas-malas cepat cari kelompok yang masih kurang anggotanya!” ucap pak Geri ketika melihat kami hanya berkumpul dengan 4 anggota,

“Pak! Bapak kayaknya mulai sekarang harus selalu bawa absensi dehh… biar gak bawa buku Kimia doang! Orang kelas kita emang ada yang nggak masuk satu!” bela Fian, semua anak hendak ingin tertawa tapi ditahan oleh mereka karena takut kena marah,

“Wahh… jangan-jangan bapak ini kenak karma kali, kebanyakan ngitungin siswa telat!” sahut Ari, semua langsung tertawa.

“Diam kalian! Berani-beraninya kalian sama guru! Mau dapet karma kalian?!” sepertinya pak Geri mulai berapi –api,

“Ya, pak kami minta maaf!” ucap Fian dan Ari.

“Siapa yang tidak masuk?” Tanya pak Geri,

“Alfa, pak!” jawab anak-anak serentak terkecuali aku dengan kelompokku,

“Yah sudah, berarti kalian berempat ditambah dengan Alfa.” Ucap pak Geri,

“Iya, pak.” jawab Zizi,

“Baiklah, sekarang saya akan membagi soal-soal kepada setiap kelompok. Perwakilan kelompok silahkan maju mengambil soal-soalnya!” perintah pak Geri,

Aku menoleh ke arah Asta dan Kiki secara bergantian, tidak ada yang berkutik sama sekali. Baiklah… sepertinya aku yang akan maju. Aku maju ke depan untuk mengambil soal-nya.

“Sudah semua?” Tanya pak Geri,

“Sudah, pak!” jawab anak-anak dengan lantang,

“Kalau begitu, sekarang kalian kerjakan soal-nya! Besok akan saya nilai setiap kelompok,” jelas pak Geri,

“Sekarang saya tinggal dulu, saya masih ada rapat!” lanjut pak Geri sekalian pamit.

Setelah ditinggal dengan pak Geri, seluruh anak langsung ramai. Aku melihat soal yang diberikan pak Geri, sejenak aku menghela nafas “Kenapa harus Kimia yang seperti ini…? Mana aku tidak bisa kimia dari kelas sepuluh pula!” keluhku dalam hati,

“Kalian ada yang bisa?” tanyaku,

“Coba lihat, Ra soalnya!” minta Zizi, aku memberikan soal yang aku ambil tadi.

“Oooo… ini, boleh-boleh,” ucap Zizi,

“Kamu bisa?” tanyaku,

“Bisa sepertinya,” jawab Zizi,

Fiuuhhh… untunglah kalau begitu,” ujarku, aku menoleh kea rah Kiki dan Asta bergantian,

“Kalau kalian?” tanyaku kembali kepada mereka berdua, tidak ada yang menjawab pertanyaanku.

“Yah sudah… nanti aku tanyakan pada Alfa kalau kalian tidak bisa.” Ucapku,

“Kenapa memangnya, ra?” Tanya Kiki,

“Kalau cuman Zizi yang ngajarin kan kasihan,” jawabku,

“Memangnya kamu gak bisa, Ra?” Tanya Kiki lagi,

“Aku tidak ahli kimia,” jawabku,

“Ooo…” sahut Kiki,

“Jadi, kapan kita ngerjain? Mau sekarang atau nanti setelah pulang sekolah?” tanyaku,

“Nanti aja, Ra. Setelah pulang sekolah kita ke taman dekat patai saja,” saran Zizi,

“Baiklah, tapi memangnya disana gak ramai, ya? Kalian semua bisa konsen kalau belajar saat ramai?” tanyaku,

“Mmm… ya juga ya…, kalau begitu begini saja, gimana kalau ke rumahmu?” saran Zizi yyang berhasil membuatku bingung harus menjawab apa? Dirumah masih ada Alfa, bagaimana kalau mereka menganggap yang tidak-tidak?!

“Baiklah, fix ya ditaman!” ucapku yang mengabaikan pertanyaan Zizi,

“Oke-oke!” sahut Zizi,

“Kalian bisa, kan?” tanyaku pada Kiki dan Asta, yang dari tadi hanya diam,

“Aku ada latihan basket,” Akhirnya Asta angkat bicara,

“Jam berapa selesainya?” tanyaku, Asta hanya mengedikkan bahunya. “Yah… sudah, jangan lupa ya nanti jam setelah pulang sekolah langsung ke taman dekat pantai bisanya.” Ucapku menegaskan.

*         *         *         *

“Ra, kamu gak bareng aku aja?” Tanya Zizi,

“Tidak, kalau aku beranngkat denganmu lalu siapa yang akan membawakan sepeda-ku?” jawabku,

“Oh iya-ya!” sahut Zizi sambil menepuk dahinya, “Yah sudah, aku duluan ya, Ra!” pamit Zizi,

“Iya,” balasku.

Aku segera pergi ke parkiran untuk mengambil sepeda biru-ku. Aku melihat kea rah lapangan sekolah, “Sepertinya tidak ada latihan, kalau pun ada latihan kenapa hanya ada Asta disana?” ucapku dalam hati.

Aku melihat kanan kiri ada si captain basket sekolah aku langsung memanggilnya,

“Gilang!” gilang langsung mencari sumber suara,

“Ada apa?” tanyanya sambil mengahampiriku,

“Ada latihan basket, ya?” tanyaku,

“Nggak, kata siapa?” jawab Gilang,

“Ooo… aku kira ada latihan basket sekarang,” ucapku,

“Nyari siapa?” Tanya Gilang to the point,

Lihat selengkapnya