PHOSPHENES

Musrifah Anjali
Chapter #7

TUJUH

Aku masuk ke dalam kamar Alfa, aku tadi mengikutinya dari belakang. Bisa dibilang cukup rapi untuk ukuran kamar laki-laki, dengan nuansa abu-abu menjadikan ruangan serasa lebih dingin dan tenang. Saat aku melihat-lihat foto-foto yang terpajang rapih di atas meja,

“Bukankah aku sudah memintamu dengan baik untuk tidak masuk ke dalam rumahku!!” ucapnya pelan tapi penuh dengan penekanan, matanya melihatku dengan tajam lantas aku hanya menunduk,

“A-aku hanya ingin mengembalikan kunci-mu,” sahutku dengan tergagap,

“Lihat sekarang! Gara-gara kecerobohanmu sendiri kamu jadi masuk dalam masalah ini!” sepertinya dia mulai marah denganku, saat dia mengucakan kalimat tadi rasanya aku ingin menangis,

“Lalu aku harus bagaiamana sekarang?!!” tanyaku pelan masih sambil menunduk, aku mengepalkan tanganku kuat-kuat dan mencoba untuk berani memandang Alfa,

“IYA, AKU SUDAH MASUK KE DALAM MASALAH INI, LALU AKU HARUS BAGAIMANA?!! AKU SUDAH BILANG, AKU HANYA INGIN MENGEMBALIKAN KUNCI-MU!! MANA AKU TAU KALAU KAMU SEDANG DALAM MASALAH SEPERTI INI DENGAN KAKAKMU!!” aku menangis, aku mengucapkannya dengan nada tinggi, aku meluapkannya,

“INI MEMANG SUDAH TERLANJUR DAN TIDAK ADA JALAN KELUAR!!!” amarah Alfa semakin memuncak setelah melihatku menangis dan berteriak tadi, dia mengacak-acak rambutnya frustasi, bingung apa yang harus dia lakukan.

Aku mendekatinya perlahan, memegang pundaknya saat ia mulai menunduk. Aku merasakan badannya gemetar, aku menarik wajahnya dan memaksanya agar menghadap ke arahku. Benar saja badannya gemetar, ternyata dia menangis. Aku baru kali ini melihatnya menangis.

Melihatnya yang seperti ini rasanya aku ingin jatuh sekarang, kakiku sudah lemas. Tetapi aku harus kuat disaat-saat seperti ini, jika aku lemah siapa yang akan menyanggahnya? Aku mencoba menariknya mendekatiku kemudian memeluknya. Aku mengelus punggungnya pelan-pelan dan berkata dalam hati, “Tidak, tidak, aku tidak bisa membiarkannya seperti ini. Aku akan menggenggamnya, dia terlalu berharga untuk dilepas. Aku akan merengkuhnya saat dia lemah dan aku akan jadi penguatnya. Aku akan rela kebahagiaanku diambil olehnya untuk mengobati lukanya yang pernah lumpuh dimasa lalu.”

Alfa masih menangis didalam pelukanku, aku membuka pelukanku dan mengangkat wajahnya. Aku mencoba untuk tersenyum agar dia merasa sedikit terhibur, aku mengusap air matanya yang masih berjatuhan,

“Aku minta maaf, Al. Aku minta maaf, karena sudah ceroboh tadi.” Aku mengucapkannya dengan tulus kepadanya,

“Tidak, ra. Tapi memang ini sudah keputusannya,” ucap Alfa yang sudah berhenti menangis,

“Pulanglah…, kamu tidak bisa disini lama-lama. Kalau kamu masih disini, maka kakak akan terus mencampuri urusan hidupmu,” suruhnya,

“M-maksudmu mencampuri urusan hidupku???” tanyaku tidak mengerti apa yang dia jelaskan,

“Karena dia akan tahu kelemahanku selain orang tuaku!” Dia sepertinya sudah frustasi, mendengar nada bicaranya sepertinya dia mulai gereget denganku,

“Aku? Kelemahanmu?” tanyaku kembali,

“Aku mohon pulanglah! Jangan membuatku ingin membawamu ikut bersamaku di Rumah Sakit Jiwa!” pintanya sekaligus ancamnya,

“Kalau pun harus, mangapa tidak? Aku juga akan menemanimu disana, menjaga memori-mu agar tidak terbawa disana dan mengingatkanmu selalu akan indahnya dunia,” ucapku tulus dengan tersenyum,

“Kenapa? Kenapa kamu mau menemaniku?” tanyanya seperti menantikan kepastian,

“Karena, aku sudah memutuskannya sejak kamu sakit kemarin. Jika aku sudah buat keputusan, maka aku tidak bisa putus ditengah jalan,” jelasku,

“Oh. Jadi cuman karena itu,” sahutnya setelah mendengar penjelasanku tadi, aku mengerutkan dihku,

“Iya, memang apalagi?” tanyaku,

“Kamu tidak tau alasan dalamnya, yang aku katakana tadi itu hanya alasan luarnya. Dan kamu tidak perlu tahu dalamnya,” lanjutku.

Aku berjalan kea rah lemari baju Alfa yang berada didekat pintu kamar mandinya, ternyata dia bisa rapih juga. Tatanannya rapih tidak ada yang berantakan sedikitpun, aku menoleh kea rah belakang melihat Alfa yang masih berdiri ditempat aku tadi berdiri tadi,

“Kamu nunnguin apa, Al? Kamu nggak berkemas?” tanyaku membuyarkan lamunannya, dia langsung berjalan ke arahku.

Ia mengambil tas dan koper lalu berhenti sejenak,

“Untuk apa aku berkemas? Toh, bukannya di Rumah Sakit Jia pakai seragam pasien disana?” tanyanya padaku,

“Sudah berkemas saja, Al…! Jangan lupa bawa barang-barang yang menurut kamu penting dan juga Uang, ambil semua uangmu yang ada dirumah ini!” suruhku, ia mengambil kembali tas yang ia taruh tadi.

“Kamu memerasku ya, ra?” Tanya Alfa,

“Aku akan membantumu kabur dari sini sampai kedua orangtua-mu ketemu,” jelasku.

Aku membantu Alfa berkemas, membereskan barang-barang yang sekiranya ia perlukan.

“Aku akan mengeluarkan barang-barangmu lewat jendela belakang, tidak ada penjaganya kan? Kakakmu tidak bawa bodyguard kan?” kataku,

“Tidak, untuk apa?” Tanya Alfa balik,

“Untunglah kalau begitu, aku kira kakakmu seperti penjahat-penjahat yang ada di novel-novel biasanya,” jawabku,

“Kamu itu ada-ada saja,” ucapnya kemudian sambil mengacak-acak rambutku.

“Setelah kamu keluar, kunci kamarmu dan simpan baik-baik kuncinya.” Suruhku,

“Siapa kamu, suruh-suruh aku?” ucapnya meyindirku, aku hanya meliriknya.

“Al, kenapa kakakmu lebih memilih menaruhmu di Rumah Sakit Jiwa dibandingkan langsung menghabisimu tanpa jejak?” tanyaku penasaran, biasanya di novel-novel akan memilih cara itu daripada harus repot-repot mengurusi urusan Rumah Sakit Jiwa,

“Karena, dia lebih SADIS daripada yang kamu kira,” jawabnya dan menekan bagian kata ‘SADIS’ sambil tersenyum padaku, aku membalas senyumnya

“Sudah semua?” tanyaku,

“Hm.” Jawabnya singkat,

“Aku lempar kebawah ya?” ucapku yang tak lama kemudian aku lempar tas Alfa kebawah lewat jendela.

Setelah menurunkan semua barang-barangnya, kami berdua turun kebawah menemui kakak Alfa. Kami menuruni anak tangga satu per satu, tapi kemudian aku menahan tangan Alfa,

“Al, kalau aku tidak bisa bawa kamu kabur gimana?” tanyaku saat Alfa berhenti,

Lihat selengkapnya