Jakarta, 2005
Semua bermula dari kemarahan guru Matematika mereka, Pak Budi. Waktu itu Pak Budi menyuruh Haryo mengerjakan soal di papan tulis. Tapi, Haryo yang terkenal dengan julukan parasit kelas memakan waktu tiga puluh menit untuk menjawab. Itu pun masih salah. Pak Budi langsung menuding Haryo tidak pernah satu kali pun memperhatikan pelajarannya dan malah tidur di pojokan kelas. Berita mengenai Haryo pun sampai ke telinga Pak Raka, wali kelas 3 IPS 1, kelas Rio. Karena malu, akhirnya Pak Raka memutuskan akan mengubah daftar tempat duduk sehingga tidak lagi ada kata bebas.
Semua isi kelas tentu memprotes keras, terutama Rio. Sebagai siswa yang tak bermasalah terhadap nilai atau pelajaran apa pun, dia merasa menjadi pihak yang paling dirugikan. Apalagi posisi bangkunya berada di best spot—barisan belakang. Rio bahkan bisa menggunakan bangku kosong di sebelahnya untuk menyimpan tas, mengingat jumlah siswa di kelas itu ganjil.
“Rio, pindah ke sana.” Sasa, seksi sibuk yang dipercaya Pak Raka untuk menyusun tempat duduk dengan seadil-adilnya, mengguncang bahu Rio. “Lo duduk di baris tiga, sana.”
Rio yang baru akan terlelap, terpaksa bangkit sambil mengerang malas. Kalau seperti ini, rasanya Rio lebih memilih pelajaran Bimbingan Konseling yang tak penting itu.
Rio menyeret langkahnya, lalu mengikuti instruksi Sasa untuk duduk di tempat yang ditunjuk. Lumayanlah, bersebelahan dengan jendela. Jadi, masih bisa mencari pemandangan lain saat bosan dengan pelajaran. Satu yang sangat disayangkannya, Rio tak mendapat kebebasan memonopoli kursi di sebelahnya karena seorang cewek kini duduk di sana.
Namanya Lala. Parasnya bulat telur dan pipinya sedikit chubby. Rambut hitamnya yang agak bergelombang tergerai mencapai pinggang. Keningnya tampak sempit dengan anak-anak rambut yang membingkainya. Rio yang tak pernah peduli dengan para siswi cantik yang menjadi idola di sekolahnya, kali ini terpaksa memungkiri sikap cueknya. Saat melihat Lala dari jarak dekat, dia tahu cewek itu punya senyum yang sangat manis. Dua lesung kecil muncul di sudut bawah bibirnya saat dia tersenyum, seperti kala itu.
“Hai,” sapa Lala dengan suara lembut. Matanya tampak bersinar. “Agak nyebelin, ya, harus diatur begini.”
Rio hanya bergumam pelan dan kembali sibuk mengamati lapangan. Dalam catatan di kepalanya, ini kali pertama dia menerima sapaan ramah dan tulus dari seorang cewek.
***