Lagi-lagi hidup ini tak jauh dari pembahasan tentang cinta dan asmara. Kata orang, hidup tanpa cinta itu hampa. Kata Rhoma Irama, hidup tanpa cinta bagaikan taman tak berbunga. Kata Lara, hidup tanpa cinta itu membosankan.
Chalista Clara, atau yang akrab dengan sapaan Lara. Gadis enam belas tahun nan ceria, optimis, banyak bicara, dan pastinya bicara menggunakan mulut.
Dia sudah beberapa kali mencoba peruntungan dengan yang namanya cinta. Sial. Untung tak ada, rugi yang didapatkan. Patah hati, menangis, mogok makan, bahkan pernah sakit berhari-hari yang menyebabkannya harus dirawat inap. Lagipula, nilai matematikanya tidak akan lebih baik bila ia punya kekasih. Percuma. Buang waktu saja. Mending sendiri, ke mana-mana bebas. Tidak ada yang melarang, tak ada hati yang perlu dijaga.
Tapi di sisi lain, Lara bosan. Dia juga ingin seperti teman-temannya. Pacaran bertahun-tahun, dijaga dan dimanja. Iri dan miris mengingat hubungannya selalu manis diawal saja.
Siang mulai memanas. Matahari tak lagi ingin menyembunyikan wajah cerianya di balik awan nan egois. Bel pertanda waktu istirahat baru saja berbunyi. Dia mampu menyelamatkan isi perut para siswa, dari cengkraman cacing ganas yang tak lagi dapat diajak berkompromi.
Dengan santai, seorang siswi berjalan menuju kantin sembari mengemut lolipop yang dibawanya dari rumah. Dari kelas yang akan dilewatinya, terlihat Lara tengah celingukan menunggu seseorang.
“Dari mana aja sih, lo?” tanya Lara dengan sedikit nada kesal saat siswi itu tepat berada di depannya.
Beginilah Lara. Dia berani menggunakan panggilan lo-gue hanya dengan Tala. Pada orang lain? Namanya akan selalu berjejeran di abarisan kalimat yang keluar dari bibirnya. Entah karena sudah bersahabat sejak lama, jadi merasa nyaman. Atau karena Lara memang gadis manja.
“Dari kelaslah, masa dari pasar.”
“Iya, gue tahu lo dari kelas. Maksud gue kenapa lo lama banget, Tala. Gue laper nungguin lo. Ngerti nggak, sih?” jelas Lara masih dengan nada kesalnya.
“Jangan salahin gue, Ra. Salahin pak Arya dong, kenapa lama banget keluar kelas. Lagian, lo kan bisa ke kantin sendiri nggak mesti bareng gue.”
“Astaga, Tala. Gue kasih tahu ya. Ini yang namanya kesetiaan. Ini wujud setia gue sebagai sahabat lo dari orok.”
“Lebay lo. Pake ceramahin gue tentang kesetiaan lagi. Perasaan yang nggak pernah lama punya pacar itu lo, Ra,” ucap Tala mulai berjalan ke arah kantin. "Ayo buruan! Katanya laper,” imbuhnya yang menyadari Lara masih berdiri di tempat semula.
Lara menggaguk, sedikit mempercepat langkah agar dapat menyusul Tala.
“Lo benar,” lontar Lara yang masih memikirkan ucapan sahabatnya itu.
Sejenak Tala menoleh Lara yang berjalan tepat di sampingnya, saat tiba-tiba Lara kembali merespon ucapannya tadi.
“Tapi gue nggak pacaran bukan karena nggak laku,” sangkal Lara tak terima dengan pernyataan Tala yang seolah memiliki makna demikian.
“Terus? Karena apa coba nggak ada cowok yang betah sama lo?”
Lara diam sejenak, “Huftt, lo benar, Tal. Gue juga nggak tahu alasannya. Secara, gue cantik, putih, modis. Nggak ada yang salah ‘kan sama diri gue?”
Tala mengangguk membenarkan pendapat lara.
“Meskipun gue nggak pinter, tapi peringkat lima belas di kelas IPA itu juga bukan berarti gue goblok banget dong.” Lara membela diri.
“Eh bentar, apa karena gue nggak bisa jadi juara kelas makanya, nggak ada cowok yang betah jadi pacar gue?” tanya Lara menghentikan langkahnya, sembari berpikir alasan di balik kisah percintaannya yang tak pernah bertahan lama.
“Ntar aja mikirnya, kita makan dulu. Biar otak lo bekerja lancar.”
“Tapi, Tal, gue butuh alasan.”
“Iya, Lara sayang. Gue tahu. Tapi perut gue juga perlu dikasih asupan. Lo mau berapa lama jalan ke kantin? Mau sampai jam istirahat habis? Jaraknya nggak sampai tiga puluh meter juga, lo udah berhenti berapa kali coba?” protes Tala.
“Sekali.”
“Ah, serah lo deh. Gue pesan makanan dulu.” Tala berlalu menuju meja menu. Di sana sudah ada mang Agus yang siap mencatat semua pesanan.
“Sekalian pesanin gue, Tal!” pinta Lara sedikit berteriak.
Tala hanya mengangguk paham akan permintaan sahabatnya itu.
“Dasar manja.” Tala bergumam.
Meski begitu, Tala tak pernah keberatan untuk mendengarkan keluh kesah sahabatnya ini. Baginya, Lara sudah seperti saudari. Meski sifat manja Lara kerap kali membuatnya jengkel.