Jakarta mengejar siang. Jam weker putih yang terletak di meja sebelah kiri ranjang Lara, sedari tadi berteriak kencang. Membangunkan Lara yang masih pulas di negeri mimpinya. Hingga kedatangan seorang wanita paruh baya dapat menghancurkan negeri mimpi dalam katupan matanya.
Ini Devi. Wanita yang berperan besar dalam hidup Lara. Tanpanya Lara tak mungkin menoreh riwayat sebagai seorang manusia dan seorang anak baik-baik. Meski cerewet tapi Devi mampu menjadi ibu terbaik sepanjang masa. Bagi anak-anaknya.
“Ya ampun Lara. Udah jam berapa ini, kenapa masih tidur?” omel wanita paruh baya itu. Dia sudah rapi dengan setelan jas kantornya.
“Hm, ih, Mama. Masih pagi udah ngomel-ngomel aja,” protes Lara karena terganggu dengan kegaduhan mamanya.
Wanita paruh baya yang dipanggil Lara dengan sebutan mama itu, menyingkapkan selimut yang masih menempel lekat pada tubuh putrinya.
“Kamu ini, protes mulu. Mau sekolah nggak, sih? Lihat tuh udah jam berapa?!” tambahnya sembari menyinsingkan tirai, kemudian membuka jendela sebagai upaya untuk membangunkan putri satu-satunya itu.
“Astaga, Ma. Udah jam tujuh. Kenapa Mama nggak bangunin Lara dari tadi.” Lara kaget saat melihat jam weker yang tak ia hiraukan dari tadi.
“Mama kira kamu udah siap-siap. Biasanya juga bangun sendiri,” bela mamanya sedikit keberatan disalahkan Lara.
“Nggak tahu, Lara capek banget semalam,” balasnya masih dengan muka bantal. “Ini lagi, weker. Kenapa nggak bunyi coba?!” Lara mengumpat kesal pada jam yang padahal sudah melaksanakan tugasnya.
“Ya udah siap-siap, gih! Nanti Lara bareng kak Riu, ya.”
“Kok nggak dianter Mama?”
“Mama mau meeting, Sayang. Hari ini butik kedatangan klien besar. Jadi Mama berangkat duluan sama papa, sekalian nganterin Ilham.”
Lara mengangguk, kemudian berjalan ke kamar mandi untuk segera membersihkan dirinya dari noda ingatan tentang Arsya.
***
“Kak Riu, ayo ngebut! Lara udah telat, nih,” paksa Lara meminta Riu untuk mengendarai motor lebih cepat.
“Ya ampun, Lara. Bahaya ngebut-ngebut di jalan.”
“Kak Riu, sih. Kenapa lama banget mandinya?”
“Malah nyalahin Kakak. Kamu lho yang telat bangun. Coba aja nggak kesiangan kamu bisa bareng mama tadi,” ujar Riu yang tidak terima disalahkan Lara.
“Jadi kakak kok perhitungan. Nganterin adiknya sekali doang pake protes.” Lara berdecak kesal.
“Kakak bukan perhitungan. Tapi keselamatan itu penting, Lara sayang.”
“Tapi kuis Lara juga penting, Kak Riu jelek. Bisa ‘kan ngebut tapi tetap stay save?”
“Ya udah, bawel ih. Pegangan yang kuat! Kakak ngebut, nih.”
Riu mulai mempercepat laju motor, agar bisa menyelamatkan adik kesayangannya untuk dapat mengikuti kuis.
“Kalau tahu kata jelek bisa bikin Kakak nurut sama Lara, harusnya digunain lebih awal aja,” goda Lara tersenyum penuh kemenangan.
“Enak aja, Kakak nuruti kamu bukan karena kata jelek. Kasian aja kalau sampai semester depan peringkatmu turun lagi gara-gara nggak ikut kuis ini.”
“Suka-suka Kakak, deh. Penting diingat Lara harus bisa ikut kuis! Kita harus bekerja sama agar tujuan ini tercapai.”
“Bahasamu, Dek, udah kayak bahas proyek besar aja.”
“Ini memag proyek besar, Kak.”
“Iya, proyek besarmu.”
“Nah, pintar. Kakak siapa ini? Kakaknya Lara yang jauh lebih pintar. Haha.”
Riu hanya tersenyum mendengarkan ucapan adiknya yang tak karuan. Mungkin hal ini disebabkan posisi Lara yang sangat panik.
Jam sudah berangkat ke pukul 07.45 Wib. Lara sudah terlambat lima belas menit. Sementara dia masih harus menempuh perjalanan lebih kurang dua kilo meter lagi. Dan yang paling penting, Lara harus mempersiapkan strategi, juga bahasa terbaik agar satpam sekolah luluh, kemudian memperbolehkannya untuk tetap dapat mengikuti kelas hari ini. Namun, rem mendadak dari Riu mampu membuat Lara mengumpat kesal.
“Ya ampun, Kak. Ada apa lagi, sih? Kok berhenti? Mendadak pula,” keluh Lara.