Tala terlihat heran saat memasuki kelas. Ia menatap lekat, seseorang yang tengah duduk manis di bangkunya. Seseorang yang hari ini memancarkan aura berbeda. Seseorang yang mungkin akan menjalankan aksi perdananya. Dan, seseorang yang tak pernah lupa untuk merepotkannya. Siapa lagi jika bukan Lara.
Senyum Lara mengembang saat melihat Tala memasuki kelas. Ia sudah tidak sabar menunggu kedatangan sahabat baiknya ini. Meski setiap hari bertemu, tapi ia selalu rindu untuk bercerita panjang lebar dengan Tala. Namun, untuk hari ini bukan itu yang akan dilakukannya.
“Ngapain lo pagi-pagi udah di kelas gue aja?” Tala heran.
“Nemuin lo dong. Kangen tahu sama lo,” ungkapnya yang malah membuat Tala semakin tak percaya.
“Nggak, ini pasti ada maunya,” tuduh Tala tak termakan dengan sikap manis Lara.
“Hehe, beneran. Gue kangen sama lo,” sangkal Lara terus berusaha meyakinkan Tala.
“Udah deh, jujur aja. Lo mau minta bantuan apa? Biasanya juga sekangen-kangennya lo ga pernah nungguin gue di kelas, kecuali mau minta bantuan.” Sepertinya hari ini Tala sedang malas basa-basi.
“Nggak mau bantuan apa-apa.” Lara masih memendam niatnya. “Oh iya, Wawan belum datang, ya?”
Tala berdecak. Kemudian, memutar korneanya. Mengapa dia bisa melupakan Wawan. Padahal baru semalam dia mendapati pengakuan dari Lara. Jelas saja Lara akan betah di kelasnya. Dasar Tala saja yang loading lama, sampai tidak bisa membaca niat hati dan pikiran sahabatnya ini.
“Mana gue tahu, Ra. Lo kira gue pengawalnya. Telat lagi, kali. Hari pertama aja kan dia telat.”
“Ya udah kalau gitu gue tunggu di sini, deh.” Lara bersikukuh, kembali ia menampakkan senyum terbaiknya.
Sementara Tala yang tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya ini, hanya bisa mengiyakan. Yang penting Lara tidak repot dan tidak merepotkan dirinya. Tapi, mana pernah Lara tidak merepotkannya. Apalagi perihal pria, jelas sekali, nama Tala yang berada nomor satu dalam daftar orang yang akan dilibatkannya.
Firasat Tala mulai tak enak. Pintanya, semoga kali ini, Lara akan memperbolehkannya vakum. Namun, apa mungkin? Mengingat bahwa Wawan satu kelas dengannya, bukan malah meringankan beban, tapi pasti tambah banyak kerjaan.
Selang sepuluh menit berlalu. Akhirnya, siswa pindahan yang tengah viral, karena keterlambatannya di hari pertama, tiba. Efek wajah tampan, membuat banyak siswi menjerit histeris kala melihatnya. Termasuk Lara. Namun, Lara lebih suka menjerit dalam hati. Lebih aman. Tidak ada yang bisa mendengar sehisteris apa dia saat bertemu Wawan. Meskipun mungkin ke depannya Lara akan sering kebablasan.
Sayangnya, tidak ada yang berani mendekati Wawan. Mereka menyadari bahwa menaklukkan Wawan tidak akan mudah. Sesekali para gadis itu hanya akan menyapa Wawan dengan centil, atau hanya sekedar memandang dari kejauhan.
Berbeda dengan gadis-gadis itu, Lara lebih memilih untuk bergerak maju. Sejak semalam. Sejak Lara memutuskan untuk jatuh cinta pada Wawan. Dia sudah menerima semua konsekuensi yang akan terjadi kelak. Baginya, tak apa, jika harus berjuang lebih untuk mendapatkan Wawan,
Dia, Rexa Alfawansyah. Remaja enam belas tahun yang memiliki karisma titisan dewa. Sekarang sudah jadi incaran Lara. Tak banyak bicara. Lebih suka menyendiri. Dan, bisa dipastikan, pagi ini dia sudah mandi.
Kesalahan dalam dirinya hanyalah, ia tak pernah bisa mengekspresikan isi hati, atau mengungkapkan emosi dan kondisi bathin yang tengah dialaminya. Wawan lebih memilih membiarkan semua disamarkan oleh waktu.
Mungkin bagi orang-orang, hidupnya tak menarik. Monoton. Namun, bagi Wawan hidup monoton lebih aman. Dia tak perlu bersandiwara. Tak ada bujuk-bujukan. Tidak harus repot memikirkan perasaan orang lain. Dan yang terpenting, dia tak perlu menanggapi pendapat orang-orang. Kadang jika dipikir lebih dalam, individualisme sepertinya lebih menarik.
“Selamat pagi Wawan,” Sapa Lara dengan senyum paling manis di dunia.
Wawan mengerutkan kening, kemudian berlalu ke bangku yang sejak kemarin sah menjadi miliknya. Maksudnya, selama Wawan masih di kelas ini dan masih bersekolah di sini, bangku itu akan terus menemaninya. Kecuali bangkunya rusak.
Lara sedikit kesal melihat sikap Wawan. Tala tersenyum puas ketika Wawan tak merespon. Mungkin Tala senang, bisa membuktikan bahwa ucapannya benar. Bahwa Wawan, pria yang sulit ditaklukkan. Bahwa Wawan, si manusia es, walau mungkin menyegarkan. Bahwa Wawan tertutup. Jelaslah, kan pakai seragam.
“Wawan ingat Lara ‘kan?” Lara menghampiri bangku Wawan, berharap Wawan bisa mengenalinya.
“Lo siapa?”