Tala langsung mengejar Wawan. Dia tak ingin terjadi apa-apa pada Lara. Dia naik pitam. Tala juga sangat marah dengan sikap Wawan. Bagaimana seorang pria tega meninggalkan seseorang yang membutuhkan pertolongan? Sekalipun Wawan tidak menyukai Lara. Setidaknya, ia harus punya niat membantu. Apalagi karena ulahnya Lara dalam bahaya.
"Nggak punya hati ya lo!” bentak Tala merah padam.
Wawan hanya datar menatap ekpresi Tala yang menurutnya berlebihan.
“Sekarang lo balik, bantuin Lara!”
“Nggak!”
“Egois banget, sih, lo. Gue mohon sekarang lo bantuin Lara!!” pinta Tala meninggikan nada suaranya.
“Kolam renangnya ga dalem. Keluar sendiri juga bisa kali.”
“Lara nggak bisa berenang. Terlebih dia punya phopia yang bisa bahaya banget.”
“Kenapa lo nggak bilang dari tadi?!” ucap Wawan langsung melempar handuk yang dipegangnya dan berlari kembali menyelam ke kolam renang tersebut.
Lara sudah terkapar lemas di air. Dia hilang kesadaran. Wawan yang sudah mendapati Lara langsung memangkunya keluar dari kolam.
Kemudian dilarikannya Lara yang sekarang berada dalam gendongnya ke ruang UKS, disusul Tala yang terlihat sangat panik. Kini, mereka bertiga menjadi pusat perhatian. Siswa-siswi yang melihat saling bertanya-tanya tentang kejadian tersebut.
Saat sampai di ruang UKS, Lara langsung diperiksa dokter yang bertugas. Tala masih menampilkan ekspresi paniknya. Berbeda dengan Wawan yang terlihat datar.
Bagaimana bisa seseorang bersikap demikian, sementara bahaya tersebut terjadi karena ulahnya, tidakkah dia merasa bersalah? Atau dia tipe orang yang pandai menyembunyikan perasaannya?
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Lara selesai diperiksa. Seperti yang terlihat, keadaannya cukup parah. Bahkan sampai dokter selesai memeriksa pun, ia masih dalam keadaan tak sadarkan diri.
Sebuah selang infus sekarang menempel di punggung tangannya. Matanya terkatup rapat. Bibirnya pucat. Seluruh tubuhnya basah. Keadaan Lara sangat memprihatinkan.
“Tidak usah khawatir, dia baik-baik saja,” ucap sang dokter pada Tala dan Wawan.
“Tapi kenapa Lara belum siuman, Dok?” tanya Tala yang masih cemas.
“Ini dikarenakan trauma masa lalu yang dialaminya cukup parah. Jadi kemungkinan saat dia tenggelam, ketakutan yang dirasakanya berlipat ganda. Ia seperti dikejar dan dihantui bahaya masa lalu,” jelas sang dokter. “Sebentar lagi dia akan siuman,” tambahnya.
Tala mengangguk.
“Terimakasih, Dok,” balas Wawan.
Dokter tersebut memberikan senyum dan anggukan untuk menanggapi ucapan terimakasih dari Wawan.
“Oh, iya, saya harus ke rumah sakit, karena ada pasien yang perlu saya tangani segera. Jika ada yang dibutuhkan, kalian bisa kabari guru piket di ruangan sebelah. Saya pamit dulu,” papar dokter yang akrab disapa dokter Aji tersebut.
Tala dan Wawan mengangguk paham. Setelah dokter Aji meninggalkan ruangan, Tala langsung memberikan penawaran pada Wawan.
“Kita bagi tugas. Gue nemenin Lara di sini. Tapi nanti kalau dia udah baikan lo harus nganterin dia pulang,” tawar Tala.
Setidaknya hal ini yang bisa ia lakukan agar Lara bahagia. Sahabatnya itu pasti akan sangat senang jika bisa diantar pulang Wawan. Meski Wawan sempat membuat Lara dalam bahaya, meskipun tidak disengaja, bisa Tala tebak, seratus persen Lara tidak akan menjauhi Wawan. Dia adalah manusia keras kepala yang paling optimis sejagat nusantara.
"Kenapa gue? Kenapa nggak Lo aja?"
"Lara sakit kan karena Lo."
“Gue nggak bisa!” tolak Wawan.
“Lo yang udah bikin Lara kayak gini. Lo harus tanggung jawab dong!”
“Gue ke sekolah pake sepeda. Nggak mungkin gue bawa pulang dia pake sepeda.”
“Bodo amat! Lo kan bisa usaha. Pake taksi, kek, atau pinjem mobil Wyllo gitu.”