Lara dan Wawan berpamitan. Hari ini Lara sudah mengatur rencana agar bisa berduaan dengan Wawan selama mungkin. Dia sudah menyiapkan dua tiket nonton beserta daftar nama tempat yang akan mereka kunjungi. Tak lupa juga, dia membawa separuh uang tabungan untuk modal kencannya.
Perjalanan hari ini dimulai dari salah satu mall ternama di Jakarta Pusat.
Mata Lara tak hentinya menatap Wawan yang tengah mengendarai mobil sport miliknya. Mobil yang belum pernah sama sekali dibawa Wawan ke sekolah. Bahkan tadi Lara kira ini adalah mobil sewaan. Biar terlihat elegan nganterin gadis secantik Lara.
Namun, pikiran itu sesegera mungkin ditepis Lara. Melihat rumah mewah Wawan, bukan tak mungkin Wawan memang mampu membeli mobil sejenis ini.
“Kenapa liatin gue mulu?”
“Wawan ganteng.”
“Udah dari jaman gue masih jadi embrio.”
“Lara jadi makin suka.”
“Udah nggak kaget.”
“Kalau Lara cantiknya udah dari jaman kura-kura ninja ketemu dragonball.”
“Nggak nanya.”
“Nggak apa-apa Wawan nggak nanya yang penting Wawan denger.”
Wawan diam.
“Oh iya!” sadar Lara berucap keras.
“Astaghfirullah. Lo ngapain, sih?” kaget Wawan karena intonasi Lara yang keras.
“Lara jadi lupa apa yang mau ditanyain karena lihatin wajah Wawan.”
“Gue nggak nyuruh lo lihatin gue.”
“Tapi wajah Wawan itu mengalihkan dunia Lara.”
“Lebay, buktinya lo masih di bumi.”
“Wawan!!!”
Wawan hanya diam.
“Btw, kenapa Wawan nggak bilang kalau tante Asti itu mamanya Wawan?”
“Pertama, lo nggak nanya.”
“Kedua, nggak ada gunanya gue ngasih tahu lo. Paham?!”
“Ih, ada dong. Tante asti, mamanya Wawan. Nah, Wawan itu calon pacarnya Lara. Berarti tante Asti calon mertua belum jadinya Lara.”
“Halu!!!”
“Biarin, Lara seneng kok, ngehaluin Wawan. Lebih seneng lagi kalau Wawan mau jadi pacar Lara.
“Denger, ya, Ra! Sampe Upin-Ipin kribo aja gue nggak bakalan pernah suka sama lo.”
“Kalau Upin-Ipin ubanan, berarti Wawan bakalan suka sama Lara?”
“Nggak.”
“Kok masih nggak?”
“Lo nggak capek apa nanya itu terus?”