Senin kembali menyapa. Pagi yang cerah dengan matahari yang bersinar menemani setiap insan mengawali aktivitasnya. Tak terkecuali Lara. Tapi sebentar, ada yang salah dengan wajah gadis ini. Mukanya sendu ditambah cara jalan yang lemas, sangat berbeda dengan keceriaan yang semesta suguhkan.
Kali ini dia sudah menyiapkan hati untuk benar-benar menjauh dari Wawan. Meski berat, tapi sepertinya melupakan Wawan adalah jalan satu-satunya.
Maaf Wawan, kayaknya Lara nyerah aja. Bukan Lara udah nggak sayang sama Wawan, tapi Lara kasian lihat Wawan risih terus karena ulah Lara, batinnya.
“Lara!!” Panggilan seseorang menghentikan langkahnya. Benar, ini suara Tala.
Lara berhenti, kemudian membalikkan badan menghadap sumber suara masih dengan tatapan putus asa. Sedangkan Tala setengah berlari untuk mencapai Lara.
“Kenapa lagi lo?”
“Gue lagi sedih.”
“Wawan lagi?”
Lara mengangguk.
“Bukannya kemarin lo habis jalan bareng dia? Kok masih sedih aja?”
“Iya, Wawan nyuruh gue berhenti ngejar dia dan harus menjauhinya.”
“Astaga Lara, lo selama ini budek, buta atau kedua-duanya? Wawan emang selalu nolak dan nyuruh lo berhentikan? Baru sadar lo?”
“Kemarin gue ketiduran pas Wawan bilang gitu,” balasnya berhasil membuat Tala menghela berat.
“Trus sekarang lo mau ngapain?”
“Gue bakalan coba lupain Wawan.”
Tala membulat sempurna. Kaget setengah pingsan ia mendengar penuturan mustahil dari bibir Lara.
“Serius? Ntar kalau lo kangen Wawan gimana?”
“Gue tahan.”
“Halah, paling juga ngejauh pas lagi jam pelajaran doang karena beda kelas,” ucap Tala meremehkan kemampuan Lara.
“Kali ini gue serius.”
“Beneran?”
Lara mengangguk.
“Bagus, Ra. Lo nggak harus jadi cahaya untuk seseorang yang buta.”
Lara tersenyum paksa.
“Kalau gitu semangat dong! Lo harus nunjukin kalau lo bisa hidup bahagia tanpa Wawan.”
“Semangat!!!” balas Lara dengan anggukan pasti.
***