Wawan menuntun Lara menuju loker. Mereka mengambil seragam olahraga yang selalu ditinggalkan di loker masing-masing. Kemudian keduanya memasuki ruang ganti untuk mengganti pakaiannya yang basah kuyup.
Sekitar lima sepuluh menit Wawan keluar ruang ganti pria. Sedangkan Lara, butuh waktu lima belas menit baru selesai berganti pakaian. Wawan menunggu di salah satu bangku panjang yang terletak di sana.
Lima menit kemudian Lara keluar. Rambut sebahunya masih terlihat sedikit basah. Sementara wajahnya sudah dipolesi bedak dan bibirnya juga sudah dipakaikan lip-balm. Wawan melemparkan sebuah senyuman ke arah Lara.
Bagaimana dengan Lara? Dia mematung dan tidak membalas senyum Wawan. Dadanya terasa berhenti. Pikirannya tidak karuan. Apakah semuanya hanya mimpi? Batin Lara. Aaa..., jika memang hanya sebuah mimpi rasanya ingin tidur saja selama mungkin. Hatinya melanjukan dialog.
Wawan mendekat, handuk kecil yang dipegang Lara diraihnya. Kemudian Wawan menggunakan handuk itu untuk mengeringkan rambut Lara agar kering sempurna.
“Rambut lo masih basah.”
Lara merasa dadanya akan meledak karena pompa jantung yang tidak stabil. Ini tidak bisa dibiarkan. Lara masih ingin menikah dan memelihara koala betina dengan Wawan. Cepat-cepat ia meraih tangan Wawan untuk mengentikan kegiatan yang membuatnya tidak karuan itu.
“Wawan beneran mau jadi pacar Lara?”
Wawan tersenyum, “Kenapa? Sekarang lo yang nggak mau?”
“Hah? Bentar, Wawan bisa tolong cium Lara dulu nggak.” Ucapannya pun ikutan tidak karuan.
“Hah? Agresif banget ya lo.”
“Eh, maksud Lara, coba cubit pipi Lara. Biar Lara bisa percaya kalau ini semua bukan mimpi.”
“Nggak. Pipi lo bukan buat dicubit. Lo percaya gue kan?”
Lara mengangguk.
“Ya udah berarti harus percaya juga kalau ini semua bukan mimpi.”
Lara mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Dia seperti sedang mendapat keberuntungan berjuta kali lipat. Meski sempat mengalami kejadian memalukan. Namun, hari ini ia mendengar kemustahilan dari bibir Wawan.
“Lo iyain yang mana? Percaya kalau semua ini bukan mimpi atau percaya gue yang udah mau jadi pacar lo?”
“Dua-duanya,” balasnya menitihkan air mata.
“Lho, kok nangis?” bingung Wawan langsung menghapus air mata Lara dengan jempolnya.
Lara makin sesegukan dan Wawan bertambah bingung untuk bertingkah.
“Ra, lo kalau masih nangis gue pergi nih?!” ancamnya karena sudah tidak tahu harus berbuat apa.
“Iya, iya Lara nggak nangis lagi.”
“Nah bagus!”
“Wawan kok nggak so sweet banget kayak Ryan pacarnya Lulu.”
“Kalau mau so sweet pacaran sama Ryan aja!”
“Ih, nggak mau, kan Lara sayangnya sama Wawan.”
Wawan diam.
“Wawan, kata orang kalau udah pacaran, kita harus kencan.”
“Kata gue kalau udah pacaran, lo jadi pacar gue.”
“Hehehe iya bener.”
“Wawan nggak bakalan berubah pikiran kan?”
“Lo mau?”
“Apa?”
“Gue berubah pikiran?”