Seminggu telah berlalu. Lara tidak lagi mengabari Wawan. Begitupun dengan Wawan, ia hanya bisa memandangi pesan terakhir Lara di layar ponselnya. Sedangkan Asti, ia masih berusaha membuat Lara ingin tinggal bersamanya, sekaligus, ada suatu hal yang harus ia sampaikan pada Wawan. Namun, niat yang sudah Asti susun dengan rapi, sering kali urung.
Weekend kali ini, Wawan sudah meminta Wyllo untuk menemaninya ke puncak. Ia harus mendapatkan udara segar jua penjelasan semesta tentang lelucon yang sama sekali tidak lucu itu.
Jarum jam masih senang berada di angka enam, tapi Wawan sudah siap untuk menikmat alam yang akan puncak suguhkan. Ia hanya harus menyelesaikan ritual paginya, yaitu sarapan nasi goreng yang Asti buatkan. Setelah itu, Wawan boleh melanjutkan aktivitas apa saja yang akan dia lakukan.
“Wan, mau ke mana? Masih pagi kok sudah rapi aja?”
“Bun, Wawan mau ke puncak ya. Sama Wyllo kok.”
“Nggak ngajak Lara sekalian?”
Wawan diam. Padahal acara ke puncak ini adalah upayanya untuk melupakan Lara. Jika Lara ikut, bukannya akan lupa malah tambah dalam akar rasa yang tertanam. Entah kenapa, baru langkah awal saja, Tuhan kembali mengingatkannya pada Lara lewat sang bunda.
“Bun.”
“Iya?” jawab Asti yang masih fokus menuangkankan segelas air putih untuk Wawan.
“Wawan sayang Lara.”
“Memang harusnya gitu kan?”
“Bukan sebagai adik kakak. Tapi kayak cowok ke cewek.”
“Trus masalahnya di mana?” jawab Asti enteng. Seolah ia sedang tidak sadarkan diri menanggapi ucapan Wawan.
“Bunda beneran udah bangun ‘kan?”
“Udah cantik gini, masa masih bobo.”
“Kok nanya masalahnya di mana? ya jelas salah dong, Bun. Lara itu adik Wawan.”
“Bunda tahu...,” ucapannya terpotong. Asti berusaha menyusun kata yang baik dan lebih mudah untuk dimengerti oleh Wawan.
“Hm, sebenarnya ada satu hal yang Bunda perlu jelas kan ke Wawan.”
“Tentang?”
“Jati diri Wawan.”
“Hah?”
“Tapi kalau Wawan belum siap, nggak apa-apa. Bunda bilang begini bukan karena Bunda nggak sayang Wawan. Hanya saja menurut Bunda, Wawan perlu tahu semuanya.”
Wawan nampak seperti sedang memutar korneanya. Lelucon apa lagi yang sedang semesta siapkan? Dia menghela berat sebelum akhirnya mengiyakan tawaran sang Bunda.
“Katakan, Bun.”
“Bunda bingung mau mulai dari mana. Sebenarnya, Wawan bukan anak kandung Bunda.”
Wawan diam, matanya membulat sempurna. Sendok yang tadi masih ia pegang, kini tergeletak tidak berdaya di atas piring nasi gorengnya. Kan benar, semesta sedang menyiapkan lelucon lagi. Gue salah apa sama semesta, kenapa dia suka sekali bikin ulah? Batinnya tersenyum miris.
“Itulah kenapa Wawan dan Lara cuma jarak empat bulan aja. Jadi Bunda waktu itu lagi cek kandungan ke rumah sakit, nggak sengaja ketemu ibu kandung Wawan yang posisinya sudah melahirkan Wawan. Wajahya masih pucat, tapi kekeh mau keluar rumah sakit. Karena Bunda merasa akan terjadi satu hal, jadi Bunda minta ayah buat ikutin ibumu. Dan benar aja, dia mau menghanyutkan Wawan. Untung ayah sigap, Wawan langsung di raih dan diberikan ke Bunda. Akhirnya Ayah dan Bunda mutusin buat merawat Wawan."
“Huh, ternyata Wawan anak buangan,” lirihnya tersenyum miris.