Pilar

Dwi Kurnialis
Chapter #5

LIMA

Imam

Bandar Lampung, 1990

Hari sudah semakin sore. Aku sedang bersiap untuk pergi berjualan. Ya, sudah beberapa tahun terakhir aku memang sudah tak bekerja dengan Abdul. Abdul sendiri sekarang sudah tak menarik angkot lagi. Beliau bekerja di pelabuhan barang, di daerah Sukaraja, Bandar Lampung. Sementara aku, lebih memilih untuk berjualan makanan. Setiap sore aku dan Yati sibuk menyiapkan peralatan jualan. Aku berjualan di pelataran diskotik Kingdom, di jalan Yos Sudarso, Teluk betung selatan. Dengan tenda dari terpal yang harus bongkar pasang. Soto babat, gulai kambing, nasi uduk, adalah beberapa jenis makanan yang ku jual. Pelangganku tentu saja warga sekitar, dan juga para pekerja diskotik.

Sore itu deburan ombak begitu kencang menerpa dinding rumah papan kami. Agaknya lautan mulai pasang. Aku yang sedang menyiapkan perlengkapan masak seperti wajan, spatula, dan lainnya ke dalam sebuah gerobak dorong dibuat terkejut dengan tingkah Santi yang berlari di dermaga menuju ke arahku. Ya, Santi kini sudah besar. Sudah kelas 1 SMP.

“Bapak! Bapak!” serunya dan terlihat panik.

“Kenapa lari-lari, San?”

“Mamak, Pak! Mamak sakit perut!”

Mendengar ucapan Santi, membuatku segera bergegas meninggalkan gerobak dan berlari masuk ke dalam rumah. Ku dapati Yati sudah berbaring di atas kasur dengan wajah meringis kesakitan, seraya memegangi perutnya yang buncit dan keringat sudah membasahi keningnya. Ya, istriku Yati memang sedang hamil tua. Ini adalah calon anak kedua kami. Setelah Santi berusia 12 tahun, Allah baru mempercayai Yati untuk kembali mengandung.

“Santi … kamu tunggu rumah aja ya, Nak! Bapak mau bawa mamak ke rumah sakit.”

“Tapi Santi takut, Pak, kalo di rumah sendirian!”

Wajah gadisku itu terlihat sedih.

“Santi di rumah Bu Saudah aja!” ucap Yati.

*****

Selama kehamilan, aku selalu membawa Yati memeriksakan kandungannya ke dokter Sofyan Saleh,Spog. Ini bukan tanpa alasan. Sejak kehadiran Santi, aku dan Yati tidak pernah mengikuti program Keluarga Berencana dikarenakan Yati tidak pernah cocok dengan obat-obatan itu. Tapi, pada kenyataannya walaupun tidak KB, hingga Santi berusia 10 tahun, kami belum diberikan anak lagi. Hingga suatu ketika ada seorang tetangga yang mengatakan bahwa memiliki anak sedikit apalagi hanya satu itu nantinya kita juga yang susah dimasa tua. Kalau anak pertama tidak menyayangi kita, masih ada harapan kasih sayang dari anak-anak yang lainnya. Aku pikir, ucapan tetanggaku itu ada benarnya juga. Kami memutuskan untuk berkonsultasi ke dokter. Alhamdulillah, setelah beberapa kali konsultasi, Yati diberikan kesempatan untuk kembali merasakan mengandung. Sungguh kebahagiaan tak terhingga bagi kami, juga bagi Santi yang akan memiliki seorang adik. Dokter berpesan, jika suatu saat Yati mengalami kontraksi melahirkan, Yati harus melahirkan di rumah sakit. Karena kehamilan Yati yang kedua ini berjarak jauh dari yang pertama.

Rumah sakit Abdul Moeloek, Bandar Lampung. Aku membawa Yati ke rumah sakit terbesar di Lampung itu. Ya, sebelumnya dokter Sofyan telah memberikan jadwal praktiknya kepada kami. Hari Sabtu malam aku dan Yati telah sampai di rumah sakit. Kebetulan, kami memiliki kenalan seorang perawat di rumah sakit itu. Namanya Marni. Istri dari adik iparnya Abdul. Berkat dirinya, Yati segera ditangani oleh team medis.

“Sakit, Mas.” Yati merengek karena kesakitan. Ya, perjuangannya melahirkan bayi kami kedua ini cukup berbeda dengan proses persalinan ketika melahirkan Santi. Jika dulu ada Simbok yang menemaninya, namun kali ini kami hanya berdua. Hanya ada aku yang berada di sisinya. Ku lihat keringat sudah membasahi sekujur tubuhnya.

“Sabar, ya. Banyak berdoa biar Allah selalu melindungi kamu dan bayi kita,” ucapku seraya menghapus titik-titik air di keningnya dengan kain handuk kecil.

Hampir semalaman aku dan Yati berada di dalam sebuah ruangan. Ruang Angkasa, sebuah ruangan yang letaknya berada di lantai atas. Itulah sebabnya ruangan itu dinamai “Ruang Angkasa”. Ruangan itu dikhususkan bagi wanita bersalin dan bayinya. Hingga akhirnya tepat hari minggu, 12 Agustus 1990, pukul 06.00 pagi pecahlah suara tangisan bayi perempuan yang sangat mungil dan cantik. Bayi kecil itu ku beri nama Karunia, dan dipanggil “Nia”.

Aku begitu sangat bahagia ketika pertama kali seorang suster memberikan Nia kepadaku. Aku tak menyangka, jika Allah masih memberikanku kesempatan untuk menambah anak lagi. Segera ku lantunkan kumandang Adzan di telinga kanan Nia, dan Iqamah di telinga kirinya.

Terdengar suara kegaduhan dari balik tirai yang menutup tempat bersalin Yati.

“Pasien kristis, Dok!” seru seorang perawat wanita.

Kemudian, salah seorang perawat yang lain muncul dari balik tirai, guna menemuiku. “Bapak, istri Bapak mengalami pedarahan hebat. Dan membutuhkan transfusi darah sebanyak 5 kantung. Segera cari pendonor darah golongan AB! Di rumah sakit stok darah yang dibutuhkan sedang kosong.”

Lihat selengkapnya