Pilar

Dwi Kurnialis
Chapter #6

ENAM

Santi

Namaku Santi. Kata Bapak, aku ini anak yang pintar. Ya, nilai raportku selalu menjadi yang paling besar di kelas. Padahal, aku tidak pernah belajar dengan rutin. Bahkan, aku lebih sering bermain ketimbang belajar. Aku sendiri pun heran, kenapa aku bisa menjadi juara kelas. Sejak kecil, aku hidup di tepi pantai. Berteman dengan hamparan pasir dan deburan ombak yang kencang. Setiap hari, kehidupanku hanya bermain dan berkelahi. Ya, aku memang memiliki sifat yang keras. Namun, aku tak pernah malu mengakui sebuah kesalahan. Jika memang aku salah, tentu dengan itikad baik aku akan meminta maaf. Tapi jika aku benar, sampai titik darah penghabisan pun akan aku perjuangkan.

Bapak dan Mamak selalu bilang, jika aku benar dan berani, maka aku harus melawan. Jika aku takut, pulang dan jangan berkata apapun. Hanya itu yang ku ingat disaat aku sedang ada masalah dengan teman-temanku.

Selama dua belas tahun aku tumbuh menjadi anak semata wayang. Tanpa saudara membuatku kesepian. Mungkin itulah yang membuatku jarang sekali betah, jika berada di rumah. Aku lebih senang bermain dengan teman-teman. Tak jarang pula, aku sengaja berjalan kaki dari sekolah ketika pulang. Karena pada saat itulah aku merasakan keramaian bersama teman-teman menikmati hiruk-pikuk Kota Bandar Lampung. Menjadi anak tunggal, membuatku sangat dekat dengan orang tua. Terutama dekat sekali dengan sosok Bapak. Aku tahu persis bagaimana Bapak berjuang untuk menghidupi kami. Kata Mamak, sewaktu aku masih kecil Bapak pernah bekerja sebagai pemutar film, kemudian menjadi kenek angkot milik Om Abdul. Dan sekarang, Bapak berjualan makanan.

Selama dua belas tahun aku tumbuh menjadi anak semata wayang. Tanpa saudara membuatku kesepian. Mungkin itulah yang membuatku jarang sekali betah, jika berada di rumah. Aku lebih senang bermain dengan teman-teman. Tak jarang pula, aku sengaja berjalan kaki dari sekolah ketika pulang. Karena pada saat itulah aku merasakan keramaian bersama teman-teman menikmati hiruk-pikuk Kota Bandar Lampung. Menjadi anak tunggal, membuatku sangat dekat dengan orang tua. Terutama dekat sekali dengan sosok Bapak. Aku tahu persis bagaimana Bapak berjuang untuk menghidupi kami. Kata Mamak, sewaktu aku masih kecil Bapak pernah bekerja sebagai pemutar film, kemudian menjadi kenek angkot milik Om Abdul. Dan sekarang, Bapak berjualan makanan.

Biarpun aku masih sangat kecil, tapi diriku bisa memahami bagaimana susahnya menjadi Bapak dan Mamak. Dan … aku juga turut merasakan kesusahan yang mereka alami. Namun, aku tak pernah berusaha untuk protes. Karena aku tahu, apa yang mereka lakukan juga untuk kebaikanku. Hampir setiap malam, aku ditinggal pergi berjualan oleh keduanya. Mamak akan pulang pukul 22.00, sementara Bapak sampai pukul 00.00 bahkan terkadang lebih dari itu. Sore hari aku berangkat mengaji. Selepas isya, aku menanti Mamak di rumah tetanggaku. Mereka bilang, Santi jangan di rumah sendirian, takut ada ombak besar. Ya, risiko memiliki rumah yang berdiri di atas lautan adalah sewaktu laut pasang maka deburan ombak yang menghantam didnding kayu akan memasuki rumah, dan semuanya akan menjadi basah. Basah saja bukan masalah, bagaimana jika gelombang tinggi. Jika itu terjadi, kami akan  mengungsi di rumah Om Abdul.

Sore itu, aku sedang bersiap mau berangkat mengaji. Sementara Bapak dan Mamak sedang menyiapkan dagangan. Ku lihat, Mamak bekerja seraya memegangi perutnya yang berisi calon adik bayi yang ku sayangi. Wajahnya terlihat pucat. Sesekali Mamak meringis. Seperti sedang menahan sakit. Aku yang sedang mengambil buku di kamar, ku lihat Mamak sudah berbaring di kasurnya.

“Mamak kenapa?” tanyaku khawatir.

“Perut Mamak sakit, San!”

Ku raba-raba perut Mamak. Seperti ada yang bergerak-gerak di dalamnya.

“Panggil Bapak, Nak!”

Penuh dengan kepanikan aku berlari menuju dermaga untuk memanggil Bapak yang sedang menyiapkan gerobak jualannya. Setelahnya, Bapak turut panik dan berlari masuk ke dalam rumah menemui Mamak di kamar. Sepertinya Mamak akan melahirkan adik bayiku. Bapak memintaku agar menunggu di rumah saja. Tentu saja aku menolak. Aku takut jika berada di rumah sendirian. Tapi, Mamak memintaku untuk pergi ke rumah Bu Saudah saja.  Bapak dan Mamak bergegas pergi ke rumah sakit. Sementara aku, lekas membereskan semua peralatan dagang yang tak jadi digunakan oleh Bapak.

*****

Selepas mengaji, aku pulang ke rumah Bu Saudah bersama dengan Yani, temanku sekaligus putri bungsu Bu Saudah.

“Bu, kalo diijinin, malem ini Santi nginap di sini aja, ya?”

“Emangnya, Bapak sama Mamakmu ke mana, San?”

“Ke rumah sakit, Bu. Katanya, Mamak mau ngelahirin.”

Mendengar ucapanku, sepertinya Bu Saudah terkejut. Seketika itu, perempuan yang senang memakai kain jarik itu melotot ke arahku.

“Kok, Bapakmu enggak bilang ke Ibu? Coba aja kalo bilang, kan, Ibu temenin ke rumah sakit!” ucapnya sedikit dengan nada kerasnya. Namun aku tak takut. Itu sudah menjadi ciri khas wanita yang usianya jauh lebih tua dari Mamak.

Lihat selengkapnya