Pilar

Dwi Kurnialis
Chapter #7

TUJUH

Yati

Siang hari kisaran pukul 11.00, aku pergi ke sumur umum untuk mencuci pakaian. Di sana kudapati para tetanggaku sedang melakukan hal yang sama, termasuk Halimah. Ya, sudah seperti janjian saja. Setiap hari mencuci secara bersamaan. Di pemukiman ini memang tak semua orang memiliki sumur pribadi. Mungkin karena sudah keenakan pakai sumur umum. Sebenarnya, ini bukan sumur umum. Sumur pribadi milik orang tua Halimah. Dikarenakan lahan milik keluarga mereka yang sangat sempit, maka sumur ini dibuat tepat di halaman samping rumahnya dan jadilah sumur umum bagi para warga sekitar. Aku sendiri sebenarnya sudah memiliki sumber air pribadi berupa sumur pompa. Ya, sumur pompa besar yang terbuat dari besi itu sangat berat. Dengan kondisi perutku yang buncit, rasanya aku kesulitan sekali menggunakannya.

“Perutmu sudah terlihat turun, Yat. Apa sudah hampir waktunya?” tanya seorang tetangga yang sama-sama mencuci denganku.

“Iya, Mbak … udah bulannya.”

“Wah … Sebentar lagi Santi bakalan punya adik, pasti betah di rumah.”

“Iya, pastinya enggak akan berantem lagi sama temen-temennya …” celetuk salah satu tetanggaku yang lain seraya melirik ke arahku.

Aku tahu sekali maksud ucapannya. Mereka memang suka dibuat kesal oleh anakku Santi. Tapi, yang tahu bagaimana sifat anak itu, hanya aku dan Mas Imam. Dulu, Santi kecil sering tertindas oleh teman-temannya. Dirinya banyak mengalah. Hampir setiap pulang ke rumah selalu menangis. Mengadu si A jahat, Santi dipukul sama si B. Sebagai orang tua, kami hanya ingin bersikap bijaksana. Permasalahan dalam kehidupan bermain anak-anak adalah hal yang lumrah. Aku tak pernah sedikitpun ikut campur di dalamnya. Terkecuali jika sudah terlewat batas, misalkan Santi terluka, baru aku ataupun Mas Imam yang akan menemui orang tua temannya.

Setiap pulang menangis membuat kami sebagai orang tua merasa serba salah. Serba salahnya, kami tak tahu harus berbuat apa? Memarahinya? Rasanya itu hanya akan merusak otaknya saja. “Santi harus berani. Berani bertanggung jawab atas perbuatan. Jika Santi salah, harus mau meminta maaf. Jika Santi benar, maka Santi harus membela diri. Tapi, kalo enggak berani, pulang dan jangan mengadu apapun!” ucapku kepada Santi.

Sejak saat itu, kami tak pernah mendengar Santi menangis lagi. Tapi, justru kami lebih sering mendapat laporan dari para tetangga jika Santi sering berkelahi. Salah satunya laporan dari tetanggaku yang baru saja menyeletuk ini. Dan setiap kali mendapat laporan, aku akan bertanya permasalahannya kepada putri sulungku itu. Dan benar saja, Santi melakukan apa yang aku katakan. Melawan teman-teman yang selalu menindas dan mengejeknya.

Pernah suatu ketika aku didatangi oleh Bu Saudah. Wajah wanita itu begitu panik dan gusar. “Yat …, tolong, Yat!” serunya.

Aku yang sedang mencuci babat di dapur seketika itu keluar menuju dermaga. “Ada apa, Bu?”

“Tolong, Yat. Anak lu si Santi lagi marah-marah di depan rumah gua.”

Mendengar ucapan Bu Saudah, aku lekas pergi ke rumah wanita itu. Ternyata benar, kudapati Santi sedang berbicara lantang dengan ekspresi wajah penuh dengan kemarahan.

Lihat selengkapnya