Yati
Hidup di atas laut selama hampir tiga belas tahun, membuatku merasa betah berdampingan dengan para nelayan. Setidaknya anak-anakku bisa makan ikan segar tanpa harus membeli dengan harga yang mahal, bahkan gratis. Di sini, pada saat malam hari Mas Imam dapat memasang umpan di belakang rumah, dan besok paginya akan ada ikan yang didapatkan. Setiap siang menjelang sore hari, akan ada payang milik nelayan yang menepi. Maka, dengan gembira para ibu-ibu, termasuk aku, turun ke laut untuk membantu mengambil ikan dari dalam payangnya. Setelahnya aku akan mendapat upah berupa ikan yang masih sangat segar.
Seperti siang itu. Sebuah perahu nelayan menepi. Kami para ibu-ibu dengan cekatan memilih ikan. Sesekali terdengar sendagurau di antara kami. Namun, siang itu menjadi siang yang mencengangkan bagiku. Sebuah kabar kurang baik, terdengar di telingaku. Ya, kabar penggusuran lahan perkampungan kami yang akan dijadikan Sentra Pariwisata, berupa taman kota.
“Kalo perkampungan kita benar-benar digususur, bagaimana?” ucap Bu Saudah.
“ Ya … berarti kita harus pindah lah!” jawab Hamidah.
“Lu sih enak, Dah. Sewaktu-waktu digusur bisa pindah ke rumah adik lu, di Karang! Nah kalo kita? Bisa-bisa ngegelandang di pinggir jalan.” ucap salah seorang tetanggaku.
Mendengar topik pembicaraan mereka, membuatku terus terdiam dan berpikir seraya memilih ikan. Bagaimana jika perkampungan ini benar-benar digusur? Bagaimana dengan nasib keluarga kecilku? Apakah kami harus kembali pulang ke kampung halaman? Ah aku tidak ingin kembali ke sana. Aku sudah merasa betah tinggal di sini. Walau harus berbagi ekonomi dengan keluarga besar suamiku, aku ikhlas.
“Kalo lu, Yat, gimana?”
Pertanyaan Bu Saudah itu membuyarkan lamunanku.
“Entahlah, Bu.”
“Lu enggak usah bingung-bingung, Yat. Kampung Lu kan, enggak jauh! Lu bisa pulang kampung lagi, kan?” ucap wanita yang putrinya sering diumpat oleh putriku.
Aku terdiam, namun benakku menjerit. Tidak!! Aku tidak ingin kembali ke desa lagi!
Ya, dengan kembali ke kampung lagi, artinya aku, Mas Imam, dan kedua putriku akan tinggal bersama Simbok dan adik-adik. Jangankan menjadi kenyataan, membayangkannya saja, rasanya aku tak sanggup.
*****
Sejak kabar itu merebak ke seluruh penjuru perkampungan, diriku dilanda rasa kekhawatiran. Khawatir jika penggusuran itu benar-benar terjadi. Hingga suatu siang, suamiku tak berada di rumah. Ke mana perginya beliau? Aku tak tahu. Tak seperti biasanya. Jika biasanya Mas Imam menggunakan waktu siangnya untuk beristirahat, tapi kali ini tidak.