Santi
Kata Bapak, aku dilahirkan di sebuah desa di daerah Lampung Timur. Tapi, pada kenyataannya, aku sendiri belum pernah mengenal dan tahu seperti apa desa itu. Aku hanya mendapatkan cerita dari laki-laki yang menjadi cinta pertamaku. Beliau bilang, desa itu sangat indah. Ada sawah, irigasi, pepohonan yang besar.
Dan ketika Bapak bercerita, aku hanya dapat berkhayal. Dalam benak seolah berkata Kapan aku akan sampai di sana? Tapi, berbeda dengan Mamak. Beliau mengatakan, hidup di desa itu susah mendapat rezeki yang lebih. Kalau saja hidup di desa itu mudah, mungkin Bapak tidak akan pernah mengajak kami untuk pergi dan tinggal di Kota.
Ah …, tapi aku lebih meyakini ucapan Bapakku. Pasti desa itu indah. Aku tahu mengapa Mamak berkata seperti itu? Karena Mamak tidak ingin kembali lagi ke desa. Sementara aku, justru semakin dibuat penasaran dengan cerita-cerita dari Bapak. Bahkan, harapanku untuk pulang ke desa semakin membuncah ketika diriku mendengar berita tentang rencana penggusuran lahan kampung nelayan.
“Yang benar lu, Yan? Bapak lu cuma bohong kali …!” Aku seolah belum percaya dengan cerita Yani.
“Ngapain juga Bapak gua bohong? Lagian nih ya, semua Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, udah pada ngomongin masalah ini! Gua denger sendiri pas itu orang-orang lagi milih ikan di payang. Emak lu juga ada, San!” jawab Yani yang tengah duduk di atas batu tanggul.
“Wah … kalo gitu, gimana nasib kita? Pan rumah kita cuma di sini doang!” keluh Debi, teman sekelasku sejak SD.
Sejenak aku terdiam. Berpikir sesuai dengan porsiku dan sama persis dengan pikiran Debi.
“San! Kok lu diem aja, sih?” tanya Yani yang sedikit memekikkan suaranya.
“Eh … enggak kok. Gua mah enggak perlu pusing. Bapak gua kan masih punya kampung. Ya … palingan juga kita pulang ke kampung lagi!” jawabku dengan yakin.
“Ya … kalo lu pulang kampung, terus temen gua berantem siapa, San?” keluh Yani.