Imam
Setelah mendengar pernyataan dari istriku, Yati, yang mengatakan ia tak ingin kembali ke desa, rasanya pikiranku semakin kacau. Namun, aku beruntung memiliki putri seperti Santi. Gadisku yang baru berusia 13 tahun itu sedikit membuat pikiranku tenang dengan ucapannya. Sungguh tak pernah kusangka cara berbicaranya sangat dewasa melebihi dari usianya. Sebuah nasihat yang sangat sederhana. Santi memintaku untuk bersabar menghadapi sikap ibunya yang sedikit agak keras itu. Dan tidak mengambil hati setiap ucapan yang telah terlontar dari wanita yang sudah mendampingiku kala suka dan duka selama hampir 14 tahun lamanya. Dan aku hanya dapat tersenyum lemah.
Dibalik senyum yang ku berikan kepada Santi, tersimpan sebuah hasrat kebingungan. Pikiranku berputar-putar dikisaran persoalan penggusuran lahan. Ya, tiada henti aku memikirkan hal itu. Bagaimana jika perkampungan ini benar-benar digusur? Ke mana aku akan membawa keluarga kecilku pergi selain pulang ke desa? Sementara istriku. Ah … wanita itu tak lagi bersedia kembali tinggal bersama keluarga besarku. Aku dapat memakluminya. Hidup di kota, jauh dari keluarga besarku benar-benar membuatnya merasakan kenyamanan yang besar. Jadi, wajar saja jika ia lebih suka hidup di sini, daripada di desa yang harus tinggal satu atap dengan keluargaku, terutama dengan Simbok.
Senja telah tiba, selepas shalat isya aku berdiri di beranda. Ya, untuk sementara waktu aku sedikit menjauhi Yati yang sedang sensitive dengan persoalan penggusuran lahan. Setidaknya aku juga bisa berpikir mencari jalan keluar jika nantinya tempat tinggal kami benar-benar digusur.
Dari kejauhan, tepat di ujung dermaga rumahku, ku melihat sosok laki-laki yang ku kenali. Dia adalah Poniman, salah seorang tetanggaku yang sehari-harinya melaut untuk mencari ikan. Namun, sepertinya kali ini ia tidak akan mencari ikan ukuran banyak. Karena yang kulihat justru lelaki bertubuh gempal itu terlihat sibuk dengan sampan kecilnya.
“Man, sampanmu kenapa?” pekikku dari beranda rumah.
“Mancing, Mam. Di rumah aja, pusing gua!” jawabnya seraya melepaskan tali pengikat sampan di dermaga.
Kulihat Poniman sudah mulai mendayung sampannya menuju ke arah belakang rumahku. Aku pikir, tidak ada salahnya jika aku mengambil hiburan yang sama seperti Poniman. Memancing.
Segera aku masuk ke dalam rumah mengganti pakaian shalatku dengan kaus dan celana kulot. Tak lupa juga aku mengambil alat pancing yang tergantung di dinding dapur, yang biasa ku gunakan. Kemudian aku berlari ke dermaga. Ku lepaskan tali pengikat sampanku. Sampan yang ku pakai ini merupakan sampan pemberian dari Mas Zuhri, orang yang telah mendonorkan darahnya untuk Yati.
Perlahan aku mulai bermain dengan dayung sampanku menuju ke tengah laut. Jaraknya tidak terlalu jauh dari daratan, mungkin hanya kisaran 100 meter saja. Ku hampiri sampan milik Poniman.
“Eh, Mam. Lu ikut juga ternyata.”
“Gimana? Udah dapet ikannya?”