Pilar

Dwi Kurnialis
Chapter #12

DUA BELAS

Yati

Pemerintah terlalu keji. Mereka sama sekali tak memikirkan perasaan kami. Bukan kami, mungkin aku. Ya … aku. Aku yang begitu keras menolak penggusuran ini. Tapi, apadayaku? Aku sama sekali tak bisa berontak. Aku hanya orang desa yang polos, bahkan bodoh. Sekalipun diriku pintar, para pasak kunci itu tetap akan menganggap aku adalah orang yang tak penting.

Aku begitu sengit melihat mereka datang untuk mengontrol keadaan perkampungan kami. Mereka seperti tak pernah memiliki rasa bersalah. Bahkan aku sangat membenci senyuman yang mereka pancarkan dari wajahnya. Mereka sungguh keterlaluan menurutku. Walaupun mereka mengatakan akan mengganti rugi semua bangunan tempat tinggal kami, rasanya itu belum sebanding dengan apa yang akan kami alami selanjutnya.

Ku melihat Mas Imam yang baru pulang dari pasar sedang berbincang dengan Mas Poniman. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi satu hal yang aku lihat, Mas Poniman terlihat memasang wajah yang begitu marah ketika berbicara dengan Mas Imam seraya memperhatikan ke arah para pasak kunci itu. Sementara suamiku, aku juga melihat dengan jelas bagaimana ekspresinya. Datar …………..

Apalagi ketika dirinya ku ajak berbicara mengenai orang-orang yang sedang menjadi pusat perhatian para penduduk layaknya seperti artis pagi itu, dengan santainya ia mengatakan lahan ini memang milik mereka, kita bisa apa seraya meloyor masuk ke dalam rumah seakan tak ingin menghiraukan ucapanku. Apa aku merasa kesal? Sudah pasti aku kesal, bahkan sedih. Lelaki yang biasanya menguatkanku dalam setiap persoalan yang ku alami, kali ini benar-benar melemahkanku. Aku merasa seperti hidup sendiri.

Ku letakkan Nia di lantai. Ku beri bayiku itu mainan. Kemudian aku masuk ke dalam kamar. Aku menangis sejadi-jadinya. Meluapkan kekesalanku. Entah siapa yang benar atau siapa yang salah? Aku atau suamiku? Kami atau mereka? Ya Tuhan rasanya aku sudah tak mampu menahan sesak di dada ini. Mungkin karena tangisku ini terlalu keras, sehingga Mas Imam mendengarnya. Ia masuk ke dalam kamarku sambil menggendong Nia.

“Kenapa harus menangis, Mak?” tanyanya.

Lihat selengkapnya