Pilar

Dwi Kurnialis
Chapter #13

TIGA BELAS

Imam

Secara perlahan berita penggusuran lahan itu mulai mereda. Masyarakat kampung nelayan, Kapuran, Teluk Betung Selatan, mulai dapat beraktifitas dengan tenang, setelah Pemerintah Kota bersedia memberikan waktu kepada kami untuk berpikir. Pemerintah mengatakan jika proses penggusuran lahan tiada akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Namun, hal itu pasti akan tetap dilaksanakan. Dan saat dilaksanakannya eksekusi, secara otomatis kami semua harus meninggalkan perkampungan ini. Dan mereka berjanji akan memberikan ganti rugi uang yang setimpal dengan bangunan yang kami miliki.

Siang itu matahari yang mulai meninggi panasnya terasa menyengat merasu ke dalam kulitku yang kecoklatan. Bagaimana tidak, untuk menempuh perjalanan yang jarak 1km dari rumah ke pasar Bumi Waras, aku harus berjalan kaki. Sebenarnya ada angkutan umum. Tapi, aku lebih memilih untuk berjalan kaki saja demi menghemat uang. Setidaknya, uang yang untuk ongkos naik angkot bisa aku tabung untuk mengirim Simbok di desa.

Langkah demi langkah ku percepat. Berharap bisa lekas sampai di rumah. Rasanya aku sudah tak tahan dengan sengatan matahari yang begitu panas, dan juga bau asap kendaraan yang mengotori kota Bandar Lampung. Ku letakkan keranjang belanjaanku di dekat pintu dapur. Kemudian ku temui putri kecilku yang sedang bermain di teras bersama istriku yang sedang menyuapinya.

“Akhirnya kita bisa lebih tenang ya, Pak?” ucap Yati dengan senyum tipis mengembang di wajahnya.

“Iya, Mak. Sekarang Mamak enggak perlu ngerasa khawatir lagi!”

Terdengar langkah seseorang yang menggetarkan papan-papan dermaga. Membuatku menoleh ke arahnya. Terlihat sosok wanita paruh baya bertubuh kecil tengah melangkah dengan sedikit tergopoh-gopoh. Simbok, ya itu Simbok.

“Assalamu’alaikum,” ucapnya.

“Wa’alaikumussalam.”  

“Simbok!” seruku seraya mencium takzim punggung tangan ibuku dan mengambil alih tas yang dijinjingnya.

“Simbok apa kabar?” tanya Yati setelah ibuku itu duduk di ruang tamu.

“Kabarku baik. Kalian sendiri?”

“Kami baik kok, Mbok,” jawabku.

“Aku ke sini mau minta uang untuk biaya nikah adikmu, Hanif!”

Mendengar ucapan Simbok yang dengan seketika tanpa berbasa-basi, membuatku terkejut. Begitu pun Yati. Kami berdua saling bertemu pandang.

“Hanif mau menikah?” tanya Yati gamang.

“Iya. Dan kamu, Mam, kamu harus mencarikan biayanya!”

“Kenapa harus Mas Imam, Mbok?” tanya Yati sedikit keras.

Lihat selengkapnya