Imam
Keluarga … bagiku adalah segalanya. Sejak kecil, aku terbiasa hidup susah. Aku merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara. Dengan penuh perjuangan serta lika-liku kehidupan yang terjadi, aku hidup dalam himpitan ekonomi yang rendah. Makan sehari hanya sekali, bahkan tidak makan pun, Aku sering. Demi mengalah dari adik-adikku yang masih kecil. Ya, sebagai anak tertua, Aku memanglah harus banyak mengalah. Aku juga turut membantu orang tua menghidupi keenamnya. Ayahku yang sudah sepuh dan sakit-sakitan, tak mampu lagi bekerja keras. Ibuku yang seorang penjual jamu gendong, merasa tak sanggup jika harus menjadi tulang punggung satu-satunya dalam keluarga besar kami.
Pernikahanku terjadi di tahun 1977. Bersama seorang perempuan yang usianya empat tahun lebih muda dariku, kami mengarungi bahtera rumah tangga diusia yang terbilang masih cukup muda. Aku 21 tahun, dan Yati, istriku 17 tahun. Kami bertemu saat aku bekerja sebagai pemutar film bioskop keliling dari kampung ke kampung. Sosoknya yang sederhana, juga berasal dari keluarga yang sama sepertiku, dengan kondisi ekonomi yang rendah dan adik yang banyak, membuatku berpikir wanita inilah yang pasti mau mendampingiku dikala susah dan senang. Walau sebenarnya sebagai seorang lelaki, harapanku pastinya ingin membahagiakannya, bukan menikahinya untuk mengajaknya hidup susah. Selain daripada itu, mana ada anak orang kaya yang mau menerima lelaki miskin seperti diriku. Jikalau pun ada, belum tentu dirinya mau menerima kondisiku yang harus menafkahi keenam adik. Sementara Yati, dirinya begitu ikhlas menerimaku, dan juga menerima keluargaku.
“Mbok, kalo diijinkan … Aku sama Yati mau pergi merantau ke kota!”
Mendengar ucapanku, sepertinya Simbok begitu terkejut. Ya, Aku dan Yati memang memiliki sebuah rencana. Hidup di kampung yang masih sepi, sulit bagiku untuk menghasilkan uang yang lebih. Pekerjaanku sebagai tukang pemutar film hanya sebatas musiman. Jika banyak orang yang mengadakan hajatan, baru aku punya job. Jika tidak ada, maka aku akan menganggur.
“Memangnya, kamu mau kerja apa di kota?” tanya Simbok seraya mengisi botol-botol kosong dengan jamu racikannya.
“Kerja apa aja, Mbok. Yang penting Aku enggak menganggur kayak saat ini.”
“Terus, kalo kamu sama Yati pergi dari sini, siapa yang mau bantu-bantu Simbok mengurus Bapak dan adik-adikmu?” Simbok terus sibuk dengan jamunya. Sementara Yati turut membantunya.
“Kan ada Isti dan Siti Mbok! Mereka pasti bisa mengurus Bapak dan adik-adik!” jawabku.
Isti adalah adikku yang kedua. Usianya hanya terpaut 2 tahun dariku. Sementara Siti adikku yang ketiga. Usianya dibawah usia Isti 3 tahun. Keduanya masih belum menikah.
“Jangan-jangan … kalian mau pergi dari sini, karena udah enggak mau membantu Simbok lagi, ya? Atau kamu ya, Yat? Kamu pasti sudah merayu Imam untuk pergi dari sini!”
Kali ini ucapan Simbok sedikit keras. Dan seketika itupula Aku melihat perubahan ekspresi di wajah Yati. Wajahnya yang semula penuh ketenangan, kini matanya mulai berkaca-kaca. Ia tertunduk dan terdiam.
“Simbok jangan bilang gitu! Bukan Yati yang mengajakku pergi dari sini. Tapi ini pemikiranku sendiri!” tukasku dengan sedikit keras.
“Kalo memang Simbok enggak mengijinkan, Njenengan enggak usah memaksa, Mas!” ucap Yati lirih.