Pilar

Dwi Kurnialis
Chapter #2

DUA

Yati

Aku tahu, memiliki suami yang berasal dari keluarga besar terlebih bukan orang berada, pasti memiliki risiko. Begitu pun dengan rumah tanggaku. Aku bertemu dengan sosok laki-laki baik hati di sebuah acara hajat, di kampungku. Kala itu Mas Imam, suamiku, bekerja sebagai pemutar film keliling.

Sebelum menikah, Mas Imam terlebih dahulu menceritakan kondisi keluarganya. Bagaimana dirinya harus turut menafkahi keenam adiknya, lantaran Ayahnya telah sakit-sakitan dan tidak mampu lagi bekerja. Bagiku … itu bukanlah masalah besar. Toh … bukankah itu memang sudah menjadi kewajiban seorang anak untuk membantu kedua orang tuanya. Lagipula, kehidupan keluargaku pun tak jauh berbeda dari keluarganya.

Aku juga berasal dari keluarga yang tak mampu. Bahkan, bisa dibilang masih jauh lebih miskin daripada keluarga Mas Imam. Aku anak sulung dari sepuluh bersaudara. Adik-adikku masih banyak yang kecil. Ayahku pengangguran kelas berat. Mungkin itulah sebabnya, mengapa keluargaku dilanda kemiskinan.

Diriku meyakini, dengan menerima Mas Imam sebagai suami, maka setidaknya ada orang yang bisa menjadi pelindungku. Aku tak perlu menikmati lagi setiap kekerasan yang kuterima dari Ayahku yang galak.

Setelah menikah, Mas Imam mengajakku untuk tinggal bersama dengan keluarganya. Sehari-hari kegiatanku setelah menikah adalah membantu Simbok, Ibu mertuaku, mengurus Bapak serta adik-adik iparku. Aku ikhlas menerima keadaan ini. Sejak awal aku tahu, ini adalah risiko bagi seorang istri yang memiliki suami beradik banyak. Walaupun begitu, aku bersyukur sekali memiliki Mas Imam. Beliau selalu membantuku. Terkadang aku merasa iba kepadanya. Jika kebanyakan para suami pulang dari kerja akan berkumpul dan bersendagurau bersama istri dan anaknya, tapi tidak dengan Mas Imam. Dirinya masih harus membatuku mengurus Ayahnya yang terserang stroke. Memandikan, dan menyuapi makan untuk Ayah mertuaku.

Hingga suatu ketika, memasuki usia pernikahan kami yang kedua tahun, Mas Imam mulai kesulitan mencarikan nafkah untuk keluarga. Tak banyak job film yang diterimanya. Saat aku tengah memangku seraya menimang anakku di kamar, dengan memasang wajah sedikit murung Mas Imam datang menghampiriku.

“Ada apa, Mas? Keliatannya Njenengan lagi banyak pikiran, ya?”

Ya, aku tahu. Suamiku itu sedang banyak pikiran. Hanya saja ia jarang sekali mau berbagi kesedihannya denganku. Katanya, Aku tak boleh pusing. Jika itu terjadi padaku, kasihan Santi.

“Ah enggak kok, Yat. Aku Cuma lagi capek aja!”

Lagi-lagi dirinya berkilah menyembunyikan perasaannya yang tak karuan. Aku letakkan Santi yang sudah mulai pulas di atas ranjang.

“Aku ini istri, Mas. Aku berhak tahu semuanya!”

Kami sama-sama terdiam untuk sejenak. Aku tatap wajah suamiku yang seketika berubah ekspresi menjadi tersenyum.

“Udah … Aku enggak apa-apa, kok. Aku Cuma kecapek-an aja!” ucapnya seraya tersenyum. Namun, Aku tak percaya sedikitpun atas ucapannya itu.

“Udahlah, Mas. Aku tahu kok, kalo Njenengan itu lagi banyak pikiran. Ayo coba ceritain ke Aku! Siapa tahu aja Aku bisa bantu kamu!”

Mas Imam terdiam. Wajahnya tertunduk. Sementara Aku terus berusaha menyelidikinya.

“Mas … jangan Njenengan pendam sendiri!”

Lihat selengkapnya