Imam
Bandar Lampung, sebuah kota kecil yang menjadi pusat Ibu kota Propinsi Lampung. Kota yang mendapat julukan sebagai Kota Tapis Berseri inilah, yang menjadi tempat sandaran hidup kami selama tiga belas tahun lamanya. Sejak datang di kota ini, banyak hal yang aku lakukan demi mendapatkan uang untuk menafkahi istri dan anak-anakku, juga keluargaku di kampung.
Awal mula kami sampai di kota ini, kedatangan kami disambut dengan begitu hangat oleh salah seorang sahabat kecilku yang telah lama tinggal dan menetap di sini. Namanya Abdul. Beliau berasal dari kampung yang sama denganku, Sekampung, Lampung Timur. Namun, dirinya sudah sejak lama merantau di kota dan memperistri orang kota. Aku sengaja mencarinya dengan bermodalkan secarik kertas berisi alamatnya. Abdul dan istrinya begitu sangat baik. Selain mencarikan pekerjaan untukku, mereka juga mencarikan tempat tinggal untuk keluarga kecilku.
“Kamu ikut kerja sama Aku aja, Mam! Jadi kenekku.”
Segelas kopi yang disuguhkan oleh Halimah, istri Abdul lekas aku seruput. Rasanya begitu nikmat. Kopi bermerk Bola Dunia adalah kopi yang paling terkenal di Lampung.
“Kamu serius mau mengajakku kerja, Dul?” tanyaku sedikit kurang yakin.
“Ya iyalah, Mam. Mana mungkin Aku bohongi Kamu!”
“Iya, Mas Imam. Udah ikut aja sama Mas Abdul. Pendapatannya nanti bisa dibagi dua,” timpal Halimah yang sedang memangku Santi.
“Tapi …” Aku merasa tak enak hati kepada Halimah. Aku dan Yati saling melempar pandang.
“Tapi kenapa?” tanya Abdul.
“Kalau pendapatannya dibagi dua, apa itu enggak akan merugikan Kamu, Dul?”