Pilar

Dwi Kurnialis
Chapter #4

EMPAT

Yati

Hari itu, Aku dan Mas Imam pertama kalinya melangkahkan kaki di Ibu Kota Propinsi Lampung. Dengan bermodal kenekad-an dan restu dari Simbok yang Mas Imam dapatkan dengan berbelit, Mas Imam mengajakku mencari sebuah alamat yang ia bawa dalam secarik kertas kecil yang sudah usang berada di dompetnya.

Jln. Yos Sudarso, Gang ikan julung, Teluk betung selatan. Itulah alamat yang tertulis di dalamnya. Dengan menaiki angkot berwarna orange dari Kota Tanjung Karang, kami pergi ke daerah yang sama sekali belum kami kenal. Pukul 17.00 kami melangkah memasuki sebuah Gang yang ukuran lebarnya kisaran selebar jalan raya di kampung kami. Suasananya begitu ramai. Ada sebuah bukit yang menjulang tinggi berada di tepian jalan. Bukit itu terkenal dengan sebutan “Gunung Kunyit”. Yang menjadi pusat perhatianku adalah para wanita-wanita berpakaian seksi banyak sekali berlalu-lalang di Gang itu. Siapa wanita-wanita ini? Dan mengapa pakaian mereka seperti itu? Pertanyaan-pertanyaan itu memasuki pikiranku ketika berpapasan dengan mereka. Sebuah gedung tinggi berada di ujung Gang. Wanita-wanita berpakaian seksi itu ada yang masuk, dan ada pula yang keluar dari dalam gedung berkaca tebal.

Kami menyusuri jalan kecil yang ada di tepi gedung. Karena jalan itulah yang menjadi jalan masuk ke pemukiman penduduk. Semakin jauh kami melangkah, sayup terdengar deburan suara ombak. Aku tak pernah menyangka, jika kini Aku dan Mas Imam berada di tepi pantai. Setelah bertanya dengan penduduk sekitar, akhirnya kami sampai di sebuah rumah milik sahabat Mas Imam. Namanya Abdul.

Kesan pertama Aku bertemu Abdul, menurutku beliau orang yang sangat ramah. Begitu pun dengan istrinya, Halimah.

“Kenalin, ini Yati, istriku,” ucap Mas Imam ketika memperkenalkanku kepada sahabatnya.

Kami lekas saling berjabat tangan. Halimah menyuguhkan minuman hangat untuk Mas Imam dan Aku. Kemudian ia mengambil alih Santi dari pangkuanku. Ternyata mereka baru menikah beberapa bulan, dan belum juga diberi kehamilan. Perbincangan panjang terjadi di antara kami berempat. Mas Imam mengutarakan maksud kedatangannya ke kota. Dan … kami sama sekali tak menyangka, Abdul dengan ikhlas menawarkan pekerjaan kepada suamiku. Menjadi keneknya. Sungguh, ini adalah hal yang mencengangkan bagi kami. Mas Imam merasa tak enak hati kepada kedua orang yang berada di hadapan kami. Terlebih setelah Halimah mengatakan pendapatannya akan dibagi dua. Dirinya khawatir akan menyusahkan Abdul, nantinya. Tapi, lelaki berkumis tebal itu justru malah menertawakan ucapan Mas Imam. Menurutnya, Mas Imam adalah orang yang aneh. Banyak orang yang sulit mendapatkan pekerjaan, suamiku justru mau menolak tawaran pekerjaan darinya. Halimah pun meyakinkan kami, jika itu bukanlah masalah bagi dirinya. Bahkan, Halimah mengatakan kami jauh lebih banyak membutuhkan daripada mereka.

Malam itu juga, Mas Imam pergi bersama Abdul untuk menarik angkot. Entah ke mana mereka perginya, Aku tak tahu. Dan Aku pun tak banyak bertanya. Sementara diriku dan Santi ditinggal bersama dengan Halimah di rumah. Ku dudukkan Santi di lantai dapur, sementara Aku membantu Halimah mencuci perkakas dapur bekasnya memasak.

“Halimah … tadi pas di jalan, kok Aku liat banyak banget perempuan pake baju yang pendek-pendek gitu, sih?” tanyaku yang masih dihantui rasa penasaran.

Yang aku lihat, Halimah tersenyum. “Mereka perempuan bayaran,” jawabnya.

Lihat selengkapnya