Pilihan Cerita Hidupku

Geovania Loppies
Chapter #1

BAB 1

Keramaian Jakarta memang tidak ada habisnya. Berbagai jenis mobil, sepeda motor memadati setiap jalanan yang ada. Terutama saat pagi hari seperti ini. Suara klakson bisa terdengar dari segala arah. Untungnya hari ini cuaca cerah dan udara lagi baik untuk dihirup.

Aku menunggu datangnya abang ojek online di dekat stasiun kereta. Dengan jeli mencari plat nomor motor yang sesuai dengan di aplikasi diantara motor-motor lain yang juga menunggu penumpangnya naik.

 Aku lihat jam tangan di lengan kiriku, jarum jam menunjukkan pukul 08.30 WIB. Masih ada waktu 30 menit masuk kerja. Ini hari pertamaku. Kalau dilihat di peta online perjalanan dari stasiun ke kantor hanya butuh 15 menit. Tapi lebih cepat lebih baik. Jadi aku minta abang ojek untuk lebih cepat jalannya.

 “Rada cepat ya pak,” kataku sembari naik motornya.

“Iya kak,” jawab abang ojek siap mengantarku.

 Lagu Kita Bisa RAN feat Tulus menemani sepanjang jalan dari stasiun ke kantor. Berusaha membuatku semangat dan tenang meski jantung ini tetap berdetak dengan cepat seiring jalan dimaps memperlihatkan kantor semakin dekat.

 Hal baru selalu buat aku takut dan tegang. Padahal tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya saja memang tidak bisa dikontrol dari dalam. Maka aku yang harus mengontrol perasaan ini dari luar. Mengingatkan bahwa semua akan baik-baik saja dan berjalan dengan lancar.

 Ojek yang mengantarku berhenti di depan sebuah gedung tinggi. Terlihat banyak orang yang masuk dari gerbang tempatku turun. Dua orang seragam satpam menjaga sambil memeriksa barang-barang orang yang masuk.

 Aku turun dari motor, memberikan helm pada abang ojek dan mengucapkan terima kasih. Lalu perlahan berjalan ke arah gerbang dan masuk melalui pintu yang dijaga satpam.

 “Boleh dilihat tasnya bu,” kata salah satu satpam.

 Aku mengangguk dan membuka resleting tas ransel hitamku. Hanya dalam satu detik satpam itu mempersilahkan aku masuk.

 Aku pun mengikuti orang yang ada di depanku untuk masuk ke dalam lobby gedung. Saat di bagian receptionist, aku diberikan kartu akses masuk dengan gantinya KTP ku disimpan. Sebagai karyawan baru jadi belum mendapatkan akses dari kantor. Mungkin hari ini aku baru akan mendapatkannya.

 Aku pun berjalan ke arah lift, menempelkan kartu pada scan yang langsung menunjukkan nomor lift dan aku langsung berdiri di depan lift tersebut. Menunggu pintu lift yang lebih tinggi dariku. Kantor baruku berada di lantai 26.

 Terlihat banyak orang-orang dengan kemeja yang rapi, berdasi, pakai celana bahan, pakai rok. Rambutnya disisir dengan rapi. Berbagai aroma parfum juga tercium di dalam lift ini. Sepertinya hanya aku yang berpenampilan casual.

 Aku memakai celana jeans, kemeja putih lengan panjang yang aku gulung 3/4. Rambut panjangku diikat satu. Semua barang, laptop, buku, payung, botol minum, dan peralatan yang aku rasa butuh selama kerja semua aku bawa dalam tas yang udah aku pakai sejak kuliah.

 TING! Sampai di lantai 26.

 Dari koridor lift aku bisa melihat papan bertuliskan UPSTAR. Perusahaan agency yang sekaligus penerbit buku.

 Sejatinya, aku adalah seorang penulis yang buku-bukunya telah diterbitkan UPSTAR. Namun dengan ada banyaknya kejadian yang terjadi, aku ditawarkan untuk bergabung dalam perusahaan agency UPSTAR sebagai content writer.

 CEO UPSTAR, Sandi yang bisa dibilang sangat dekat denganku dengan mudahnya mengajak aku bergabung dan memintaku bekerja di perusahannya.

 “Gw yakin lu cocok kok Le sama kerjaan ini. Pasti lu betah dan jadi pengalaman juga buat nambah tulisan,” katanya saat itu merayuku.

 Dan tanpa bisa membantah, aku pun mengiyakan tawarannya. Meski begitu, aku yakin akan sangat berbeda sekali seorang penulis harus bekerja di kantor sebagai content writer. Apalagi orang-orang yang selama ini bekerja di penerbit tidak semuanya ada di agency. Sehingga aku tidak begitu banyak orang-orang di kantor ini.

 “Pagi mba Leo,” sapa Lisa, receptionist yang selama ini juga sering aku lihat setiap datang kesini.

 Aku tersenyum dan balik menyapanya.

 “Pak Sandi sudah menunggu di kantornya ya mba.”

“Oke, terima kasih.”

 Aku pun langsung menuju ke bagian yang sudah sering aku datangi. Kantor ini memang termasuk kantor baru. Sandi baru memindahkan kantornya yang dulu di ruko di kawasan Jakarta Barat, menjadi tenant di sebuah gedung tinggi di Jakarta Selatan.

 Beberapa waktu lalu UPSTAR merayakan hari jadinya yang ke-10 dengan pindah ke kantor baru ini. Kantornya terbagi menjadi dua bagian di lantai 26 untuk penerbit dengan interior minimalist penuh buku-buku dan quotes-quotes. Sedangkan untuk bagian agency di lantai 27. Aku belum pernah ke sana meski sudah bekerjasama selama dua tahun.

 Aku berjalan menyusuri koridor dan mendapati ruangan paling pojok dengan tulisan CEO ROOM. Aku mengetuk pintu dan membukanya.

 Tidak berbeda dengan suasana di luar, ruangan ini juga berkonsep minimalis putih hitam dan abu-abu. Dengan sentuhan aksesori berwarna oranye dan kuning. Di balik meja yang penuh dengan kertas, komputer yang menyala, ada sosok cowok gagah usia 30an dengan rambut undercut yang fashionable.

 “Masih pagi udah sibuk aja,” sapaku sambil menutup pintu.

 Cowok tersebut yang dari tadi sibuk dengan kertas-kertas di tangannya mendongak dan tersenyum melihatku. Dia langsung berhenti dari apa yang dikerjakannya. Menaruh kertas dan pulpen di meja dan berdiri. Menyampiriku, mengulurkan tangan untuk berjabat, dan memelukku sekilas. Aku pun membalas pelukannya.

 “How are you Le?” kata Sandi. Parfumenya yang kuat membuatku mengerut. Aku tidak terlalu suka bau parfume.

 “Nervous,” Sandi terkekeh sambil menyilahkan ku duduk di kursi yang kosong. Sementara dia menuju sebuah meja dan sibuk melakukan sesuatu membelakangiku.

 “Ngapain sih pake nervous segala. Santai aja lagi. Gak berat kok kerja sama gw.”

“Gak percaya gw. Orang kalau gw nulis ada aja cara lu ngepush gw, apalagi klo gw kerja jadi bawahan lu langsung.”

“Yah kan hari ini juga baru, gak akan langsung gw push lu juga Le, tenang aja. Tapi gak tahu ya anak-anak. Mereka ngerasa kayak ini nepotisme gitu.”

 Aku yang mendengarnya kaget. Takut.

 “Serius lu? Aduh serem deh. Di bully lagi nanti gw.”

 Sandi tertawa. Kemudian akhirnya dia berbalik dan memegang dua gelas. Satunya teh di taruh di depan ku. Satunya dia minum.

 “Sudah minum dulu aja. Green tea buat lu jadi tenang.”

“Gw sih excited banget Le lu kerja disini. Kayak waktu gw bilang di awal, lu pasti cocok kerja disini, atleast bisa jadi tambahan wawasan lu buat nulis, jadi pengalaman lah.”

“Jangan bilang lu minta gw tulis temanya gak jauh tentang ini deh ya.”

 Sandi terkekeh lagi.

Emang ini cowok otaknya bisnis mulu. Gak ada deh yang bisa ngalahin.

 “Ya kalau emang bisa dibuat buku kenapa engga. Coba aja dulu. Lu journaling aja kayak biasa. Nanti juga lu yang tiba-tiba punya ide sendiri buat nulis. Gw tahu lu Le.”

 Aku pun hanya bisa diam. Aku juga tahu pasti dengan bekerja disini akan ada banyak hal yang bisa aku pelajari, nambah pengalaman. Bahkan sebelum Sandi bilang, aku udah menyiapkan notes baru untuk aku tuliskan segala yang aku alami. Tapi tidak akan aku kasih tahu Sandi. Dia pasti akan semakin mendorong aku melakukannya.

 Setelah teh aku sudah habis. Sandi langsung mengajak aku untuk ikut dia ke lantai 27 dan bertemu dengan tim agency.

Lihat selengkapnya