Rumor tentang anak agency tuh bukan sekedar rumor biasa ya. Tapi memang hidup kita benar-benar untuk kerja. Baru kali ini aku merasakan lelah yang luar biasa. Tapi tidak tahu darimana kekuatan dan tenaga ini berasal untuk tetap bisa mengerjakan hal sebanyak ini. Padahal aku kerja gak sendirian tapi rasanya tetap seperti kerja sendirian.
Dua hari lagi acara pertama yang aku ikuti di perusahaan ini. Gathering sebuah perusahaan bank paling terkenal di Indonesia. Aku pun menggunakan bank ini buat tabungan ataupun kartu kredit. Untungnya bukan acara untuk seluruh karyawan, hanya salah satu tim internal. Tetapi pesertanya hingga 150 orang.
Sebagai salah satu bagian acara aku dan sejumlah tim sudah harus stand by di venue acara semalam sebelum. Tempatnya salah satu villa besar yang memang seringkali dipakai buat acara training atau gathering di kawasan Bogor. Meski terlihat tua gedungnya, tapi dari kamar hingga aula masih sangat bagus dan nyaman.
Ada banyak hal yang masih perlu disiapkan sebelum besok siang kami berangkat. Desain-desain yang dibuat oleh tim Angga belum semuanya dicetak. Dari kemarin client selalu ada aja revisinya.
“Ampe eneg eneg ini gw revisi. Awas aja kalau sampe yang awal yang dicetak,” kata Billy anak desain. Dari tadi anak desain yang paling emosi, karena revisi, cetak gak jalan-jalan.
“Tahu, gak ngerti gw salahnya dimana, tapi minta revisi. Ini gw aja cuma tinggal bikin tiga versi bedanya cuma warna doang,” lanjut Vina. Kami terkekeh.
Emang udah gak aneh lagi kalau client selalu minta revisi tapi nggak ada penjelasan yang benar mana yang harus direvisi.
“Gw udah minta Jordi pastiin malam ini udah gak ada revisi-revisi lagi karena mau naik cetak. Jadi harusnya ini terakhir gaes,” Angga dengan tegas menjawab dari tempat duduknya yang diujung.
“Siap bang,” saut Vina dan Billy berbarengan.
Suasana di kantor mulai diam kembali. Hanya terdengar lagu yang keluar dari speaker komputernya Billy yang sudah dari kemarin dinyalakan. Iya baik anak desain maupun editor belum pada pulang dari kemarin. Seharusnya malam ini mereka pulang buat packing lalu berangkat besok sore ke venue. Tapi malam ini sudah jam 11 gak ada satu anak kantor yang bisa pulang.
“Besok bukannya kita perlu ke venue ya, buruan gaes balik,” teriak VIna sambil berdiri menenteng tas ranselnya, mendorong kursi masuk ke dalam meja, lalu balik arah melihat kami. Aku melambaikan tangan lunglai.
“Besok jaga kandang ya, jangan lu bakar ni kantor. Meski gw udah muak banget sama kerja, tapi gw tetep butuh kerjaan,” saut Billy. Kita tertawa lagi.
“Lah besok gw dateng ke kantor juga masih ada lu pada, yakin gw.”
“Jangan gitu dong, doain biar cepet pulang. Kangen kasur nih gw,” kali ini Tomo yang ngomong.
Aku, Debby dan Tomo masih berkutat dengan rundown dan sejumlah speech dan presentasi pengisi acara.
“Yaelah Mo, lu kagak nginep juga. Lihat noh mukanya sih Akbar sama Bagas kagak pulang tiga hari, mandi juga kagak, makanya tempatnya bau melati, disemprot sama Mas Anto.”
“Gak apa-apa, gw juga butuh doa buat pulang, kasihan anak-anak gw di rumah,” kata Akbar.
“Sejak kapan lu punya anak njir?” tanya Billy.
“Guling sama bantal, udah lama gak tidur bareng mereka, kan kasihan,” seru Akbar.
Kami tertawa lagi.
Vina lalu berpamitan dan pulang.
Tiba-tiba suara getaran terdengar dari ponselku. Nama Jordi muncul di layar. Aku menghela nafas. Ada apa nih orang jam segini nelepon. Gak enak banget rasanya.
Aku ambil ponselku dan ku pencet tombol hijau yang muncul.
“Halo,” kataku dengan suara datar.
“Le, gw butuh lu disini sekarang. Anak-anak ditinggal aja mereka bisa siapin semuanya sendiri,” ujar Jordi langsung. Aku yang mendengar itu bingung. Kikuk.
“Hah? Gimana? Kenapa emangnya?”
“Udah kesini dulu aja segera. Nanti gw jelasin pas lu sampe,” katanya yang langsung menutup panggilan dari seberang sana.
Aku gelagapan, buru-buru untuk bersiap berangkat.
“Kenapa kak? Bang Jordi minta apa?” tanya Vina.
“Dia minta aku venue sekarang. Gak tahu bua tapa. Tapi dari nadanya sih urgent gitu.”
“Oh iya? Tumben banget bang Jordi minta orang lain buat lihatin venue, biasanya dia yang harus lihat sendiri sampai semuanya selesai,” sahut Angga.
“Mungkin biar kak Leo bisa belajar langsung kali kan berdua partner. Kasihan juga bang Jordi sendiri mulu selama ini,” kali ini Debby yang menambahkan, yang lainnya ikut mengangguk mengiyakan.
Dalam sekejap aku kini sudah di mobil menuju salah satu hotel bintang lima di kawasan Senayan. Karena sudah larut malam, jalanan Jakarta yang biasanya macet kini begitu lengang. Aku berusaha untuk cepat namun tetap berhati-hati. Dalam kurang dari 30 menit aku sudah sampai di venue.
Setelah memarkirkan mobil di basement, aku naik lift menuju ballroom yang ada di lantai 3. Ballroom akan menjadi venue utama acara gathering ini. Mereka memilih untuk staycation di Jakarta dibandingkan harus pergi ke Puncak atau Sentul, karena kebanyakan pesertanya adalah tingkatan petinggi perusahaan yang bisa tiba-tiba punya urusan penting tak bisa ditinggal.
Berbeda dengan situasi di jalan yang sepi, ballroom hotel ini ramai dengan banyak orang yang bekerja. Dari lift terbuka aku sudah melihat sejumlah orang yang sedang merakit beberapa foyer di bagian depan hall. Ini akan jadi tempat registrasi para peserta yang datang. Bagian depan ini dihiasi dengan dua photobooth buat para peserta bisa foto-foto selama tiga hari dua malam. Rasanya aneh melihat apa yang selama ini cuma ada di layar laptop, tapi tiba-tiba terwujudkan. Ternyata ukurannya besar juga.
Aku menuju ke dalam main hall mencari Jordi. Kita menggunakan empat hall sekaligus sehingga ruangan ini begitu besar. Namun tidak kalah dengan panggung dan LED berukuran besar di bagian depannya. Aku mengangguk-angguk terpesona. Benar-benar aneh rasanya. Ternyata seperti ini rasanya melihat apa yang kita kerjakan itu secara nyata menunjukkan aslinya.
Di tengah-tengah banyak orang yang sedang merakit panggung, ada salah satu orang yang aku kenali meski hanya melihat punggungnya. Dia sedang bicara dengan dua tiga orang lainnya. Tangannya menunjuk-nunjuk panggung yang sedang dibangun. Aku mendekatinya pelan-pelan.
“Jordi.”
Orang yang aku panggil menengok. Dia melihatku, lalu mengangguk, menandakan untuk aku menunggu. Kemudian melanjutkan percakapannya dengan dua orang di depannya.
“Coba lu buat yang gw minta tadi ya. Kayak biasa aja, gak ribet kan?” kata Jordi. Dua orang di depannya tertawa namun menyanggupi permintaannya. Kemudian mereka pergi meninggalkan aku dan Jordi.
“Di kantor gimana? Aman?” tanya Jordi. Namun dia tidak melihat aku. Matanya masih tertuju pada panggung di depannya.
“Iya aman,” jawabku seadanya.
“Sebenernya gw mau kenalin lu sama pak Basuki, dia partner kita buat hal-hal kayak gini. Menurut gw lu juga perlu kenal dia sih. Cuma mungkin nanti kalau ini semua sudah selesai.”
Aku mengangguk dalam diam.
“Tapi gw udah bilang sih ke pak Basuki kalau ada apa-apa bisa hubungi lu juga selain gw. Gw udah kasih nomor lu juga.”
Aku masih diam di sebelahnya. Sempat melirik wajah cowok di sebelah aku ini. Aneh, tadi suruh aku pergi ke sini segera dengan nada yang kayaknya penting banget. Tapi sampai disini kayak semuanya aman terkendali.
Kemudian tak lama, petugas hotel, terlihat dari pakaiannya, menyampiri kita berdua.
“Halo pak Jordi. Katanya panggil saya?” tanya orang itu.
“Oh iya pak Agus. Maaf ya malam-malam masih ganggu.”
“Tidak apa-apa pak, saya masih jaga dan siapin semuanya juga buat besok.”
“Saya mau kenalin pak Agus sama tim saya. Ini Leoni.”
Aku yang tiba-tiba diperkenalkan langsung mengulurkan tangan dan menjabat tangan pak Agus.
“Pak Agus bisa langsung kalau ada apa-apa nanti hubungi Leoni aja ya.”
“Oh ini bu Leoni. Salam kenal bu,” aku tersenyum.
Aku dan pak Agus sudah saling komunikasi lewat chat dan telepon dalam seminggu terakhir ini. Pak Agus terbilang cekatan dan sangat terasa sekali berpengalaman. Dia sangat membantu aku dalam melakukan tugasku yang sangat baru aku pelajari. Bahkan dia lebih tahu apa yang aku butuhkan daripada aku sendiri.
“Iya pak, akhirnya ketemu, selama ini cuma dichat dan telepon aja ya.”