“Sebentar lagi performance dari RAN akan segera dimulai, para peserta bisa kembali ke main hall!” suara MC terdengar mengingatkan peserta untuk masuk ke dalam hall.
Aku dan Sandi masih berada di bangku gazebo dekat kolam renang hotel. Aku merasa pengumuman MC untuk kembali ke hall adalah peluang baik buat aku untuk bisa keluar dari situasi canggung ini. Walaupun Sandi bilang bahwa hubungan kita berdua akan baik-baik saja, tapi aku kini merasa aneh dan ingin segera pergi. Dan sepertinya Sandi menyadari kecanggunganku dan meminta aku pergi lebih dulu. Awalnya aku merasa tidak enak, kenapa kita tidak pergi ke dalam bareng-bareng saja. Tapi memang sepertinya lebih baik aku yang pergi duluan. Mungkin Sandi juga merasa canggung.
Berusaha untuk terlihat baik-baik saja, aku pun pergi meninggalkan Sandi sendirian dalam kegelapan di gazebo tersebut. Aku berlari kecil ke dalam hotel menuju hall. Aku pikir semoga dengan melihat dan mendengar lagu-lagu RAN perasaanku kembali normal dan situasinya akan lebih baik. Tapi saat ingin membuka pintu hall, tanganku ditarik seseorang. Jordi. Dia menarik tanganku, aku yang gelagapan, akhirnya berusaha mengikuti langkah Jordi yang membawa aku pergi dari hall. Tangan Jordi dengan keras memegang pergelangan tanganku. Meski aku berusaha melepaskan tangannya dan bertanya ada apa, tapi Jordi tidak menjawab. Wajahnya begitu serius. Ekspresinya sama seperti kemarin malam saat marah-marah dan evaluasi. Aku pun tak berkata apa-apa setelah itu.
Kami berhenti di dekat toko baju di dalam hotel yang sudah tutup. Jordi berbalik menghadapku. Ekspresinya tidak berubah. Matanya tajam menatapku. Aku bingung kenapa cowok ini selalu seperti ini. Padahal ku kira dia sudah lebih baik, mengingat tadi siang, dia mengajak aku berbicara di FOH. Apa mungkin Jordi punya dua kepribadian, saat pagi-siang yang muncul kepribadian yang baik dan ramah. Tapi saat malam kepribadian yang galak dan pemarahnya muncul. Lihat saja meski sudah bawa aku ke sini, sudah menatapku tajam seperti itu, dia tetap tidak bicara apapun. Buat aku semakin takut dan deg-degan. Tapi aku tahu kali ini aku gak melakukan kesalahan apapun. Bahkan mala mini aku tidak ada tugas apapun, jadi meski aku telat datang ke hall, tidak ada alasan buat dia marah sama aku hari ini. Terus kenapa dia begitu terlihat kesal.
“Ada apa sih, sampe tarik-tarik gw kayak gini. Sakit tahu. Kalau mau ngomong kan bisa ajak bicara baik-baik. Kasar banget sih,” kataku mengeluh sambil memegang pergelangan tanganku yang kesakitan. Ini benar-benar sakit, bahkan sedikit memerah.
Aku melotot ke arah Jordi. Namun ternyata ekspresi Jordi tiba-tiba berubah. Khawatir. Merasa bersalah. Ekspresinya buat aku bingung. Meski begitu, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Maunya apa sih nih cowok, aneh banget.
“Kalau emang gak ada yang mau diomongin, gw pergi!” ujarku dan mencoba kembali ke hall. Tapi kemudian Jordi kembali memegang tanganku, kini tidak begitu kuat seperti sebelumnya. Aku pun tak jadi pergi dan menghadapnya.
“Sorry,” kata Jordi seraya melepaskan genggamannya. Aku diam menatapnya menunggu penjelasan. Ekspresinya tidak lagi galak, namun lebih ke bingung. Aku berusaha untuk tidak tertawa karena ekspresinya itu.
“Gw mau ngomong sama lu Le,” katanya pelan.
“Tapi gak tahu mau mulai dari mana.”
Pernyataannya itu bikin aku deg-degan. Tidak tahu kenapa. Jangan-jangan…
“Gw mau minta maaf sama sikap gw kemarin malam. Yang tiba-tiba teriak atau nada tinggi sama lu. Jujur, gw juga gak ngerti kenapa gw bisa kayak gitu. Anak-anak sampai nanya kenapa gw kayak gitu ke lu, Sandi juga negur gw dan suruh gw minta maaf ke lu,” jelas Jordi. Dia sama sekali gak melihat aku saat ngomong hal itu.
“Jadi lu minta maaf karena disuruh sama Sandi?” tanyaku meledek. Dia kaget dan menatapku.
“Engga engga, gw udah mau minta maaf ke lu dari pas evaluasi, tapi karena gak tahu harus gimana ngomongnya dan gak enak juga sama lu, jadi baru sekarang ngomongnya. Sorry ya. Trus tadi pas RAN latihan juga sebenernya gw mau ngomongin hal ini, tapi lu malah cuekin gw.”
“Siapa yang nyuekin, lu ya yang gw panggil-panggil malah bengong. Pas gw nanya apa lu bisa bantuin persiapan buat media gathering, lu malah diemin gw, gak tahu deh tadi lu mikirin apa sampe bengong gitu.”
“Oh itu, iya-iya sudah pasti gw bakal bantu kok. Dan gw mau jawab itu tapi lu langsung balik muka dan sibuk ngobrol sama Sandi,” Jordi mengatakan itu dengan ekspresi kesal, buat aku tak lagi bisa menahan ketawa.
Baru pertama kali aku melihat ekspresi Jordi seperti ini, biasanya selalu dingin dan galak. Tapi ternyata dia bisa kasih muka lucu kayak gitu juga. Orang yang dimaksud malah bingung melihat aku tertawa. Aku kira hari ini akan berakhir dengan rasa canggung, tapi ternyata berubah jadi malam paling menyenangkan. Setelah Jordi minta maaf, kita kembali ke dalam hall. Menonton dan bernyanyi lagu-lagu kesukaanku, malam ini semakin menyenangkan. Jadi salah satu momen yang mungkin tidak akan bisa aku lupakan.
Acara gathering ini akhirnya selesai. Setelah makan siang, para peserta, para direksi dan client pulang lebih dulu. Tim UPSTAR, sempat melakukan evaluasi secara internal dan dengan tim hotel. Meski ada beberapa kesalahan kecil, tapi lebih banyak hal-hal yang bisa diapresiasi. Secara keseluruhan, acara ini berhasil. Aku pun turut bangga. Ini jadi acara pertama yang aku ikuti. Aku jadi tahu rasa lelahnya, tegangnya, senangnya, semuanya jadi satu. Bahkan aku juga jadi belajar mengapresiasi setiap bagian dari sebuah acara, karena setiap hal kecil pun adalah jerih payah kita yang sudah memikirkan dan menjadikan itu semua nyata.
Sebelum pulang, sempat bertemu lagi dengan pak Basuki yang harus membongkar panggung. Aku mengucapkan terima kasih dan tidak sabar bertemu beliau di acara selanjutnya. Sekitar jam 15.00 WIB, tim UPSTAR sudah bisa balik. Namun Sandi mengajak kita untuk makan malam bersama di restoran dekat kantor.
“Yaudah, kalian bisa pergi ngapain dulu gitu, pacaran dulu atau apa, nanti jam 7 kumpul ya,” kata Sandi saat memberi pengumuman.
Ternyata banyak anak-anak yang punya janji. Tapi karena diundur ngumpulnya malam, dan diizinkan untuk membawa teman, maka mereka pun langsung mengiyakan. Aku pun juga harus pergi beribadah lebih dulu sebelum pergi ke tempat makan malam. Biasanya aku akan mengajak Sandi untuk pergi bersama, namun karena masih ada rasa canggung, akhirnya aku coba untuk pergi sendiri.
Saat aku mau turun ke tempat parkir, Jordi ikut naik lift yang sama. Di dalam lift Jordi bertanya apa yang aku lakukan sebelum pergi ke tempat makan malam. Aku pun mengajaknya untuk pergi ibadah bersama, karena aku tahu kalau Jordi juga pergi ke tempat ibadah yang sama dengan Sandi. Tanpa aku duga, Jordi mengiyakan ajakanku. Akhirnya kita berdua pergi ke tempat ibadah dengan mobil masing-masing.
Sampai di tempat ibadah itu, kami parkir sebelahan karena sampai bersamaan. Kemudian masuk ke dalam gedungnya sama-sama dan duduk bersebelahan. Selama 1,5 jam beribadah, kita berdua tidak banyak bicara satu sama lain. Fokus menyembah dan mendengar kotbah, kemudian tak terasa ibadah selesai. Meski begitu, pergi ibadah dengan Jordi jadi hal yang menarik perhatianku. Melihat dia dalam situasi ini adalah hal yang baru, bahkan mungkin aku jadi orang pertama yang lihat diantara anak-anak di kantor. Aku gak tahu kalau Jordi ada sisi yang seperti ini. Kemudian kami pun pergi ke tempat makan dengan mobil masing-masing lagi.
Untuk ke tempat makan yang sudah direservasi Sandi, kita harus melewati kantor. Namun sebelum sampai kantor, mobil ku tiba-tiba berhenti. Aku berusaha meminggirkannya sebelum berhenti di tengah jalan. Mobil Jordi yang mengikuti dibelakang ku pun ikut berhenti. Aku pun meneleponnya, memberi tahu kalau mobilku berhenti tiba-tiba dan aku gak tahu kenapa. Jordi turun dari mobilnya dan menyampiriku. Dia membantuku mengecek mesin, berusaha coba menyalakannya lagi, namun gagal. Aku pun langsung coba menghubungi bengkel tempat biasa aku service untuk mereka datang melihat. Karena tempat bengkelnya tidak terlalu jauh, dalam 20 menit mereka sudah datang dan akhirnya menderek mobilku untuk di-service.
Alhasil, aku mengambil barang-barang di mobil dan memindahkannya ke mobil Jordi. Kemudian pergi ke tempat makan bersama dia. Meski telat 20 menit dari waktu janjian, tapi ternyata yang datang baru Sandi, Tomo, dan Vina. Mereka bingung melihat aku dan Jordi datang bersamaan.
“Loh Kak Leo kok bisa bareng Bang Odi?” tanya Vina.
“Iya tadi mobil aku mogok di jalan, trus dibantuin Jordi. Jadi aku dateng ke sini bareng dia,” jawabku.
“Oh iya, trus gimana mobilnya, kenapa bisa mogok?” tanya Tomo.
“Gak tahu, katanya akinya bermasalah, jadi tadi diderek ke bengkel.”
“Untung banget bisa pas-pasan bang Odi lewat ya, kalau engga ribet banget kak Leo ngurusin sendiri,” ujar Vina. Aku hanya tersenyum.
“Ayo kak, bang langsung makan aja nih, Bang Sandi udah pesenin,” tutur Tomo.
Tak lama kemudian, Akbar dan Bagus datang bersamaan. Mereka memilih untuk balik ke kostan mereka buat beberes. Setelah itu Angga bersama pacarnya yang baru dia kenalkan datang. Dan terakhir Debby dan Billy datang bersamaan. Malam itu aku baru menyadari bahwa ternyata Debby dan Billy pacaran sudah hampir setahun.
“Wah, kak Leo ternyata orangnya gak peka nih, masa gak ngeh kalau Debby sama Billy pacaran. Orang dateng sama pulangnya selalu bareng di kantor,” ujar Tomo.
“Hati-hati kak, nanti gak peka juga loh kalau ada cowok yang deketin,” ledek Debby.
Makan malam bersama begitu menyenangkan. Semua orang pada cerita dan tertawa. Makanan yang dipesan banyak oleh Sandi ternyata dengan cepat habis, bahkan beberapa minta tambah.
“Mumpung gratis kan lumayan, buat kita para anak kost,” tutur Tomo.
Setelah tiga jam, akhirnya kita memilih buat pulang. Tepatnya karena restorannya juga sudah mau tutup, makanya kita harus pulang, mungkin kalau masih buka anak-anak akan masih pesen makanan sampai larut malam.
Tahu kalau mobil aku di bengkel, Sandi menawariku untuk pulang bareng sama dia. Sebenarnya, setelah makan malam tadi, kecanggunganku sama dia mulai mengurang. Tapi kemudian rasa itu kembali lagi, aku merasa gak enak sama Sandi. Jadi aku memilih untuk pulang sama Jordi dengan alasan ribet untuk pindahin barang dari mobil Jordi ke mobil Sandi. Untungnya, Jordi dengan rela untuk mengantarkanku pulang sampai rumah. Meski tetap saja, dalam perjalanan pulang, dia sama sekali tidak bicara apapun. Buat aku jadi kikuk sendiri. Sampai di rumahku, Jordi ikut turun dari mobil dan bantuin aku bawa barang-barangku masuk ke dalam rumah. Karena merasa gak enak seharian sudah dibantuin dan ditemenin aku pun mengucapkan terima kasih.
“Thank you ya sudah mau direpotin seharian ini,” kataku.
Jordi gak jawab. Dia menaruh barang-barangku di dekat pintu, kemudian berjalan keluar. Aku yang gak enak ikut menyusul mengantar dia. Tapi sebelum dia masuk mobil, dia berbalik dan melihat ke arahku yang mencoba buat menutup pagar.
“Besok gw jemput jam 7,” katanya. Aku kaget. Dia mau jemput aku juga besok pagi. Tanpa aku jawab apapun, Jordi naik ke mobil, kemudian pergi. Aku masih diam berdiri memegang pintu pagar rumahku.
Ku kira kata-katanya Jordi semalam cuma basa-basi. Tapi ternyata dari jam 06.50 WIB, mobil Jordi sudah di depan rumahku lagi. Apa coba maksudnya melakukan hal kayak gini. Kalau misalkan aku salah paham sama tingkahnya gimana coba. Meski perasaanku mulai tidak karuan karena act of service Jordi dari kemarin, aku berusaha untuk tidak menunjukkan hal itu. Bahaya kalau ternyata itu semua tidak ada arti apa-apa buat Jordi dan aku yang salah mengartikan. Namun sebagai bentuk terima kasih, aku bawakan dia roti untuk sarapan. Awalnya aku kira dia akan menolak, tapi ternyata dia dengan senang hati melahap habis roti itu sebelum kita berangkat. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya.
Berbeda dengan perjalanan pulang semalam, pagi ini Jordi banyak bicara. Dia menanyakan persiapan acara media gathering yang aku kerjakan. Dia menanyakan hal apa yang bisa dia bantu. Selama di jalan, aku dan Jordi mendiskusikan banyak hal tentang pekerjaan. Aku bertanya banyak hal dan Jordi menjawab semua pertanyaanku dengan detail. Aku sampai terkesima. Cowok yang sama saat pertama kali aku masuk dan menanyakan job desk ku, namun dia malah suruh aku diam dan hanya mengirimkan email. Sekarang duduk di sebelah aku, menjemput aku di rumah, dan dengan nada yang ramah menjawab semua pertanyaanku. Kemana cowok yang dingin dan galak itu?
Sesuai dengan janjinya, Jordi benar-benar membantu aku dalam persiapan acara media gathering, terutama untuk acara awarding. Tomo dan Debby sama sekali tidak memegang acara itu, sehingga aku butuh bantuan Jordi langsung untuk mengatur semuanya. Tanpa aku sadari dalam dua hari persiapan media gathering, aku lebih banyak ngobrol dengan Jordi dibandingkan dengan Sandi. Toh dalam dua hari, Sandi juga jarang datang ke kantor UPSTAR, dia lagi sibuk mengurusi beberapa penulis yang akan menerbitkan buku baru. Tapi itu tidak menjadi alasan di mata anak-anak. Mereka menyadari kedekatan aku dengan Jordi. Meski kedekatan ini bukan sesuatu yang spesial seperti yang mereka pikirkan.
“Kak Leo akhir-akhir ini lebih sering ngobrol dan makan siang sama Bang Odi nih tumben, biasanya sama Bang Sandi,” kata Debby.
“Ya karena ngurusin media gathering, jadi butuh bantuan Jordi dong,” jawabku sekenanya. Aku berusaha tidak menunjukkan perasaanku sebenarnya.
“Emang bang Sandi kemana sih, lagi sibuk banget ya di yang penerbit itu?” tanya Tomo.
“Kayaknya gitu, setahuku ada beberapa buku yang mau terbit.”
“Kak Leo gak buat buku baru?” tanya Debby.
“Gimana mau buat buku baru, orang sibuk gini kerja, gimana sih lu Deb.”
“Bisa aja kan pas pulang kerja kak Leo ada nulis.”
“Emang segampang itu apa nulis cerita. Meski udah pro, butuh waktu dan konsentrasi juga kali. Kalau pulang kerja nulis lagi pasti capek banget, gw sih ogah nulis abis kerja.”
“Ya itu kan lu, jangan samain dong, beda otak juga,” aku tertawa dengar percakapan mereka berdua.
“Aku lagi bangun konsepnya sih, tapi masih belum oke, karena emang gak ada waktu dan energi buat ngerjainnya. Jadi kalian berdua bener,” ujarku melerai percakapan mereka.
“Wih kalau udah tahu mau nulis apa info ya kak, aku gak sabar deh,” seru Debby.
“Trus gimana jadinya kak kamu sama bang Odi?” tanya Tomo.
“Gimana apanya? Gak gimana-gimana kok.”
“Bohong! Pasti ada sesuatu diantara kalian kan, satu kantor juga ngeh tahu. Sama banget kayak waktu Billy sama Debby pdkt. Kita aja yang pura-pura gak tahu biar mereka gak malu.” Debby menggetok kepala Tomo dengan pulpen.
“Emang segitu ketahuannya mereka berdua,” tanyaku.
“Iyalah, apalagi nih orang, cengar cengir mulu, ngelihatin Billy, ngintilin Billy kemana-mana, gimana gak mau ketahuan.”
“Ya gimana Namanya jatuh cinta, mana bisa ditahan sih yang kayak gitu. Makanya aku amaze banget sama orang-orang yang bisa nutupin perasaannya. Karena aku bukan tipe orang yang kayak gitu,” jelas Debby.
“Kalau kak Leo tipe yang kayak gimana?”
“Wah aku juga kurang tahu ya tipe kayak gimana. Kayaknya yang simpen sendiri deh,” tuturku.
“Sama dong kayak bang Odi yang kalau suka sama cewek disimpen sendiri. Kalau kalian simpen sendiri diem-dieman gitu gimana caranya bisa saling tahu kalau saling suka. Makanya kita disini mau bantuin nih, gimana?” kata Tomo semangat. Aku dan Debby tertawa.
“Iya kak, aku setuju. Kita dukung kak Leo sama bang Odi kok. Kita udah bilang ke bang Odi pas di hotel kemarin, kalau mau deketin kak Leo kita dukung 100 persen,” tambah Debby.
“Tapi gimana caranya kamu tahu kalau Jordi suka sama cewek, dia kan simpen sendiri. Emang pernah dia suka trus ketahuan?” tanyaku penasaran sama pernyataan Tomo.
“Oh itu, bang Odi emang gak banyak ngomong, tapi bagi orang-orang yang sudah tahu bang Odi kayak apa, kelihatan banget kok kalau dia suka sama cewek, semuanya kelihatan dari sikapnya, tingkahnya, semuanya berfokus ke cewek itu.”