Pilihan Cerita Hidupku

Geovania Loppies
Chapter #6

Bab 6

Jordi datang ke rumahku sekitar jam 10 pagi. Saat aku keluar kamar, dia sedang ngobrol dengan orang tua ku yang memang biasanya duduk di ruang keluarga saat pagi hari. Mama yang ibu rumah tangga, memang jarang untuk keluar rumah di hari Senin. Sementara papa, mungkin pagi ini belum ada keperluan untuk datang ke kantornya. Saat aku menghampiri mereka di ruang keluarga, mama dan papa dengan pekanya meninggalkan aku berdua dengan Jordi. Hari ini dan besok UPSTAR libur sebagai pengganti akhir pekan kemarin yang diisi dengan acara.

Aku duduk bersebrangan dengan Jordi. Sepertinya sudah lama sekali melihat dia seperti ini. Bertatap muka dengan Jordi seperti ini. Selama empat hari kemarin aku hanya melihat dia dari jauh, hanya bisa melihat satu sisinya dari belakang. Jordi tetap terlihat tampan hari ini. Gaya berpakainnya hari ini casual seperti biasanya. Tshirt lengan panjang polos berwarna hitam dengan jeans. Wangi parfum yang biasanya memenuhi mobilnya kini tercium di rumahku.

“Gimana kondisi kamu, sudah baikan?” tanyanya membuka percakapan.

Aku hanya mengangguk pelan. Meski senang bisa melihat dia, namun aku harus terlihat seperti marah, untuk aku benar-benar bisa mengungkapkan kekesalanku.

“Syukurlah kalau sudah lebih baik. Ini barang-barang kamu ya,” kata Jordi menunjukkan satu koper di sebelahnya. Aku berdiri dan menarik koper tersebut ke arahku.

“Terima kasih ya, sorry ngerepotin,” ujarku.

“Engga kok, aku seneng bisa direpotin,” serunya.

“Yakin senang direpotin?” kataku sarkastik. Jordi tak menjawab dan hanya menatapku.

“Mau driving bentar?” tanyanya kemudian.

Setelah diam sejenak aku mengiayakan ajakannya. Jika kita ingin bicara, lebih baik tidak rumah. Jadi kami berdua pun pergi dengan mobil Jordi. Di awal perjalanan, kami sama sekali tidak bicara. Sampai mobil Jordi keluar dari area kompleks perumahanku, Jordi mulai bicara.

“Rahel titip salam semalam, dia ikut khawatir waktu tahu kamu sakit,” kata Jordi.

Aku meliriknya dengan sinis, meski dia tidak melihat ke arahku. Gimana caranya dia bisa sebut nama cewek lain pertama kali saat kita ngobrol berdua kayak gini.

“Oh gitu, nanti aku chat Rahel,” kataku. Kemudian kita diam-diaman lagi.

Aku ingin memulai pembicaraan, tapi tidak tahu harus darimana dan bagaimana menyampaikannya. Jordi yang hanya menyetir dalam diam memiliki karisma yang besar, sehingga aku takut untuk memulai. Takut bahwa aku bukan siapa-siapa buat dia. Takut bahwa ini terakhir kalinya kita akan jalan berdua. Takut jika aku mengungkapkan apa yang benar-benar aku rasakan, ini semua akan berakhir bahkan sebelum hubungan ini dimulai. Apa aku harus biarkan semuanya berlalu dan menunggu Jordi yang menentukan? Aku sibuk bicara dengan diriku sendiri, sibuk dengan segala ketakutanku, tanpa aku menyadari kalau mobil ini telah berhenti. Dimana aku juga tidak begitu mengenali. Aku memalingkan mukaku ke arah Jordi. Dia masih terdiam menghadap ke depan. Melihatnya diam, aku tiba-tiba memiliki keberanian untuk bicara.

“Aku boleh jujur kah?” tanyaku pelan.

Jordi mengangguk namun masih menghadap ke depan. Aku pun mengikutinya menghadap ke depanku. Mobil ini hanya berhenti meminggir dari jalan raya tak jauh dari kompleks rumahku.

“Aku bingung mau ngomong darimana. Aku merasa gak seharusnya aku ngomong hal ini ke kamu, karena gak ada hubungan apa-apa di antara kita. Tapi selama empat hari kemarin dengan segala sikap kamu yang aku gak mengerti buat aku kesal. Aku ngerti kamu sibuk dengan persiapan acara, kamu orang utama dalam acara ini, semua orang butuh kamu seperti acara ini bener-bener gak bisa jalan tanpa hadirnya kamu. Tapi apa iya kamu sama sekali gak bisa balas chat aku, apa gak bisa nyapa aku saat ketemu di hotel, apa gak bisa kita duduk bareng saat di bus atleast saat selesai acara,” suaraku mulai tertahan mengingat rasa sakit dan kecewa saat itu. Air mataku tak kuasa untuk keluar mengalir di pipi. Aku berhenti bicara berusaha untuk bicara normal kembali.

“Aku coba mengerti kalau kamu emang sibuk, tapi setelah sehari dua hari berlalu, aku menyadari kalau kamu bukan sibuk, tapi kamu dengan sengaja menghindari aku. Dari situ aku gak berhenti-hentinya memikirkan segala alasan yang buat kamu menghindari aku. Memikirkan apa yang aku lakukan sampai kamu memutuskan untuk seperti itu. Aku menyudutkan diriku bahwa disini aku yang salah, bahkan tanpa aku gak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Menurut kamu aku yang berlebihan kah? Atau memang kamu yang salah disini?” jelasku.

Jordi tak langsung menjawabku. Dia masih menerawang apa yang di depannya. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirannya. Diamnya ini buatku semakin mati gaya. Rasanya aku ingin turun dari mobil dan pulang ke rumah sendiri. Apa susahnya sih menjelaskan, kalau memang tidak suka dan ingin semua ini berakhir kan tinggal bilang, kalau memang mau dilanjutin ya tinggal cerita. Frustasiku tak tertahankan. Helaan nafasku yang menunggunya bicara membuatnya berpaling menghadapku.

“Gw gak ngerti lu gak bisa ngomong karena apa sih? Sakit gigi? Dari tadi diem aja, bikin gw tambah kesel tahu gak!” kataku. Jordi kini malah tersenyum.

“Bisa-bisanya senyum. Gw gak butuh senyum lu Di, gw butuh penjelasan, jawaban, jangan bikin gw frustasi terus dong,” pintaku.

“Lu frustasi sama pikiran lu sendiri Le, masa gw yang salah,” kata Jordi dengan ekspresi tak bersalahnya, bahkan dia masih tersenyum-senyum melihat aku yang sudah tak bisa lagi menahan amarah.

“Apa lu bilang? Jadi menurut lu, lu gak salah? Jadi gw yang salah? Pikiran gw yang salah?”

“Tadi kan kamu tanya itu, ya aku jawab. Kenapa kamu capek-capekin diri kamu sendiri dengan pikiran yang aneh-aneh.”

“Ya gimana gak aneh-aneh mikirnya, kamu aku chat gak jawab, dipanggil-panggil gak nyaut, aku minta tolong sama Angga aja kamu tetep cuekin kan. Kamu sadar gak sih semalam kamu chat aku itu chat pertama kamu setelah empat hari. Apa kamu baca chat aku sebelumnya, atau kamu udah hapus tanpa kamu baca, makanya bisa jadi kayak gini sekarang gak merasa bersalah?” seruku berapi-api. Jordi geleng-geleng kepala.

“Gw gak nyangka ternyata Leoni yang kalem dan santai bisa juga marah-marah kayak gini.”

“Kok lu jadi bercanda sih, gw serius Jordi.”

“Iya oke serius. Gw ngerti kenapa lu harus marah kayak gini. Gw baca chat lu, cuma kan emang situasinya yang gak bisa, acaranya masih terus jalan, banyak banget yang harus diurus setiap harinya, gak gak bermaksud buat cuekin lu kok,” kata Jordi coba menjelaskan.

“Emang bales chat aku butuh 10 jam, kan tinggal balas aja lima detik juga cukup,” seruku.

“Gw beneran jarang megang hp selama acara, makanya jauh lebih cepet kalau lewat walkie talkie.”

“Emang malemnya setelah acara selesai semuanya selesai, lu gak cek hp, gak cek chat-chat yang masuk, pasti cek kan, trus kenapa chat gw doang yang gak dibales, pasti lu balas chat dari klien kan, gak mungkin engga.”

“Chat lu selalu ketumpuk. Gak semua chat klien gw bales kok, karena emang waktunya gak ada. Gw gak bohong.”

“Trus lu udah baca chat gw kan, gimana perasaan lu lihat chat gw yang berhari-hari gak digubris, baik-baik aja?”

Jordi menarik tanganku dan memegangnya dengan erat.

“Gw minta maaf, gw kaget banget pas lihat chat lu, gw bener-bener gak sadar kalau lu chat gw, gak sadar kalau lu khawatir tentang gw, kalau lu cariin gw. Terakhir gw pacaran dua tahun yang lalu, gw menyibukkan diri gw dengan kerja, gw gak terbiasa dengan hal ini lagi. Gw gak bermaksud buat cuekin lu, malah gw pikir lu juga sibuk ngurusin bagian lu,” ungkap Jordi, tangannya semakin erat memegang tanganku. Matanya lekat menatapku. Mukanya begitu serius dan merasa bersalah.

“Gw tahu lu gak mungkin gampang percaya dengan kata-kata gw ini, tapi gw jujur. Gw tahu gw salah, bahkan saat lu sakit aja gw gak bisa nemenin lu di rumah sakit. Tapi kalau lu tanya anak-anak di venue, saat gw cuma bisa gendong lu ke mobil Sandi dan gak bisa ikut pergi, gimana gw gak bisa diem dan ingin acara itu cepet-cepet selesai, gimana gw udah sampai di depan rumah lu jam 12 malam tapi gw tahu lu butuh istirahat jadi gw cuma bisa chat lu dan bilang dateng besok pagi. Semuanya gw lakuin karena gw peduli dan sayang sama lu. Gak ada satu maksud pun buat gw menghindari lu, apalagi karena gw gak suka sama lu Le, gw hanya bodoh dan lupa gimana caranya saat ada cewek yang gw sayang.”

Jordi menyampaikan semuanya itu dengan sungguh-sungguh. Salah satu tangannya masih menggenggam tanganku, sementara tangan lainnya mengusap pipiku.

“Lu yang gendong gw ke mobil Sandi?” tanyaku, Jordi mengangguk.

“Lu dateng ke rumah pas acara selesai?” tanyaku lagi, Jordi mengangguk sekali lagi.

Lihat selengkapnya