Pilihan Cerita Hidupku

Geovania Loppies
Chapter #7

Bab 7

Salah satu alasan kenapa lebih baik tidak pacaran dengan orang satu kantor itu adalah saat akhirnya tidak berjalan dengan baik dan putus, maka konsekuensinya kita tetap harus bisa profesional bekerja tanpa mengikuti perasaan personal. Setelah semalam Jordi minta putus dariku, meski aku tidak mengatakan apapun, tapi dari sikap dia hari ini bisa sangat mengartikan bahwa hubungan kita benar-benar sudah selesai. Semalaman aku menangis buat kepalaku masih terasa sakit. Aku pun berusaha menutupi mata bengkakku ini dengan make up, berharap semoga tidak ada yang menyadari.

Hari ini kita masih harus bekerja seperti biasa. Anak-anak pun juga berusaha bersikap biasa terhadapku sejak dari acara kejutan Jordi kemarin lusa itu. Aku tahu mereka menyadari bahwa aku dan Jordi saling tidak bicara, namun itu terbilang layaknya orang pacaran yang bertengkar. Mereka tidak tahu bahwa aku dan Jordi telah menyudahi hubungan yang baru 28 hari ini. Walaupun mereka berusaha menganggap tidak terjadi apapun, tetapi aku bisa merasakan situasinya yang aneh di saat aku dan Jordi berada dalam satu ruangan. Untungnya keberadaan kita bersama tidak sesering itu karena tugas kita yang berbeda divisi.

Aku pun juga berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan mereka, menunjukkan bahwa tidak ada yang berubah dan semua ini hanya sementara. Meski di dalam hatiku meringis kesakitan setiap kali aku lihat Jordi, mendengar suaranya, berada dalam satu ruangan dengannya namun tak bisa bicara dengan dia. Rasanya aku ingin berlari kearahnya dan memeluk dia, menangis dalam pelukannya, memintanya untuk tidak mengakhiri hubungan kita dengan mudah. Bertanya apa dia benar-benar sayang sama aku selama ini, atau hanya pura-pura. Namun melihat kondisinya lebih baik dari semalam saat di mobil membuatku lega. Semoga dia baik-baik saja. Tetapi kemudian perasaanku yang merindukannya, menginginkannya bisa tiba-tiba berubah saat melihat dia tertawa, tersenyum, fokus bekerja seperti biasa. Bagaimana bisa dia biasa saja seperti itu setelah apa yang terjadi semalam. Apa itu hanya pura-pura, aktingnya berusaha menutupi sakitnya seperti aku, tapi kenapa dia sejago itu aktingnya. Atau memang itu yang sebenarnya, dia sama sekali tidak merasa sakit atas berakhirnya hubungan kita. Bagaimana Jordi bisa sedingin itu, bisa sejahat itu. Berkali-kali hari ini aku harus menahan air mataku, berpura-pura menguap saat tak kuasa menahannya jatuh, kemudian berlari ke kamar mandi menjauh dari kerumunan. Tetapi bagaimana dia bisa layaknya tidak terjadi apa-apa.

Waktu kali ini berjalan begitu lama, aku ingin cepat-cepat pulang, menyindiri, mengeluarkan emosiku yang sepanjang hari aku tahan. Saat itulah, Sandi menghampiriku.

“Le, lu udah baikkan?” tanyanya seraya duduk di sebelahku. Aku tersenyum mengiyakan.

“Lu bawa mobil kah hari ini?” tanya Sandi lagi, aku menggeleng. Mana bisa aku menyetir dengan kondisi seperti ini, semalaman tidak tidur sambil menangis.

“Kalau gitu nanti pulang bareng gw ya, gw anterin,” ujarnya santai. Aku tersenyum lagi.

“Jangan lemes gitu dong, semangat, besok acaranya nih, gw butuh semangat dari banyak orang, kali ini gw se-nervous ini tahu gak,” kata Sandi berusaha menyemangatiku.

“Semangat San, besok acaranya lancar kok pasti,” seruku. Sandi menepuk punggungku.

Setelah pekerjaan hari ini selesai, aku pulang bersama Sandi. Aku bersyukur di situasi saat ini, masih ada teman seperti Sandi. Meski awalnya aku bingung apakah aku harus cerita tentang Jordi kepadanya atau tidak, karena mereka berdua teman dekat, tapi sikap Sandi buat aku merasa nyaman tanpa aku harus bicara apapun. Seperti dia tahu apa yang aku rasakan saat ini.

“Gw tahu kok, Jordi sudah cerita, lu gak apa-apa kan?” tanya Sandi buka pembicaraan.

Aku menoleh kearahnya. Rasanya seperti topengku terlepas, tembok yang aku bangun runtuh, rahasia yang disembunyikan terbongkar, kemudian seperti pipa yang sebelumnya tersendat kini bisa mencurahkan airnya dengan deras, seperti itu juga aku menangis di dalam mobilnya Sandi. Dia yang menyadari aku menangis, sempat kaget dan mengipirkan mobilnya. Sandi mengambil tissue dari jok belakang dan memberikannya kepadaku, kemudian dia diam tak berkata apapun. Membiarkan aku mengeluarkan emosiku, kesedihanku, kekecewaanku.

Setelah 30 menit aku menangis, sesekali Sandi menepuk punggungku menenangkan, sampai akhirnya aku bisa mengendalikan emosiku.

“Kalau gw abis dari acara besok gak kerja lagi di UPSTAR gak apa-apa kan?” kataku pelan masih sambil sesegukkan.

“Tiba-tiba?” tanya Sandi.

“Gw tahu itu sama sekali gak bertanggung jawab dan kekanak-kanakan, masa karena putus jadi keluar. Tapi I don’t think I can handle this feeling kalau terus-terusan ketemu sama Jordi. Toh dia juga gak yang berniat untuk benar-benar menjelaskan apa yang terjadi,” ucapku. Sandi hanya diam.

“Pasti lu tahu kan apa yang terjadi sama Jordi, tapi mau gw tanya kayak gimana juga, lu gak akan kasih tahu. Jadi gw memilih untuk mundur, gak apa-apa kan?”

“Gw gak bisa maksa lu, tapi menurut gw mending lu rest aja dulu, pikirin dengan baik, ini lu masih terlalu emosi gak sih,” kata Sandi.

“Gw gak ngerti kenapa gw sesakit ini. Hubungan gw sama Jordi aja tuh belum sampai sebulan, tapi rasanya gw sudah lupa ingatan gimana gw bisa baik-baik saja sebelum ada Jordi. Padahal gw join perusahaan lu cuma buat punya pengalaman baru, belajar hal baru, tapi malah berakhir kayak gini. Apa emang seharusnya gw gak join ya. Semua gara-gara lu tahu gak,” seruku.

“Lah kenapa jadi gw yang salah?”

“Ya iya, kalau lu gak ngomong lu suka sama gw di kolam malam itu, pas hari Minggu nya gw gak akan ngajak Jordi buat ibadah bareng, gw gak akan naik mobil dia pas mesin mobil gw rusak, gw gak akan pergi ke kantor bareng dia. Semua gara-gara lu.”

“Ya, itu kan.., tapi gw juga gak nyangka kalau lu bakal suka sama Jordi. Jadi salah sendiri kenapa lu malah suka sama dia bukan sama gw,” cetus Sandi yang buat aku mendorong dia.

“Dia kok bisa baik-baik aja gitu sih, gak kayak orang putus. Atau kalau emang gak sedih, atleast hargain gw kek yang sedih gara-gara dia. Seharian gw lihat dia malah ketawa-ketawa mulu. Kesel.”

“Lah lu juga dari tadi ketawa mulu sama anak-anak.”

“Ya itu kan gw pura-pura supaya gak ada yang tahu, anak-anak tuh juga udah sense ada yang aneh sejak dia gak dateng pas ultah dia.”

“Bisa aja Jordi juga sama kali pura-pura, lu kan gak tahu.”

“Belain aja terus sahabat lu itu. Lu tahu gak, semalam di saat gw minta dia penjelasan, minta dia untuk jujur gak perlu bohong, karena gw akan maafin dia kalau dia jujur, tapi dia malah pilih untuk putus. Gimana gak bikin gw gila. Di saat gw berusaha untuk membuat hubungan kita berdua baikan, dia dengan mudahnya menyudahi, seperti hubungan ini gak ada artinya buat dia. Gw merasa bodoh tahu gak sih nangisin dia semalaman.”

Tiba-tiba aku teringat kondisi Jordi semalam.

“Jordi sakit ya?” tanyaku pada Sandi. Ekspresinya melihatku kaget.

“Eh, iya emang?” tanyanya terbata-bata, kikuk.

“Gw tanya, kok lu malah nanya balik.”

“Mana gw tahu. Tadi baik-baik aja.”

“Semalam pas ngobrol sama gw di mobil dia kelihatan aneh banget, kayak menahan sakit gitu.”

“Kayak gimana emang ekspresinya?”

“Gak tahu, rada gelap mobilnya, pas gw nyalain lampu dia malah langsung matiin lagi. Tapi gw ngeh kok kalau dia kayak kesakitan gitu. Waktu gw tanya dia malah diem aja.”

“Mungkin kesakitan gara-gara lu, pas ngobrol lu mukul dia gak?” seru Sandi terkekeh.

“Gw serius ya. Sampai Jordi beneran sakit dan ternyata dari awal lu tahu dan gak kasih tahu, gw gak mau lagi temenan sama lu.”

“Yah ngancem lagi. Jordi baik kok, tenang aja.”

***

Gw harap acara malam ini bisa berjalan dengan baik. Ini kali pertama UPSTAR ikut berpartisipasi dalam acara besar yang disiarkan langsung di tv. Persiapan yang sebentar bisa dengan cepat dikerjakan karena tim yang berkolaborasi dengan kuat. Meski ada banyak kendala tapi bisa sampai di hari ini buat gw merasa lebih dari cukup. Terutama jika dilihat satu bulan belakang ini. Kalau bukan karena mereka orang-orang yang ada buat gw, sudah pasti gw nyerah sejak awal.

Meski acara IMA akan baru mulai sekitar jam 7 malam nanti, namun persiapan sudah harus dimulai sejak subuh. Berbeda dengan para musisi, actor dan tamu undangan yang hadir dengan baju pesta, berdandan cantik dan tampan, kami sebagai panitia hanya memakai kostum hitam-hitam. Acara red carpet akan dimulai jam 3 sore. Segala sesuatu sudah siap untuk dilaksanakan. Setiap orang sudah siap di tempat tugasnya masing-masing. Sementara gw seperti biasa akan sibuk di FOH menjadi asisten direksi membantu Sandi memastikan acara berjalan dari awal hingga akhir.  

“Di, lu gimana oke?” tanya Sandi.

“Iya udah oke semua.”

“Bukan, lu gimana oke?” tanyanya lagi. Gw melirik keseliling dan gak ada orang, hanya kita berdua.

“Iya baik, lu mau berapa kali nanya sih.”

“Kan memastikan, sebagai orang satu-satunya yang bisa lu andalkan, jadi gw harus tahu.”

Memang kayak gini jadinya kalau Sandi tahu kelemahan gw. Dia bisa mengganggu gw seharian. Tahu sih maksudnya baik, tapi bisa kan gak sering-sering nanyanya.

“Lu udah ketemu Leoni?” tanya Sandi lagi. Gw bingung setiap pertanyaan Sandi bikin jatung gw rasanya mau copot.

“Tadi ngelihat dia di backstage,” jawab gw.

“Kapan mau ngobrol lagi sama dia?” gw tidak menjawab pertanyaannya.

“Kemarin pas gw anterin dia pulang, dia nangis di mobil 30 menit ada kali, sampai matanya bengkak. Dia tanya apa lu sakit, karena pas kalian ngobrol di mobil lu katanya kelihatan kayak orang kesakitan, tapi pas dia tanya, lu katanya cuma diem aja. Dia sampai ngancem gw, gak bakal temanan lagi sama gw, kalau ternyata lu sakit dan gw gak kasih tahu dia,” cerita Sandi. Gw tersenyum mendengarnya.

Lihat selengkapnya