Setelah berbicara dengan Sandi bahwa aku ingin mengundurkan diri dari pekerjaan, hari ini aku diizinkan untuk tidak masuk, meski pengunduran diriku belum disetujui. Sandi memberikan waktu aku untuk ‘rest’ dan memikirkan keputusan yang terbaik. Walaupun sudah tidak harus pergi ke kantor, badanku sudah terbiasa untuk bangun pagi dan kini aku telah melakukan banyak hal sejak subuh. Sementara saat ini setelah sarapan, aku hanya menatap kosong tembok taman di belakang rumahku. Waktu masih menunjukkan pukul 09.55 WIB. Sepertinya hari ini akan berjalan dengan lambat. Dalam lamunanku, aku berusaha untuk tidak memikirkan satu sosok itu. Tidak ada detik yang aku lewatkan tanpa bertanya-tanya apa yang sedang Jordi lakukan. Jika jam segini, pasti Jordi sudah ada di kantor, mungkin sekarang lagi bersiap untuk meeting evaluasi, hari ini dia pakai baju apa, dia pergi ke kantor sudah makan apa belum ya. Segala sesuatu tentang Jordi masih ingin aku ketahui.
Selesai acara IMA malam itu, saat Nicholas mengajakku untuk pergi esok harinya, dan aku jawab iya, aku kira itu akan buat Jordi cemburu dan datang pagi harinya ke rumahku, mengajakku pergi lebih dulu supaya aku tidak jadi pergi dengan Nicholas. Namun ternyata itu hanya mimpiku belaka. Batang hidungnya sama sekali tidak terlihat di depan rumah. Tidak ada kabar pun darinya. Aku bertanya-tanya mengapa kehadiran Jordi sekarang begitu memenuhi kehidupanku, seperti aku lupa bagaimana hidupku sebelum tanpa dia. Aku merasa terlalu berlebihan memiliki perasaan ini kepada orang yang baru aku kenal dua bulan terakhir. Aku merasa bodoh tidak bisa mengendalikan perasaanku. Namun mama mengatakan bahwa tidak ada perpisahan yang mudah berapapun lama hubungan itu terjalin.
Tiba-tiba hpku berbunyi menandakan sebuah pesan masuk. Tanpa kuduga, namanya yang tertera di layar hpku membuat jantungku berdetak lebih cepat, pesan apa yang ditulisnya? Apa karena aku tidak datang hari ini ke kantor, dia mencariku, merindukanku? Aku mengetuk namanya kemudian terbukalah bagian pesannya, yang buatku mengerutkan kening. Sepanjang ini Jordi mengirim pesan padaku, ada apa? Pelan-pelan kupahami setiap kata-kata yang ditulis Jordi, tanpa kusadari air mata menetes keluar.
Hi Le, hari ini sepertinya kamu gak masuk kerja. Sandi cerita, kamu gak mau kerja lagi karena aku? Kenapa, takut gak bisa move on ya? Bukannya udah jalan sama mantan kamu yang aktor itu? Gimana akhir pekannya kemarin, semoga dengan cepat kamu bisa melupakan aku dengan kehadiran orang lain yang bisa lebih membahagiakan kamu. Aku minta maaf kalau membuat kamu sakit, kecewa, dan marah dengan segala sikapku yang tidak bisa aku jelaskan hingga kini. Ku harap kamu mengerti bahwa semua yang aku lakukan hanya agar kamu tidak khawatir dan membuatmu lebih menderita dengan mengetahui segalanya. Aku juga minta maaf jika aku terlalu pengecut untuk mengatakan semua ini melalui pesan tertulis seperti ini. Namun aku ingin kamu tahu bahwa dua bulan aku mengenal kamu adalah waktu-waktu yang berharga. Memilikimu meski hanya sebentar memberikanku kebahagiaan yang tidak tertandingi. Maaf jika aku tidak memberikan kebahagiaan yang sama. Tapi aku harap kamu setidaknya tidak menyesal pernah mengenalku dan menjalin hubungan denganku. Semoga masih ada momen-momen yang indah yang bisa tersimpan dan teringat meski kita tidak bertemu untuk sekian lamanya nanti. Awalnya aku berniat mengirim pesan ini untuk meminta kamu tetap bekerja di kantor menggantikan aku yang bulan depan akan pergi. Anak-anak membutuhkan kakak baru dan aku tahu kamu yang bisa menggantikan kehadiranku di sana. Namun setelah kupikir-pikir lebih baik kamu fokus untuk melanjutkan karirmu sebagai penulis. Ku harap kamu bisa selesaikan bukumu yang kamu janjikan untuk aku baca lebih dulu daripada Sandi. Tapi sepertinya janji itu tak bisa terlaksanakan. Namun aku berjanji akan bacanya jika sudah rilis nanti. Terima kasih sudah hadir dan memberikan warna baru dihidupku. Aku akan selalu mendukung apa yang kamu lakukan dan ku harap kamu selalu bahagia meski aku tidak disisimu. – Jordi.
Tiga-empat kali aku membaca ulang pesan Jordi. Dia mau pergi bulan ke depan, kemana? Dia gak pernah cerita akan keluar dari UPSTAR. Kenapa pesannya seperti orang yang mau pergi jauh seperti ini. Apa maksudnya kita tidak akan bertemu untuk waktu yang lama. Aku juga bahagia dengan kehadirannya, aku tidak pernah menyesali bisa kenal Jordi. Setelah membaca pesannya terlalu banyak hal yang buatku bertanya-tanya. Aku pun segera menelepon Jordi namun tidak dijawab. Karena panggilannya tak sambung terus menerus dan setelah aku merenung bahwa mungkin pesan ini hanya sekedar pesan terakhir dari Jordi sebagai salam perpisahan. Dia hanya ingin mengakhiri hubungan dengan aku secara baik-baik tanpa maksud yang lain. Tidak ada hal yang harus terlalu aku pikiran lebih seperti ini. Kemudian aku menatap layar ponselku. Melihat tulisan panjang Jordi. Apa yang harus aku balas?
Akhirnya aku memilih menelepon Sandi namun tak dijawab juga. Sepertinya keduanya terlalu sibuk meeting sampai tidak bisa menjawab teleponku. Aku meninggalkan pesan ke Sandi meminta dia bertemu dengan aku setelah selesai kerja nanti.
Sandi datang dengan raut wajah yang begitu lelah. Meski setiap acara selesai memang akan selalu ada banyak pekerjaan, namun biasanya tidak akan membuat Sandi seperti ini. Apalagi acara kemarin terbilang sukses. Sandi duduk di depanku, menatapku tanpa bicara apapun.
“Lu gak apa-apa? Lelah banget kelihatannya?” tanyaku.
“Pesen minum dulu deh, mau yang manis-manis aja?” tambahku. Dia hanya mengangguk sambil menenangkan diri.
“Macet banget dijalan. Kenapa sih ngajak ketemu?” serunya sinis.
“Emang gw gak boleh ngajak ketemu, galak banget.”
“Mau lanjut kerja? Yaudah besok tinggal dateng aja ke kantor.”
“Kenapa sih lu, gw kan ngajak ketemunya baik-baik, lagian gw udah yakin gak lanjut kerja di UPSTAR kok. Sekalian nih gw kasih tahu, jadi cepetin aja urus pengunduruan diri gw jangan dilama-lamain.”
“Udah dipikirin baik-baik? Yakin?”
“Iya, orang Jordi juga bilang gw gak usah kerja lagi disana,” kata-kataku buat Sandi kaget.
“Jordi?”
“Iya dia kirim gw chat, bilang gw lanjutin nulis aja gak usah kerja lagi di UPSTAR.”
“Tapi dia bilang ke gw buat minta lu stay.”
“Iya dia juga awalnya ingin bilang gw buat tetep kerja, tapi abis itu gak jadi. Coba deh nih baca sendiri,” aku menyodorkan hpku meminta Sandi membaca pesan Jordi.
“Dia bilang bulan depan mau pergi? Emang mau kemana sih? Beneran bakal pergi, selama ini dia gak bilang apa-apa. Sudah gitu tulisan dia kayak orang mau pergi jauh gitu, awalnya gw kira dia kenapa-napa, trus gw teleponin dia gak dijawab. Tapi pas gw pikir-pikir lagi ya ini cuma pesan perpisahan aja gitu kan. Makanya gw ngajak lu ketemu nih, gw bingung harus balas apa. Apa gw ajak dia ketemu aja ya, tapi itu jadi pressure gak ya. Tapi gw lebih suka buat ngomong langsung daripada nulis kayak gini. Apalagi kalau misalkan dia emang bakal pergi bulan depan. Tapi dia mau pergi kemana sih? Sandi lu denger gw gak sih.”
Sandi terlalu fokus pada hpku. Dia terlihat serius membaca pesan Jordi. Mungkin bagi dia tulisan Jordi juga terlihat aneh kah. Aku jadi semakin khawatir melihat ekspresi Sandi seperti ini.
“Dia kirim chat ini tadi pagi?” tanya Sandi.
“Iya. Kenapa lu juga ngerasa aneh ya sama tulisannya. Tuh berarti perasaan gw bener, kayaknya ada yang aneh, emang Jordi kenapa sih, dia mau pergi kemana, lu pasti tahu kan?”
“Aneh apa, biasa aja kok. Ya bener kata lu ini mah pesan perpisahan aja,” kata Sandi sambil mengembalikan hpku.
“Tapi kok lu bacanya lama gitu, mukanya lu juga aneh, gak kayak orang baca chat biasa.”
“Ya gimana gw mau biasa baca chatnya, cringe banget kayak gitu. Lebih kaget gw Jordi beneran yang nulis itu, lu yakin itu nomor Jordi, bisa aja orang lain.”
“Lu bercanda mulu, orang serius juga. Jadi bener nih Jordi gak kenapa-napa, baik-baik aja kan, cuma perasaan gw doang yang kira ini aneh.”
“Kalau buat gw rada aneh sih, nanti gw pastiin deh ke Jordi jangan-jangan nomor dia dibajak lagi. Tadi lu bilang dia gak bisa ditelepon kan.”
Sandi nyebelin banget sih, dikit-dikit bercanda mulu. Tapi berarti memang pesan ini hanya pesan perpisahan. Saat itu pelayan mengantarkan makanan dan minuman yang kami pesan.
“Jadi balik lagi ke tujuan gw ngajak lu ketemu. Gw harus balas apa chatnya Jordi ini? Gw bingung,” ucapku.
“Kenapa lu tanya gw. Kalau lu aja bingung apalagi gw gak sih yang gak tahu apa-apa ini. Ya lu tulis aja apa yang ingin lu sampaikan sama Jordi. Toh apa yang dia chat juga dia berusaha buat jujur ke lu tentang perasaannya, jadi lu juga bisa jujur sama apa yang lu rasakan. Utarakan apa yang selama ini belum bisa lu utarakan.”
“Gw takut apa yang gw tulis pada akhirnya cuma minta dia balik lagi sama gw. Takut nanti kayak gw yang mohon-mohon buat balikan.”
“Yaelah, lu belum nulis aja udah takut duluan, padahal belum tahu juga yang mau tulis apa. Tapi kalau misalkan emang itu yang ingin lu sampaikan kenapa engga. Bisa aja abis Jordi baca chat lu dia jadi luluh dan mau balikan. Tulisan lu kan bisa menggerakkan hati seseorang.”
Kami berdua pun larut dalam pikiran masing-masing. Aku sibuk memikirkan apa yang sebenarnya ingin aku katakan kepada Jordi. Sementara Sandi hilang dalam pikirannya yang aku tak ketahui.
“Jadi lu benar gak lanjut buat kerja kan ya?” kata Sandi menghentikan lamunanku. Aku mengangguk.