Pilihan Ganda

Muhammad Adli Zulkifli
Chapter #1

PROLOG

Di hadapanku ada seseorang yang siap memberikanku beberapa pertanyaan. Mungkin ini seperti layaknya sebuah acara podcast, namun tanpa mic clip on bahkan kamera. Dia akan mengulik kisah yang aku alami sendiri, lebih tepatnya kisah cintaku.

"Mari kita mulai," bisiknya. "Sebelum masuk ke dalam percintaan, bagaimana kalau kita tarik jauh dulu pada latar belakang, siapa kamu sebenarnya?" Lanjutnya.

Dia memberikan isyarat jari memetik saat mengucapkan percintaan, aku mengerti apa maksudnya.

Oke.

Aku menghela napas panjang.

Perkenalkan, namaku Ganda, terlahir menjadi seorang anak yang memiliki banyak saudara kandung. Ya, aku adalah anak ke sembilan dari sebelas bersaudara. Hampir semua memiliki jarak 2 tahun mulai dari anak pertama sampai anak sebelas. Anak pertama sudah berusia 40 tahunan dan anak terakhir berusia 19 tahun. Memiliki banyak anak, mungkin itu yang menjadi faktor ayahku sudah tidak memiliki tuntutan apa-apa padaku. Dia tidak menuntutku untuk menjadi apapun. Semua seolah dibiarkan mengalir sesuai takdir-Nya. Bahkan aku terdidik dengan pola asuh yang kurang demokratis, terutama dalam pendidikan. Hampir semua jenjang pendidikan, ayahku yang memutuskan. Setelah aku dewasa ini, aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri, kenapa pada saat itu aku tidak berani punya keinginan. Terutama saat masa-masa perkuliahan.

"Apa yang sebenarnya kamu inginkan?" Bisik laki-laki itu sembari merapikan rambut ikalnya.

Setelah lulus SMA, lebih tepatnya Madrasah Aliyah di sebuah Pondok Pesantren tak jauh dari rumah yang hanya mempunyai jarak kira-kira 1 jam lamanya perjalanan. Aku ingin sekali melanjutkan kuliah di Kampus Negeri Bandung. Namun, pada akhirnya aku berkuliah di Yogyakarta. Bukan karena Yogyakarta kota pelajar, tapi karena keputusan ayahku yang mengharuskan aku kuliah di sana, dengan alasan di sana ada saudara perempuanku yang menikah dengan orang Yogyakarta, Se-sederhana itu.

"Di Bandung tidak ada saudara?" Bisiknya lagi.

Ada. Hanya paman dan tante. Namun, ayahku tidak mau merepotkan mereka. Padahal di usiaku kala itu, bisa saja aku tinggal di sebuah kos-kosan atau kontrakan bersama teman-teman yang lain, bahkan jadi marbot masjid saja aku tidak masalah.

"Apakah semua itu pernah kamu sampaikan pada ayahmu?"

Tidak. Tidak tahu kenapa keinginan untuk mengungkapkan itu semua seolah terpendam oleh pikiranku sendiri yang sudah tahu jawaban apa yang akan ayahku lontarkan. Mungkin ini karena didikan ayahku yang aku sebut tadi, kurang demokratis. Aku hanya sebagai pion yang siap dilangkahkan ke mana pun.

"Jadi kamu menaruh kebencian kepada ayahmu?"

Hei ... Hei ... Hei ... Tidak ada kalimat yang mengarah ke sana, ya, Ali.

"Tapi itu semua seolah mengarah ke sana."

Bagaimana bisa aku membenci seorang ayah yang sudah memperjuangkan semua anaknya sampai detik ini. Yang aku ceritakan hanyalah satu kekurangan di antara berjuta-juta kelebihan yang ayahku miliki.

"Oke, make sense. Kalau anak pertama saja usianya sudah 40 tahunan, berapa usia ayahmu sekarang?"

Usianya beda tipis sama usia negeri kita tercinta. Itu clue nya.

Lihat selengkapnya