Perasaanku cukup lega setelah melihat senyumnya merekah kembali, meski lewat foto bersama di acara pernikahan. Niat baikku mengajaknya ke jenjang serius mungkin tak sampai barang sejengkal, tapi setidaknya hubungan pertemanan kami masih masuk akal untuk dipertahankan. Aku yang kadang mengomentari postingannya di sosial media dengan candaan, dia yang juga selalu mengejekku di sosial media jika aku membuat story tentang pernikahan. Mana tuh ibunya? - Udah cocok, tinggal nikah. Dan masih banyak lagi ejekan-ejekan lainnya. Meski rasa canggung itu sudah kupecahkan, semua tetap akan ada perbedaan. Terbukti beberapa hari selepas dari Bandung, aku dan dia tidak ada berkomunikasi.
Sepulang kondangan di Bandung, aku kembali ke Tangerang Selatan, kota perantauanku saat ini setelah Yogyakarta. Kala itu di Yogyakarta aku menjadi mahasiswa akhir yang terkena dampak covid19, mengharuskan kampus membuat kebijakan kuliah online yang akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kota ini untuk belajar berbisnis online pada saudara perempuanku, dia anak keenam. Berbekal pengalaman seadanya membuka usaha ini itu saat di Yogyakarta karena keinginanku menjadi seorang pengusaha. Pernah aku membuka usaha pakaian berlapak di Sunday Morning UGM setiap hari minggu, pernah menjual online sepatu second import, lalu yang terakhir menjual hanger kayu berlogo secara online yang sampai saat ini masih ada saja orang yang menanyakan hanger kayu via chat karena nomorku masih tersimpan di maps, padahal usaha itu sudah aku tutup. Yang pada akhirnya, saat ini aku diamanahi oleh anak keenam untuk memegang sebuah brand fashion muslim pria dan sudah ku pegang selama 2 tahun saat itu.
"Setelah sama Ped ini gagal, kamu gak ada keinginan untuk cari perempuan lain, Ganda?"
Sepertinya dia sudah lupa dengan pertanyaan dia sebelumnya. Biarlah.
Setelah penolakkan itu, aku merenung, mungkin Alloh memberiku kesempatan dan kelapangan waktu untuk terus memperbaiki diri lagi, menambah ilmu lagi tentang pernikahan, juga tentunya menambah saldo tabunganku. Tapi di sisi lain aku juga sempat berpikir bahwa keinginanku untuk menikahi perempuan yang seumuran denganku sepertinya sirna.
"Kenapa? Emangnya gak ada teman se-almamater yang kamu suka lagi?"
Aku hanya geleng kepala.
"Terus?"
Dengan sedikit rasa kecewa, akhirnya aku mencoba membuka keinginan dan harapan baru.
"Apa itu?"
Jika tidak ditakdirkan dengan yang seumuran atau seangkatan, sepertinya aku harus dengan perempuan yang jarak usianya 3 sampai 5 tahun di bawahku.
"Secepat itu berubah?"
Aku hanya mencoba mengambil hikmah dari apa yang sudah terjadi padaku. Ya, mungkin setelah penolakkan itu, jadi membuka pikiranku bahwa tidak apa-apa kok menikah dengan perempuan yang jarak usianya 3 sampai 5 tahun di bawah, malah aku akan lebih terlihat dewasa di mata istriku nanti.
"Terus alasanmu ingin bersama yang seumuran?"
Aku tidak memiliki jawaban pasti tentang itu. Tidak semua keinginan selalu mempunyai alasan. Dan perihal menikah dengan yang seumuran atau tidak, itu semua bukan menjadi sebuah patokan kebahagian atau sebaliknya. Yang aku tahu tentang pernikahan khususnya hubungan antara suami dan istri adalah semakin suami dan istri dekat dengan Sang Maha Cinta, semakin dekat pula hubungan mereka. Pun sebaliknya. Jadi ibarat segitiga piramida, Sang Maha Cinta berada di puncak piramida, sedangkan suami dan istri berada di bawah terpisah di sisi kiri dan kanan. Jika ingin hubungan baik, maka ada effort untuk memanjat dan mendekatkan diri pada Sang Maha Cinta.