Pilihan Ganda

Muhammad Adli Zulkifli
Chapter #6

DEBAT

Kembali pada niat awalku ingin menikah muda. Bukan tentang mengungkapkan perasaan dangkal bahwa aku cinta kamu lalu menunggu respon yang selalu diharapkan, aku juga cinta kamu, Ganda. Setelah itu menjalin hubungan yang setiap tatapnya penuh syahwat dan setiap kesempatan penuh bisikan setan. Aku tidak mau terjerumus di dalamnya.

Kalimat yang pernah disampaikan saudara perempuanku dan selalu menjadi barrier saat ...

"Saudara yang anak ke berapa nih?"

Anak kelima, kalimat yang pernah disampaikan saudara perempuanku dan selalu menjadi barrier saat ...

"Kalau diulang gak perlu full dari awal lagi dong, Ganda. Langsung aja kalimatnya itu apa?"

Pernikahan adalah sesuatu yang baik dan harus ditempuh dengan cara yang baik pula.

"Maksudnya? Jelasin dong!"

Ibarat Robin Hood, seorang pemberontak yang merampok harta orang yang berkuasa lalu membagikan hasil rampoknya kepada orang-orang miskin. Berbagi adalah suatu hal yang baik, namun cara dia memperoleh sesuatu untuk dibagikan itu tidak baik. Maka tidak ada keberkahan di dalamnya.

Begitupun pernikahan. Ada cara-cara baik untuk menuju pernikahan. Lewat taaruf contohnya, yang sesuai syariat. Itu harus bold dan dikasih underline.

"Cara tidak baiknya apa?"

Aku rasa kamu dan semua orang sudah tahu, hanya saja terkadang mata kita yang tertutup atau justru khilaf dan memilih menutup mata.

"Beri contoh dong!"

Nanti aku beri contoh.

"Oke. Jadi, setelah kamu mendapat balasan chat darinya, apa yang kamu lakukan untuk memulai perjalanan barumu, Ganda?"

Setelah perkenalan singkat nama dan asal daerah lewat chat. Tanpa basa-basi aku langsung mengutarakan niat baikku. Tak peduli dia menghindar atau tidak karena keanehan seorang laki-laki yang bahkan belum dia kenal lebih jauh, bertemu pun tidak. Tapi ingin menikahinya.

"Bagaimana responnya?"

Saat itu aku menjelaskan bahwa aku ingin bertaaruf dengannya. Dia paham apa yang ku maksud. Namun, orang tuanya tidak terlalu paham tentang konsep itu. Dan dia bingung karena tidak ada yang bisa dia jadikan perantara.

"Wah, berarti dia kasih lampu kuning dong."

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

Aku senang dia merespon niatku dengan baik. Secara tersirat mungkin dia juga mau, tapi bingung harus seperti apa caranya. Akhirnya aku memberinya sebuah alternatif untuk memberinya kesempatan mengenalku lebih jauh lewat Curriculum Vitae Taaruf yang telah aku buat. Jika dia menerimanya, dia akan menjadi perempuan yang pertama menerima Curriculum Vitae Taarufku.

Saat itu aku meminta alamat surelnya untuk mengirimkan Curriculum Vitae Taarufku.

"Kenapa tidak nomor pribadinya saja kamu minta?"

Aku memberi penjelasan padanya kenapa aku lebih memilih alamat surel, karena kalau saja aku dan dia tidak berjodoh, setidaknya aku tidak memiliki nomor pribadinya yang sifatnya privasi. Dia pun memahaminya.

Tak berselang lama setelah permintaanku, ia pun mengirimkan sebuah alamat surel yang sederhana, berisi nama lengkapnya dengan tambahan huruf i yang jamak.

"Oh, iya, sampai lupa, siapa namanya?"

Safira A Lestari.

"I jamaknya ada di mana Safiiiira atau Lestariiii?"

Lihat selengkapnya