Dina tergesa-gesa pergi ke gedung fakultas untuk melakukan bimbingan, sepuluh menit lagi akan menunjukkan pukul Sembilan. Pak Haris meminta bimbingan jam Sembilan, jika telat satu menit saja gagal lah hari ini ia menuntaskan skripsinya. Tadi ia ketiduran, setelah melakukan salat subuh lalu mandi, ia ketiduran karna dingin, yang membuat mata mudah mengantuk.
Setelah lari-lari gak jelas. Akhirnya sampai juga di depan ruangan, yang sudah ke empat kalinya ia ke sini. Semoga hari ini adalah hari terakhirnya masuk ke ruangan ini. Dina mengatur nafasnya yang tidak beraturan, merapikan penampilannya yang berantakan. Ia mengetuk pintu, lalu membukanya. Pak Haris sedang duduk di sana. Ia tersenyum dan langsung berjalan duduk ke kursi di depan meja pak Haris.
Setelah bicara santai dengan pak Haris, tiba-tiba Dina menjadi gugup. Karna sekarang Pak Haris sedang membaca skripsinya dengan muka serius, membuat pikiran negatif seketika muncul di kepalanya. Dina menjadi takut, ia tidak ingin mendengar kata-kata yang tak ingin didengarnya, sudah muak ia mendengarnya.
“Bagus, semua yang saya suruh benarkan, sekarang sudah benar. Skripsi kamu sudah bisa untuk disidangkan,” ucap Pak Haris. Membuat Dina tersentak kaget, dalam hati ia sangat girang.
“Benarkah pak, makasih banyak pak” ucap Dina kelewat senang.
“Kamu tau kan apa yang dilakukan setelah ini?”
“Tau pak.”
“Bagus, tapi bapak akan jelaskan kembali.”
Pak Haris menjelaskan dan Dina hanya mendengarkan semua perkataan Pak Haris dengan diam, sekali-kali ia menganggukkan kepalanya tanda bahwa ia mengerti.
Dina keluar dari ruangan dengan sangat senang. Belum pernah ia sesenang ini jika keluar dari ruangan ini, biasanya rasa kecewa yang ia dapatkan.
Setelah ini ia akan ngumpul dengan teman sekelasnya, yang memang sudah janjian sebelumnya. Ia berjalan kaki ke sana, ternyata sudah banyak yang datang, sepertinya ia telat. Dina yang sudah bergabung langsung memasang senyum terbaik.
“Gimana skripsi kamu, Din? dari wajah-wajahnya sih kayaknya sukses nih," ucap Sinta.
“Iya, biasanya mana pernah Dina senyum kayak tadi. Biasanya mah langsung duduk aja tanpa pakai senyum” ucap Arya menimpali.
“Alhamdulillah sukses dong” ucap Dina dengan wajah sumringah.
“Wah, selamat Din. Yang biasanya mukanya selalu galau kayak habis putus cinta” kata Rima. Sambil ketawa gak jelas dengan ucapannya sendiri.
“Enak aja. makasih lho Rima, yang selalu memberi semangat” ucap Dina sambil terkekeh.
Setelah itu, yang lainnya langsung memberi selamat, yang membuat Dina terkadang ketawa mendengar ucapan selamat yang menggelitik perut, alias lucu.
Selanjutnya pembicaraan terus berlanjut sambil makan-makan. Tanpa terasa sudah dua jam kami duduk di kantin ini. Dina berjalan dengan Rima dan teman-teman cewek lainnya, yang sekarang akan pulang. Dina pamit ke teman-temannya, karna motornya terparkir di gedung fakultas.
Dari tadi Dina seperti mendengar namanya dipanggil-panggil. Namun, orangnya gak kelihatan. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi tidak ada. Suara itu semakin jelas, yang tadi hanya terdengar samar-samar. Ia pun berbalik arah, menoleh ke belakang. Ada seorang laki-laki sedang berlari menghampirinya, yang membuatnya seketika terkejut. Ia melebarkan matanya lagi, ternyata memang benar. Dia laki-laki yang menabraknya tempo hari lalu. Dia semakin dekat, bibirnya pun menyunggingkan senyum tipis, setelah sadar bahwa Dina sedang melihat ke arahnya sekarang.
“Hei, nama kamu Dina, kan. Aku Reno, masih ingat?” ucapnya setelah sampai tepat di depan Dina, Sambil mengatur napasnya yang memburu.
“Ehh iya ingat,” ucap Dina yang masih tidak menyangka, ia ketemu lagi dengan laki-laki ini.