Matahari telah beranjak dari peraduannya. Jutaan lelaki sedang bersiap untuk berangkat kerja. Tapi aku justru sibuk mempersiapkan Nayla, putri sulungku, untuk berangkat ke sekolah taman kanak-kanak. Mulai dari membujuknya bangun tidur, memandikan, memakaikan baju, menyiapkan sarapan hingga menyiapkan bekal.
Untuk tugas akhir yaitu mengikat rambutnya dengan pita warna-warni, diambil alih Nawang, istrku, yang telah memakai blazer rapi. Ini karena berpuluh kali aku mecoba, tapi rambut Nayla justru berantakan.
Waktu terasa berlarian. Nawang harus segera berangkat ke kantor, sementara aku harus buru-buru mengantar Nayla sekolah. Padahal si bungsu, Naro masih rewel dan tak mau mandi. Terpaksa aku harus menggendongnya walau masih memakai piyama. Terbayang tatapan puluhan pasang mata akan menatapku dengan penuh rasa ingin tahu, kasihan atau bahkan cemoohan.
Tapi ketika aku melangkah keluar rumah, suara Mertuaku mencegatku.
“ Aku ingin mandi .“
Aku menghela nafas panjang. Mataku menatap tubuh kurus dan ringkih Mertuaku yang biasa aku panggil Papa. Penyakit parkinson yang menyerangnya belasan tahun telah menggerogoti tubuhnya.
“ Nanti Pa. Setelah antar Nayla, Papa aku mandikan. “
“ Badanku lengket karena keringat, “ pintanya setengah memaksa.
“ Tapi nanti Nayla terlambat. “
“ Tuntun aku. Siapkan bajuku. Biar aku nanti mandi sendiri. “
“ Nanti Papa jatuh. Aku yang repot. “
“ Tidak ! “
Intonasi suara Mertuaku naik. Walau penyakit parkinson juga menggerogoti syarat motoriknya, tapi jika keinginannya tidak dituruti, dia bisa bersuara lantang. Dan pengalamanku beberapa tahun merawat mertuaku membuat aku tahu, tidak ada gunanya berdebat atau membantah kemauannya. Dengan segera aku tarik badannya dari kursi malas. Aku menuntunnya ke kamar mandi. Lalu kubuka seluruh pakaiannya. Kuletakkkan kursi plastik di dalam kamar mandi, agar mertuaku bisa duduk istirahat jika dia tak mampu berdiri lagi.
Segera aku bergegas mengantar anakku bersekolah, sebelum gairah bersekolahnya punah karena ia nyaris terlambat.
***
Kegilaan sering menghinggapiku di pagi hari. Aku harus menghadapi tatapan mata begitu banyak orang yang membuatku kehilangan harga diri. Tatapan para tetangga tak bosan melihatku membersihkan halaman rumah. Kilatan mata mereka kala mengintipku menjemur baju. Seolah mata mereka tak lepas hingga aku dan kedua anakku berangkat sekolah. Saat di sekolah, aku harus berhadapan dengan tatapan para wanita yang mengantar anaknya ke sekolah. Hingga para guru wanita yang tak bosan menyapaku.
Tekanan semakin berat jika Naro memaksaku bermain diluar rumah. Tak bisa kubayangkan, apa kata orang melihat seorang ayah sibuk bermain dengan anaknya di pagi hari, di hari kerja.
Semua itu membuatku sangat tertekan. Walau aku bahagia bisa bersama dengan kedua buah hatiku. Tak ayal ketika Nayla pulang sekolah, lega hatiku. Sayangnya, tidak dihari ini.
“ Tadi Bu Guru, tanya apa pekerjaan Ayah, “ ucap Nayla sepulang sekolah.
“ Lalu Nay, jawab apa ? “ tanyaku dengan was-was.
“ Cuci baju, “ ucapnya polos.
Walau ada nyeri dalam dadaku, tapi aku coba tersenyum.
“ Lain kali Nayla jawab, pekerjaan Ayah membuat laporan keuangan. “
Untuk meyakinkannya, aku ambil pembukuan sebuah perusahaan kecil yang aku buat dua bulan lalu. Tatapan mata Nayla tampak bingung sebab ia sudah lama tak melihatku bekerja membuat pembukuan.
“ Ini, Ayah yang buat. Ini pekerjaan Ayah, “ ucapku mantap walau hatiku ragu.
Raut wajah Nayla memerah. Ia terlihat malu mengetahui kesalahannya. Dengan lembut aku mengelus kepalanya.
“ Tidak apa Tapi lain kali Nay jawab yang benar ya,” ucapku selembut mungkin.
“ Ayah, ayo temani Naro main mobil-mobilan, “ teriak si bungsu menyela. Dia iri karena aku memusatkan perhatianku pada Nayla.
“ Nanti, Ayah banyak pekerjaan. Ayo Nayla, temani adikmu bermain. “
“ Ayah ada banyak pekerjaan apa sih ? “ tanya Nayla. Matanya menatapku penuh rasa ingin tahu.
“ Cuci baju, Setrika, masak. “
“ Lho, berarti Nayla benar. Pekerjaan Ayah kan cuci baju. “ Wajah Nayla tampak riang.
Aku langsung tertawa. Menertawakan nasibku.