Lima tahun lalu
Apa yang diharapkan lelaki saat merayakan ulang tahun yang ketiga puluh ? Karir yang menanjak menuju kesuksesan. Kehidupan yang mapan. Sebuah keluarga kecil bahagia dengan istri yang cantik dan anak yang lucu. Penuh cinta dan kehangatan.
Lalu apa yang paling menakutkan bagi seorang lelaki di usia itu ? Kehilangan pekerjaan. Kehilangan kekasih atau istri. Atau terjerat hutang karena gegabah membeli barang mewah yang sebetulnya tak terjangkau.
Dari semua itu, aku mendapatkan yang terburuk. Aku rayakan ulang tahunku ketigapuluh di penjara. Sebagian besar hartaku disita polisi. Aku kehilangan pekerjaanku. Lebih tepatnya masa depanku.
Disini memang ada lilin. Ada kue tart. Ada nyanyian selamat ulang tahun. Tapi yang menyanyikan ada kumpulan para penjahat. Dari kelas teri hingga kelas kakap.
Jangan harap ada dentingan piano mengiringi lagu-lagu kesukaanku. Yang ada hanya dentuman lagu dangdut koplo dan musik remix yang menjadi favorit para pecandu narkoba. Kepala dan badan mereka bergoyang-goyang bagai badut kotor di tempat hiburan rakyat yang murahan. Entah pil apa yang mereka telan, aku tak tertarik untuk tahu. Seperti tidak mau tahunya aku tentang berapa mark up yang dilakukan para sipir untuk membeli keperluan ulang tahunku. Mulai dari kue, puluhan kotak makanan, rokok dan minuman keras. Dua barang terakhir adalah pesanan tamping blok penjara ini. Sebagai mantan eksekutif muda yang bergaya hidup sehat, kedua barang itu sudah pasti jauh dari kehidupanku.
Walau begitu, tapi aku mendapat hadiah teridah dalam hidupku. Selembar foto hitam putih hasil USG dari rahim istriku. Foto yang menunjukan jika kami akan memiliki seorang anak. Foto itu dikirim oleh adikku yang setia menjengukku.
Berkali-kali foto itu aku pandangi foto itu. Seperti berkali-kalinya SMS dari istriku yang masuk ke handphoneku yang bertanya, “ Kapan kamu bisa temani aku ke dokter kandungan ? “
Aku tak mampu menjawabnya. Padahal dua bulan lalu saat masih diluar penjara, jangankan hanya menjawab pertanyaan istriku, semua yang ia inginkan aku penuhi.
***
Penjara adalah tempat yang unik bagiku. Menakutkan tapi kitanya bisa hidup nyaman disana. Itu karena di penjara semua dijual, tergantung berapa besar daya beli kita.
Tak heran saat aparat hukum memberi tahu aku akan dilayar[1] ke penjara, aku menanggapinya dengan tenang. Sebab adik dan pengacaraku dengan gamblang menjelasan jika sel penjaraku sangat nyaman. Ada spring bed, kulkas dan kompor listrik.
“ Dulu ada AC, tetapi sekarang sudah dicopot karena boros listriknya, “ ujar pengacaraku sambil menyebut nama seorang bupati yang memasang AC tersebut. Kamar penjaraku memang pernah dihuni banyak pejabat tinggi dan orang-orang kaya yang tersandung kasus hukum.
“ Kamar mandinya memakai keramik dan bersih. Satu kamar penjara diisi hanya lima orang. Yang satu orang pembantu, “ tambah adikku sebab sebelum dia membayar “ uang sewa” kamar penjara, sipir mengajaknya untuk melihat kondisi secara langsung.
Penjara yang aku didiami sudah pasti kalah jauh nikmat dibandingkan rumahku. Tapi kini terasa nyaman dari pada aku tinggal di rumahku yang kerap disatroni tukang pukul sewaan para investor tempatku dulu bekerja.
***
Masih lekat dalam ingatanku saat pertama kali menginjakkan kaki dipenjara ini. Seluruh tubuhku digeledah juga tas bawaanku.
Tapi semua prosedur resmi pemeriksaan tahanan baru langsung usai ketika Pak Harso, sipir senior datang.
“ Ini Saudaraku, “ ucap lelaki tinggi besar berkumis lebat ini pada sipir yang memeriksa. Kata “saudara” berarti aku sudah dititipkan padanya. Sehingga aku tak harus menempati blok sel karantina yang dikhususkan untuk tahanan baru agar bisa beradaptasi. Sel karantina dikenal yang , terkucil, pengap, sangat kotor dan gelap menjadi momok semua tahanan baru.
Begitu aku lolos dari sel tahanan karantina dan disuruh berjalan menuju kamar penjara yang sudah aku pesan, tampak sepanjang jalan sejumlah tahanan yang pernah kukenal selama ditahan di kantor polisi mencoba memanggilku. Mereka coba menawarkan kamar yang layak untuk aku tempati. Tentu saja dengan “uang sewa” yang murah. Mereka tak tahu statusku yang telah menjadi tahanan istimewa. Sebab kali ini penampilanku tampak kumal tak ubahnya orang yang tak mandi tiga hari. Ini aku sengaja, agar aku tak jadi sasaran pemerasan petugas atau tahanan-tahanan lain.
Padahal jika saja mereka tahu aku akan menempati blok teristimewa di penjara ini pasti mulut mereka akan bungkam seribu bahasa. Sebab di blok istimewa tak sembarang orang bisa masuk hanya mereka yang berkantong kebal dan menjalin hubungan istimewa dengan para sipir saja yang bisa tinggal disana.
***
Penjara yang kutempati berjarak puluhan kilometer dari kotaku Surabaya, sehingga menyulitkan istriku untuk membesuk. Apalagi ia sedang mengandung. Namun kami selalu berkomunikasi melalui handphone tua yang kubeli dari tahanan yang telah bebas. Aku selalu meyakinkan istriku jika kondisiku selama di penjara baik-baik saja. Aku juga ceritakan kondisi penjara yang nyaman.
Tentu tidak semua tahanan bisa hidup nyaman di penjara ini. Sebab walaupun penjara ini luas tapi fasilitasnya terbatas. Apalagi jumlah tahanan yang mencapai ribuan jauh melebihi kapasitas. Hanya mereka yang berduit dan menyandang status Tamping atau tahanan pendamping yang bisa hidup nyaman di sini. Tahanan pendamping adalah mereka yang diperkerjakan oleh para sipir karena memiliki keahlian, disegani atau tahanan yang masuk penjara karena kekhilafannya seperti tahanan kasus lalu lintas.
Penjara ini terbagi sejumlah blok sel yang diberi nama sesuai abjad. A hingga J. Blok sel mirip sebuah rumah tapi pintunya terbuat dari baja yang tebal dan berat serta digembok. Jendelanya diberi jeruji. Sama seperti rumah, blok sel dilengkapi ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang berkumpul. Dilengkapi dengan kamar mandi dalam jumlah banyak, taman, tempat menjemur baju dan mushola.
Tiap-tiap sel berisi kamar tahanan. Ada yang kecil seperti di sel D yang hanya memuat dua tahanan saja. Ada yang berukuran 5 x 5 m sebagaimana sel “ H” yang kutempati. Ada juga yang berbentuk bangsal luas hingga memuat ratusan orang. Ada blok sel “J” yang dikhususkan bagi mereka yang sakit. Tahanan penderita HIV yang tinggal disini ditemani seorang dokter yang juga ditahan karena mengedarkan narkoba. Blok sel ini ada di sisi kiri dengan blok selku. Sedangkan di sebelah kanan blok selku, ada blok sel “ I “ yang khusus untuk wanita. Tak heran ketika ada khabar ada tahanan wanita cantik yang baru datang, taman di depan blok selku dipenuhi oleh tahanan lelaki yang ingin cuci mata atau berkenalan.
Setiap blok sel dipimpin oleh seorang Tamping. Daryo, adalah tamping di blok yang kutempati. Tahanan kasus perampokan yang bersosok tinggi besar, memang layak jadi tamping blok ini. Sosoknya begitu disegani di penjara ini karena dia tak hanya kerap keluar masuk penjara tapi juga kerap membantu tahanan lain sedang kesusahan.
***
Penjara yang kini aku diami tak persis yang yang dijanjikan pengacaraku. Sebab spring bed yang ada dipakai Ko A Lung, seorang bandar narkoba yang kaya. Aku hanya mendapat kasur busa. Tapi ini kamar penjara yang terbaik di seluruh penjara ini. Bandingkan dengan kamar di blok lain yang diisi hingga 20 orang tahanan. Untuk tidur saja, mereka harus bergantian karena kamar penuh sesak. Sebagian dari mereka terpaksa tidur sambil duduk dilantai. Mendekap kaki sementara kepala bersandar di dinding. Tak ayal mata mereka banyak yang merah kala pagi hari karena kurang tidur. Sementara bau badan mereka membuatku mual karena terbatasnya air untuk mandi. Ini karena aliran air harus dibagi bergiliran. Sementara air di blok tempatku bersumber pada air di kantor penjaga penjara ini.
Tak heran banyak tahanan yang rela menjadi pembantu dengan bayaran seadanya asal bisa tinggal di sel penjara kami. Salah satunya Paino. Pembantu di kamar kami yang selalu sigap membersihkan seluruh penjuru kamar, mencuci baju dan memasak. Walau Ko A Lung lebih suka memesan makan dari luar penjara. Seperti ikan bakar, ayam penyet, ayam Mc Donald dan buah-buhan dari supermarket.
Bau harum semerbak juga selalu tercium dari kamar penjaraku. Sebab Paino setiap hari mengepel seluruh lantai dengan larutan pembersihan lantai yang jauh melebihi takaran. Bau harum ini penting untuk menghilangkan jejak pesta narboba yang kerap dilakukan di kamar ini. Sebab sewaktu-waktu, polisi bisa saja menerobos gerbang penjara bersama anjing pelacak yang siap menerkam begitu mencium aroma narkoba.
Semua berita di media tentang kebobrokan penjara kini aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Satu-satunya kebobrokan penjara yang belum pernah ditulis di media tapi kini aku lihat adalah CCTV milik Ko A Lung yang ada di depan kamarku.
Aneh bukan. Di penjara manapun CCTV milik petugas keamanan penjara. Untuk memantau aktivitas kami sebagai narapidana. Tapi CCTV Ko A Lung dipasang untuk memata-matai pintu gerbang sel penjara ini saat malam tiba. CCTV itu dibuat oleh Cak Roes, Tahanan yang ahli elektronika. Dia dengan lihai merakit komponen rongsokan dari sejumlah peralatan elektronik seperti handphone yang di service di bengkel penjara ini. Bentuknya memang tak mirip CCTV karena kamera pengintai ini di bungkus pipa plastik sehingga tak mencurigakan.